Inikah Perjalanan Terakhir Saya?

 Catatan : Luqman Hakim Gayo*

Entahlah. Barangkali benar, inilah perjalanan saya yang terakhir. Saya berkunjung ke Ka’bah, ke maqam Rasulullah dan sahabatnya. Saya mengunjungi sebagian jejak langkah beliau dalam menegakkan agama Islam di muka bumi. Perjuangan sampai hembusan nafas terakhir, demi mengembangkan dan mempertahankan agama Islam.  Tidak ada manusia seagung dan semulia Muhammad saw. Allahumma shalli was salim wa baarik alaih…Airmata menetes.

Tanpa sepengetahuan teman-teman, saya memaksakan diri untuk berangkat ke Tanah Suci. Sebab, umur saya sudah senja dan semakin renta. Saya kuatir kalau-kalau tidak sempat lagi berkunjung ke Masjidil Haram. Kalau dulu-dulu saya dibiayai kantor dan sejumlah sponsor, kini terpaksa minta bantuan adik saya di kampung halaman. Terima kasih, semoga Allah swt akan membalasnya.

Shalat subuh sudah di Bandara Soekarno-Hatta. Setelah menerima pasport  dan boardingpass, toh, jam delapan pagi baru berangkat. Pesawat Garuda menerbangkan kami dan rombongan Mentari pimpinan sepupu ayah saya, Dra Mardhiyah SA, ke Jeddah. Sembilan jam penerbangan, tiba jam 13.00 Waktu Saudi, atau jam 17.00 WIB. Di pesawat sudah dua kali makan, yaitu makan pagi dan makan siang. Sampai di Jedah makan siang lagi. Karena, memang masih siang. Beda waktu empat jam dengan WIB.

Belum mendarat, saya sudah melihat dari kaca pesawat. Inilah bandara Jeddah, pintu gerbang masuk ke Tanah Suci. Ini bandara tersibuk di dunia, apalagi di musim haji. Hampir setiap 3 menit pesawat mendarat, yang datang dari berbagai negara membawa jemaáh haji. Begitu juga usai musim haji, bandara ini kembali padat.

Seperti juga bandara lain, para kuli angkut sudah mengumpulkan barang-barang kami. Mereka mulai bergerombol dan membuat perhitungan. Lalu, “kuli ini minta 10 Real satu tas. Gimana?”, kata ketua rombongan. Saya diam saja. Karena tas saya kecil, saya ambil dan jinjing sendiri terus menuju gate keluar. Oh, ada seorang perempuan yang dimuhrimkan dengan visa saya. Kaum perempuan tidak bisa datang ke Saudi tanpa muhrim. Jadilah saya sebagai pamannya.

Semua gate pemeriksaan pasport sudah dijejali antrian panjang, dari berbagai negara dan bangsa. Hanya guide yang lincah dapat cepat selesai di pintu pemeriksaan itu. Kami melangkah berombongan keluar gedung imigrasi, menghadapi halaman parkir. Panas dan angin kencang. Sejumlah bis tersusun rapi dan kami melangkah, naik salah satu bis itu.

Dari Bandara King Abdul Aziz, saya dibawa ke Mess Ibnu Al-Munif, gedung besar bertingkat dua, masih di Jedah. Halamannya di dalam cukup luas. Kami ditempatkan di kamar-kamar atas. Saya terkejut, kenapa para pelayan bisa berbahasa Jawa?  Ooh, rupanya mess yang mewah ini memang milik orang Jawa. Pantas, kalau semua pelayannya orang Jawa Timur. Gaji mereka rata-rata 2.500 – 3.000 Real atau Rp7,5 juta  sampai Rp9 juta perbulan. Jauh diatas gaji orang Indonesia yang sama-sama bekerja seperti dia.

Inilah kota Jeddah

Ah, akhirnya sampai juga saya ke Jeddah, yang selama ini hanya saya baca dalam sejarah Islam. Jeddah sekarang merupakan salah satu kota utama, pintu gerbang masuknya barang-barang luar negeri untuk rakyat Saudi Arabia. Penduduk Jeddah sekitar 2 juta jiwa. Banyaknya gedung bertingkat membuat kota Jeddah semakin indah dan mengagumkan.

Dalam bahasa Indonesia, Jeddah berarti ‘nenek perempuan’. Karena, disinilah dikuburkan nenek umat manusia ‘Siti Hawa’. Jeddah juga dinamai Pengantin Putri laut Merah, Pintu Gerbang Dua Tanah Haram, atau Kota di Tengah Pasar. Awalnya hanya sebagai kota istirahat bagi suku Qudoáh setelah berburu ikan di laut, kemudian dikembangkan menjadi perkampungan mereka.

Sejak tahun 648 Masehi, resmilah kota ini menjadi pelabuhan bagi Mekah dan sekitarnya. Diresmikan oleh Khalifah ke-3 Utsman bin Affan. Luasnya sekitar 3.500 km-persegi. Kini menjadi kota bisnis terbesar di Timur Tengah. Bangunan tinggi untuk perkantoran, pertokoan, supermarket dan hotel bertebaran dimana-mana. Seakan-akan sedang menunggu penduduk dunia untuk datang berbelanja ke kota ini.

 Kami istirahat sebentar, kemudian mulai mengenakan pakaian ihram. Lalu naik bis yang sudah disediakan. Saya masih kaku dengan pakaian ihram. Memilih duduk di pinggir untuk melihat-lihat kota Jeddah yang indah ini. Ada monumen besar, sebuah pesawat parkir di udara. Ada beberapa mobil yang  terperosok ke tembok, dipamerkan sebagai tugu di persimpangan jalan utama. Sambil membaca kalimat talbiyah, saya tidak sabar. “Labbaika allahumma labbaik…….

Sekitar beberapa jam perjalanan dari Jeddah, kami tiba di Mekah Al-Mukarramah. Ya Allah, akhirnya Engkau izinkan aku tiba di rumahMU, Baitullah di Mekah. Menghempaskan barang di Hotel Hilton, langsung ke Masjid. Dengan mengusap mata, saya berkeliling Ka’bah dengan ribuan umat Islam lainnya dari seluruh penjuru dunia. Tidak ada kenikmatan lain selain dari kenikmatan malam ini. Saya berkeliling ka’bah, demi Allah, saya tidak bermimpi. Ya, saya menangis di kiswah, menangis ketika salat sunat di multazam, Ya Allah, ampuni aku…

Sesudah tujuh kali berkeliling dan berdoa, kemudian menuju bukit shafa dan marwa. Melakukan sa’i, perjalanan sambil lari-lari kecil diantara kedua bukit itu. Mengenang kembali peristiwa yang dilakukan Siti Hajar, mecari air demi anaknya, Ismail alaihissalam…Kalau dulu bukit batu, kini batu marmar yang licin, dibawah listrik terang benderang dan pendingin udara. Tidak sendirian, tapi dengan ribuan umat Islam lainnya. Kelelahan itulah yang menghempaskan saya di lantai 15, kamar 05, tower 6 Hilton Hotel, Makkah.

Jauh sebelum azan subuh saya sudah turun dari hotel, langsung mencari tempat di Masjid Haram. Melalui pintu King Fahd, pintu 84 lurus ke pelataran Ka’bah. Saya thawaf ikut rombongan orang-orang dan duduk menuggu subuh. Ya Allah, inikah kesempatanku terakhir kali? Ampuni aku, ampuni  anak-anakku, adik-adikku, saudara-saudaraku. Beri kesempatan kepada mereka untuk mengunjungi ka’bah di rumahMU ini, ya Allah.

Usai subuh, saya ikut-ikutan rebah di halaman masjid. Seakan bersenda gurau dengan ribuan merpati. Bersama segerombol keluarga Turki kami bercerita. Mereka meminjam topi saya untuk dilihat-lihat dan dicoba. Pakaian khas Indonesia. “Ambil untuk kamu”, kata saya kepada tertua dari rombongan itu. Mereka menolak, karena saya tidak ada topi lainnya.

Saya menelusuri ke bawah lantai halaman depan, tidak pernah menemukan WC dan tempat wudu demikian besarnya. Bertangga jalan alias eskalator menuju kamar kecil, hanya ada di Masjidil Haram, Makkah. Halamannya luas. Berbatasan langsung dengan sejumlah hotel, termasuk Hilton, Zam Zam, Daarut Tauhid, Bin Dawood dan lainnya. Pengumuman hanya dalam dua bahasa, yaitu bahasa Arab dan bahasa  Indonesia. Kemudian pasar kaget membentang di luar halaman itu. Aneh, semua pandai bahasa Indonesia. Termasuk askarnya Masjid Haram…

Lima orang satu kamar

Saya bersama empat orang teman dalam satu kamar. Pak Nelwan yang tinggi putih dan tegap, Pak Tahe yang suka sakit perut dan betis, Pak Madi yang suka stroke dan ngompol, dan Pak Umar. Kamar kami besar, memang. Ada-ada saja jadi bahan tertawaan dan membuat hubungan kami menjadi lebih akrab. Kalau Pak Tahe, jalannya cepat. Saya sering ketinggalan kalau tawaf bersama dia.

Sekali waktu, saya kecapekan dan pulang duluan ke hotel. Rupanya, para bapak-bapak itu juga saling terpisah-pisah. Yang menyedihkan adalah nasib pak Madi yang jalannya tidak bisa cepat itu. Ia tersesat. Berkali-kali menemukan lantai 15 kamar 05, ternyata bukan hotelnya. Ia lupa, kalau kami di Tower 6. Selama naik turun lift itulah celananya basah. Ngompol. Karena capeknya. Paginya menjadi bahan cerita. Oooallah, pak Madi.

Saya selalu lebih bebas pergi sendirian, terutama mengambil gambar dari berbagai sisi. Menunggu suasana agak redup, ketika bayangan hotel memenuhi halaman depan. Atau menunggu pelataran Ka’bah agak longgar, lalu berfoto ria. Terus terang, duduk di pelataran Ka’bah aneh rasanya. Seperti di tengah lapangan luas, yang bercahaya terang benderang, langit terbuka. Tetapi di depan kita ada Ka’bah. Adem, meski siang hari sekalipun…

Keesokan malamnya, kami dibawa ke Ji’ronah. Jauhnya sekitar 16 km dari Mekah. Kami berombongan dengan naik angkot Mekah, masing-masing 5 Real  pp. Ji’ronah hanyalah sebuah kampung, tetapi menjadi miqat, atau pintu gerbang bagi mereka yang akan menunaikan ibadah haji dan umroh. Dari sinilah dimulai berpakaian ihram dan  salat sunat serta berniat melaksanakan haji dan umroh.

Menurut cerita, Ji’ronah merupakan tempat miqat yang paling tinggi derajatnya. Di kampung ini terdapat beberapa tempat ziarah, salah satunya adalah masjid dan sumur Bir Thoflah. Sumur ini dahulunya termasuk  mukjizat Rasulullah saw, saat kehabisan air usai Perang Hunain. Rasulullah bersama para pejuang Islam berhenti untuk membagi-bagikan hasil kemenangan perang. Karena kehabisan air, lalu Nabi memukulkan tongkatnya. Lalu keluarlah air yang sampai sekarang tidak pernah kering.  Ji’ronah diambil dari nama seorang wanita yang mengabdikan dirinya untuk menjaga dan membersihkan masjid tersebut.

Tiba dari Ji’ronah sudah agak malam. Kami langsung melaksanakan thawaf dan sa’í. Untuk pertama kali saya bagai kehabisan nafas, tidak sanggup meneruskan perjalanan antara bukit Shafa dan Marwa. Saya berjalan perlahan akhirnya minggir dan terduduk. Saya tidak kuat lagi. Lalu, perlahan saya minggir dan keluar dari barisan, kemudian keluar dari Masjid Haram. Pulang ke kamar, tertidur lelap…

*Wartawan asal Gayo tinggal di Jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments