Menyoal Tawuran

Oleh: Johansyah*

DUNIA pendidikan Indonesia kembali dihadapkan kepada persoalan moral yang meresahkan, yakni tawuran antar pelajar sebagaimana yang terjadi beberapa waktu lalu di Jakarta yang menelan korban jiwa. Kenyataan ini tentu menambah  nilai merah raport pendidikan Indonesia dan seakan memperkuat anggapan sebagian orang bahwa pendidikan Indonesia semakin semerawut lantaran menipisnya lapisan moral-spiritual pada jiwa peserta didik kita.

Tawuran antar pelajar bukanlah masalah baru, tapi masalah lama yang terus berulang. Tentu saja hal ini tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan tidak dapat diubah dalam dunia pendidikan kita. Ini hanyalah bagian dari problematika pendidikan yang tentu harus ditangani secara serius dan bersama-sama tanpa mempertanyakan permasalahan ini tanggung jawab siapa.

Penyebab tawuran memang bisa beragam. Dari beberapa diskusi yang berkembang di berbagai media, penulis melihat ada tujuh penyebab terjadinya tawuran; pertama, tawuran disebabkan karena tidak efektifnya pendidikan agama di sekolah yang hanya melulu mengurusi persoalan kognetif semata.

Pendidikan Agama dinilai gagal, atau setidaknya belum mampu secara maksimal dimanfaatkan sekolah untuk membentuk watak dan perilaku siswa sesuai dengan harapan. Belakangan Mendikbud, Muhammad Nuh, menyatakan akan memperbanyak penilaian aspek afektif siswa dari pada aspek kognetifnya, semoga pernyataan ini segera dapat diwujudkan.

Kedua, tawuran disebabkan oleh kurikulum sekolah yang terlalu padat sehingga guru hanya berpikir untuk mencapai target pengajaran, lalu lupa memoles sisi spiritualitas dan moralitas siswa. Barangkali saat ini orang akan mengaitkan masalah ini dengan tuntutan sertifikasi 24 jam yang diwajibkan kepada guru. Para guru bukannya dituntut kualitas mengajarnya, melainkan kuantitasnya. Maka tidak heran kalau kemudian yang dipenuhi guru juga adalah aspek kuantitasnya.

Ketiga, tawuran disebabkan oleh faktor lingkungan atau budaya sosial yang tidak baik. Seperti yang disampaikan oleh wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Wamendikbud), Musliar Kasim, bahwa kondisi sosial sangat berperan dalam membentuk budaya siswa. Setidaknya demostrasi yang sering berujung pada bentrokan, seperti yang sering dipertontonkan di berbagai media, merupakan sesuatu yang tidak cocok untuk perkembangan emosional remaja. Banyak sedikit mereka akan terpola dengan budaya sosial yang tidak sehat ini dan mengemasnya dalam bentuk tawuran antar pelajar.

Ke-empat, menurut pandangan para psikolog, tawuran dipicu oleh emosional para siswa yang masih labih dan mencari jati diri. Mereka mudah terpancing oleh stimulus negatif yang ada di sekitarnya, merasa tercabik harga dirinya jika tidak mengadakan perlawanan terhadap orang yang merendahkannya, dan ada perasaan bangga  atau hebat jika dia mampu membuat orang lain yang dianggap lawannya tertekan karena perlawannya.

Kelima, ada juga yang menilai bahwa tawuran boleh jadi disebabkan karena maraknya kasus bullying di sekolah. Seperti ditegaskan Jusuf Kalla, bullying dapat berpotensi menjadi pemicu tawuran. Ini memang benar adanya, bullying bisa saja memunculkan dendam siswa jenior kepada siswa senior yang boleh jadi memanfaatkan rekan-rekannya di sekolah lain untuk melakukan balas dendam.

Ke-enam, penyebab tawuran adalah karena lemahnya pembinaan moral dan mentalitas anak dalam keluarga. Bahwa pendidikan dan pembinaan akhlak dalam keluarga kurang berjalan baik karena sebagian besar orang tua sibuk kerja di luar rumah dari pagi sampai sore, bahkan hingga malam. Kealpaan orang tua di rumah kemudian berdampak kepada kurangnya perhatian kepada anak, sehingga mentalitas mereka tidak terbentuk dengan baik.

Ketujuh, penulis melihat bahwa penyebab tawuran juga bisa dikarenakan semakin melemahnya upaya pembentukan moral siswa oleh guru, lantaran ketakutan mereka terhadap Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Dampaknya, banyak guru yang terkesan membiarkan siswa yang terlihat nakal. Akhirnya mereka ini secara moral tumbuh dan berkembang menjadi sosok yang mudah terseret berbagai kasus penyimpangan.

Harus Ada Kesadaran Kolektif

Bila melihat beragam pendapat di atas, hemat penulis semua ada benarnya. Artinya, baik sekolah, masyarakat, maupun keluarga tentu memiliki kelemahan yang harus diagnosis secermat mungkin untuk kemudian ditangani secara serius. Intinya, harus ada kesadaran yang tinggi pada semua lini pendidikan terhadap tanggung jawab moral yang menjadi misi utama dan bersama.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, ke depan diharapkan agar lebih mengedepankan pembentukan moral, di samping pembentukan intelektual. Untuk itu, mestinya sekolah tidak diintervensi pihak luar ketika mereka hendak menerapkan disiplin untuk membentuk moral dan kepribadian siswa. Sekolah jangan diintimidasi dengan dalih HAM dan alasan perlindungan anak hanya karena guru menjewer kuping siswa atau menyuruh siswa berdiri.

Sekiranya ada tindak tidak wajar seorang guru terhadap siswa, kita sepakat guru tersebut harus ditindak juga, namun tidak dengan menggunakan UU HAM dan perlindungan anak. Mungkin lebih baik dibuat lembaga internal khusus yang dibentuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) untuk mengurusi hal ini. Penulis yakin, kebijakan ini sangat berimplikasi besar bagi upaya pembentukan moral siswa oleh guru. Sebaliknya, guru diharapkan untuk tidak menjadikan profesinya hanya mengejar materi dan kesejahteraan belaka (money oriented), tetapi betul-betul memiliki kesadaran yang tinggi atas tanggung jawab pendidikannya, utamanya pembentukan moralitas siswa.

Selanjutnya dalam konteks sosial, setidaknya untuk meminimalisir tawuran antar pelajar, sebaiknya masyarakat tidak membiarkan perkumpulan pelajar yang berpotensi mengadakan tawuran. Untuk itu, sebaiknya masyarakat membuka diri juga untuk menjalin komunikasi yang baik dengan sekolah, serta aparat keamanan sehingga jika ada gejala tawuran akan terjadi, dapat secepatnya diantisipasi bersama.

Terakhir, bagaimana pun, anak adalah produk orang tua. Budaya dan tradisi yang dibangun oleh orang tua dalam keluarga memiliki pengaruh besar terhadap cara pikir, merasa, dan cara berbuat anaknya. Untuk itu, tidak ada cara lain kecuali meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab pendidikan terhadap anak mereka. Bahwa orang tua, bagaiamana pun sibuknya bekerja di luar rumah, harus mampu membagi waktu untuk anak-anaknya, sehingga kebutuhan anak, terutama kasih sayang anak terpenuhi.

Permasalahan di seputar  dunia pendidikan tidak akan pernah berhenti, dia akan datang silih berganti. Namun yang terpenting adalah menyadari bahwa masing-masing kita memiliki tanggung jawab pendidikan. Untuk itu sebaiknya kita berusaha menumbuhkan guilty feeling (rasa bersalah), bukan sikap saling salah menyalahkan ketika permasalahan muncul. Semoga tawuran pelajar kemarin, menjadi pembalajaran bagi semua.(johansyahmude[at]yahoo.co.id)

*Pemerhati Pendidikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.