Catatan dari Seminar Saman Summit 2012 (Bagian 1)
Oleh: Efix Mulyadi
“MEMBACA Saman, mengeja Indonesia.” Begitulah kira-kira ungkapan yang tepat untuk menggambarkan dinamika udar gagasan di dalam seminar Saman Summit yang berlangsung 14-15 Desember 2012 lalu di Jakarta. Perbincangannya meluas dari mulai bertukar pikiran tentang fenomena musik-tari-ritual yang sangat erat berkait dengan adat, sampai mengupas soal sendi-sendi bermasyarakat dan bernegara.
Dari diskusi tentang filosofi, simbol, makna, dan peran sebuah kesenian di tengah masyarakatnya, menyimak pengaruh agama di dalam perkembangannya, sampai menelisik kaitannya dengan kearifan lokal dan rajutan nilai yang diproduksi. Dari meneropong sejarah perkembangan karya seni yang telah berabad menjadi milik komunitas pendukungnya sampai gambaran masa depan di tengah arus jaman yang berubah dengan begitu cepat, berikut segala konsekuensinya.
Seminar tersebut tidak melulu membicarakan tentang Saman, satu jenis seni tari-musik yang istimewa dari Gayo, Aceh, melainkan ia diangkat dan diperluas menjadi persoalan kesenian yang dipengaruhi oleh agama (Islam) di berbagai wilayah. Kajian terhadap Saman menjadi lokomotif yang menghela sejumlah gerbong persoalan Indonesia masa kini di dalam merawat dan mengembangkan berbagai macam seni tradisi.
Maka sorotan dari berbagai sudut pandang terhadap Saman dilengkapi dengan pendekatan yang akrab terhadap beberapa jenis seni dari Aceh seperti rabani wahid, rapa’I geleng, dan tari Pukat, kupasan tentang rudat masing-masing dari Banyuwangi, Lombok, dan Cirebon, serta indang dari Padang Pariaman, Sumatera Barat.
Seminar itu adalah ajang tempat bertemunya berbagai pandangan, termasuk pandangan yang terkesan berseberangan meski terus dicari pendekatan (persepsi) untuk membuat perbedaan itu menjadi produktif. Contohnya seperti keinginan untuk memastikan bahwa saman terjaga keasliannya yang berhadapan dengan kepercayaan pada hakekat kebudayaan yang melihat bahwa perubahan adalah keniscayaan.
Di samping itu muncul kisah tentang sejumlah seni Banyuwangi yang secara luwes menerima bahkan aktif mengambil unsur-unsur budaya lain tanpa merasa kemurniannya terusik. Seni Rudat (Kemidi Rudat) dari Lombok juga menunjukkan kelenturan sikap seiring dengan pertumbuhannya dengan mengambil berbagai unsur dari mana saja yang cocok, termasuk dari khasanah budaya Belanda.
Kurang lebih pemandangan serupa itulah yang tertangkap ketika sidang-sidang menyoroti sejumlah senitradisi lain yang berkait dengan adat dan agama Islam yang berkembang di seluruh Nusantara.
Boleh dikatakan pertukaran pendapat selama dua hari seminar ini berlangsung dengan semangat yang tinggi. Dimasukkannya Saman oleh Unesco ke dalam “Daftar Warisan Dunia tak Benda yang Memerlukan Perlindungan Mendesak” pada tahun 2011 memang telah menjadi energi baru yang menggerakkan banyak pihak untuk menilik secara lebih dalam apa saja yang telah dilakukan untuk merawat sejumlah besar warisan budaya dari leluhur, dan mencari cara yang paling baik untuk menjaga dan mengembangkannya.
Salah satu perwujudannya adalah Saman Summit 2012 yang diselenggarakan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan bersamapemerintah daerah dan warga masyarakat. Tak kurang dari Dirjen Kebudayaan Kacung Maridjan mengungkap kegembiraan betapa terpilihnya sebuah warisan budaya oleh sebuah badan dunia telah meningkatkan rasa percaya diri sebuah bangsa.
“Tari Saman, ketika ditetapkan Unesco, dunia terbelalak, kok ada tari yg luar biasa, punya filosofi bagus, geraknya luar biasa, apalagi ada variasi-variasi yang luar biasa,” katanya di dalam sebuah pidato ringkas untuk meresmikan seminar Saman Summittanggal 14 Desember 2012.
Kegirangan itu segera disambungnya dengan pernyataan yang sangat spesifik tentang kemungkinan perkembangan ke depan yang sudah terlihat tanda-tandanya belakangan ini. Kacung Marijan menambahkan, Saman bukan lagi, mohon maaf, ’milik’ Gayo tapi sudah jadi ’milik’ Indonesia dan dunia. “Wong sekolah anak saya di Surabaya juga ada tari saman. Kita nanti adakan Saman Summit, pesertanya dari negara-negara lain, (hal itu) sangat dimungkinkan. Kebudayaan lain juga demikian,” ujar Kacung.
Pernyataan Dirjen Kebudayaan tersebut memberi gambaran bahwa sebuah warisan budaya yang hidup tidak akan berhenti sebagai sebuah pusaka keramat yang cukup dielus-elus dan terhindar dari perjumpaan dengan dunia di luarnya. Penyebaran saman ke luar wilayah budaya aslinya juga tidak mungkin ditahan, tapi justru bisa dimanfaatkan untuk memperkokoh kebersamaan.
Di dalam bahasa pembicara kunci seminar ini, Ahmad Syafii Maarif, berbagai etnik dan suku di Indonesia sebagai bangsa yang masih muda ini perlu terus menerus diupayakan untuk “saling menyapa, kemudian juga dengan saling memberi dan menerima unsur-unsur peradaban, sehingga kebersamaan menjadi semakin kokoh.” Pembicara kunci lain Goenawan Mohamad menyebutkan bahwa suatu komunitas memang akan berubah bersama waktu, misalnya tarisaman yang semula hanya di kalangan komunitas Gayo bisa dipakai dan ditarikan oleh komunitas lain, seperti halnya tari Bali atau gamelan yang komunitasnya meluas.
Di dalam bagian lain dari pidato peresmiannya Kacung Marijan mengungkap sejumlah langkah yang penting untuk dilakukan. “Untuk saman ini moment penting, kita adakan terus, dan seminar ini bukan hanya untuk tempat berdiskusi tapi juga pemahaman yg lebih dalam. Nanti ada festival Melayu , budaya pesisir, budaya Indonesia timur, selain festival tari Nusantara.
“Itu menunjukkan apresiasi kita; kita ini melindungi, memanfaatkan, dan mengembangkan kebudayaan kita,” katanya.
Dirjen Kebudayaan kemudian memaparkan posisi pemerintah sebagai regulator dan menjalankan fungsi untuk campur tangan di dalam proses kebudayaan. Adalah tugas Pemerintah utk melakukan perlindungan, pengembangan, dan lain-lain di dalam kebudayaan. Di mana-mana pemerintah melakukan dua hal.
Pertama adalah menjadi semacam regulator tentang kebudayaan; kebudayaan ini mau dibawa kemana? Kita punya beberapa UU tentang itu. Regulator di antaranya cagar budaya dan film, cuma PP nya belum. Gawe besar menuntaskan rancangan UU tentang pokok-pokok kebudayaan, draftnya sudah ada, sudah hampir selesai. Kita akan bentuk tim khusus lagi untuk me-review sebelum dibawa ke DPR. Gak boleh lama, targetnya 2013 harus selesai.”
Tugas pemerintah yang kedua adalah melakukan kebijakan untuk campur tangan. “Kita menjalankan policy intervensi, gak bisa kebudayaan diserahkan ke pasar,” kata Kacung Maridjan. “Saya sering mengatakan pembangunan dalam dua arus utama, yaitu Pasar dan Negara. Pasar itu sebebas-bebasnya, mau kebudayaan yang kecil dilindungi atau tidak gakpeduli. Akibatnya, banyak budaya yg harusnya dilindungi itu mati. Yang kedua arus utamastate, yang terlalu menekankan intervensi besar dari negara. Kita ingin membawa kebudayaan sebagai yang utama dalam pembangunan ke depan.”
Kedua pembicara kunci seminar ini, Syafii Ma’arif dan Goenawan Mohamad, menempatkan kajian terhadap perkembangan seni bernuansa Islami sebagai cermin masalah keindonesiaan. Keduanya mendesakkan pendekatan yang bijaksana di dalam menangani persoalan antarkomunitas, antarpuak, antaretnik, dan antarsuku.
“Sebagai bangsa yang masih muda kita harus hati-hati, jangan sembrono,” kata Syafii Ma’arif yang berpijak pada kenyataan sejarah berdirinya nation state Indonesia. “Karena itu para pendiri bangsa terutama Bung Karno selalu menekankan semboyan “nation & character building.”Walau tidak diopeni, semboyan itu betul: membentuk karakter bangsa.“
Menurut Syafii Ma’arif keberagaman di dalam etnik, puak, suku, adat, dan budaya, sesungguhnya menuntut kemampuan untuk saling mengenal dan memahami, namun proses saling belajar itu belum cukup panjang sehingga merugikan.
Hal serupa itulah yang menyebabkan pecahnya Dwitunggal Sukarno-Hatta yang kemudian dipelesetkan menjadi “Dwi Tanggal” yang merujuk pada persatuan yang tanggal, yang copot, yang terurai. Di dalam hal itu tampak bahwa Jawa [Bung Karno] tidak memahami Minang [Bung Hatta], dan sebaliknya Minang tidak memahami Jawa. Tuturnya, “[Filosofi Jawa] Ngono yo ngono ning ojo ngono…nbagi saya [maknanya] dalam itu, tepo seliro dan lain-lain, orang luar Jawa seperti saya harus belajar dari Jawa, tapi Jawa juga harus belajar juga kepada ‘kultur terus terang’.”
Saling mengenal dan saling belajar itu merupakan inti dari proses “menjadi Indonesia” yang masih harus terus dilakukan. Ia mengatakan, sebagai bangsa baru kita teledor di dalam mengukuhkan pilar-pilar kebangsaan, kita belum secara efektif menggerakkan upaya agar subkultur itu saling menyapa, kemudian juga dengan saling memberi dan menerima unsur-unsur peradaban, sehingga kebersamaan menjadi semakin kokoh.
Dengan cara menarik Syafii Ma’arif menunjukkan hal serupa harus didorong juga di antara kelompok agama, entitas, yang sangat penting di dalam mendukung proses mengindonesia. “Tampak sekarang proses Islamisasi kualitatif berjalan alamiah walau dirusak oleh politik … saya bertemu teman-teman tamatan Amerika dan lain-lain, Islamnya serius. Mereka melihat korupsi sudah dengan hati yang terluka. Itu kesadaran beragama yang bener.
Dalam soal ini sebetulnya tidak banyak berbeda ….ya, sama saja dengan orang dari agama lain, asal kita sama-sama punya kesadaran yang mendalam tentang tanggung jawab kemanusian, tentang tanggung jawab di depan sejarah, tentang tanggung jawab di depan Tuhan. Karena itu saya bergerak di dalam komunitas lintas agama,saya tidak mengalami kesukaran apa-apa. Tidak banyak orang Islam yang bisa bergaul di Katolik, di Buddha, Hindu, dan lain-lain. Kok kita sulit menerima perbedaan? Berbeda itu sunat allah, asal saja jangan sampai perbedaan itu merusak perumahan kemanusiaan,” kata Syafii Ma’arif.
Di dalam ranah seni ia memberi contoh seperti saman dan sejumlah tari Jawa yang dilihatnya sebagai jenis-jenis seni yang luar biasa. Saman sangat dinamis, namun sebagian besar tari Jawa lemah gemulai. Bagi Syafii, perbedaan semacam itu justru memperkaya. Tidak perlu menjadi masalah kalau misalnya banyak orang Gayo sebagai pemilik asli saman tidak bisa berbahasa Aceh.
“Orang Gayo banyak yang tidak bisa berbahasa Aceh, gak apa-apa, menurut saya biasa saja. Itu kekayaan kita, itu mozaik, tapi kalau kita pandai mengelola[nya]. Kalau salah mengelola, [sebaliknya] bisa macem-macem. Umpamanya kejadian di Lampung itu ada satu suku yg mau diusir, enggaklah … kita punya Sumpah Pemuda sebagai modal kita, kita punya Bhineka Tunggal Ika. Kita rajut kembali keindonesiaan kita dengan menghormati perbedaan,” kata Syafii Ma’arif.
Menurut Syafii Ma’arif, Islam yang sejak 1917 merupakan mayoritas, bahkan di dalam sensus terakhir 88,22 persen, jadi sangat mayoritas, ternyata secara intelektual dan secara politik Islam itu bukan satu. Ia menjelaskan bahwa Islam itu juga bermacam-macam. “Secara teologi hanya ada satu Islam tetapi political expression bermacam-macam. Tidak pernah monolitik. Ini kenyataan empirik .
Demikian juga kesenian, saman jelas tampak sekali dipengaruhi Islam. Di Minang kita tahu “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”, jargonnya begitu. Itu sesungguhnya menyatakan bahwa yg ada, yang tumbuh di tempat bersangkutan, tidak dimusnahkan oleh Islam. Seperti di Jawa, Wali Songo menangani wayang dan lain-lain.
Syafii Ma’arif kemudian mengajak untuk memeriksa sejauh apa pengaruh Islam merasuk ke dalam kesenian, di luar perkara syair-syair yang Islami. Katanya, “Kalau kita melihat tari, kalau ada nuansa Islam itu mungkin pakaiannya yang lebih tertutup. Ini mungkin persoalan aurat. Tarisaman luar biasa tertutup. Tari Piring Minangkabau juga tertutup. Di situ mungkin ciri Islam, pengaruh Islam. Begitu juga seni makan, makan di dalam Islam itu dibatasi, yang halal dan baik, itulah pengaruh Islam.”
Pembicara kunci Goenawan Mohamad mengajak untuk melihat sifat-sifat komunitas dan identitas yang sering dianggap sebagai sesuatu yang sudah pasti, menetap, dan tidak berubah. Merujuk pada pendekatan antropolog Ernest Gellner yang sudah ia gubah, ia menyebutkan bahwa komunitas itu sangat contingent, sangat tergantung, sangat serba kemungkinan. Ia menunjuk contoh misalnya komunitas satu suku tergantung bahasa yang dipakai, tergantung suasana, tergantung hubungan dengan suku lain atau komunitas lain. Oleh karena itu selaludiperlukan usaha untuk merayakan komunitas itu secara terus menerus.
“Maka penting tari saman itu hidup untuk mengukuhkan komunitas yang ada, namun pada saat yang sama harus diingat bahwa, karena sifatnya yang contingent, yang tergantung, yang serba mungkin, sebuah komunitas akan berubah bersama waktu. Berubah, misalnya tari saman yang semula hanya di kalangan komunitas Gayo yg tinggal di satu tempat, bisa dipakai dan ditarikan oleh komunitas lain. Tari Bali juga demikian, hal yang sama juga terjadi pada gamelan. Ada festival gamelan internasional, itu berarti komunitas gamelan juga meluas,” kata Goenawan.
Perubahan tersebut sangat tergantung pada berbagai hal, dan bisa beragam. Pada kasus samanGayo, yang ikut berubah juga keragaman elemennya. Tambahnya, “Maka kemudian bukan hanya orang Gayo yg menari saman tapi juga orang Jawa Timur seperti putranya Pak Dirjen. Demikian juga tantangan-tantangan dari komunitas itu juga berubah. Kalau tadinya meneguhkan kebersamaan dalam menghadapi panen yg gagal, tapi kemudian saman dipakai untuk meneguhkan ikatan komunitas ketika ada mall datang, atau kapitalisme datang ke satu tempat.”
Dalam penjelasannya ia mengatakan bahwa komunitas itu bukan sesuatu yang sudah ada dari sebelumnya, tapi sesuatu yang justru dikonstruksikan, sesuatu yang dianggit (Jawa: menggubah dalam imajinasi), atau imagined. Contoh terkenal dari perkara ini adalah pendapat Bennedict Anderson, bahwa sebuah bangsa itu imagined community, komunitas yg dianggit, tidak pernah hadir atau belum ada sebelum bangunan sosial itu terbentuk.
Dalam hal ini para anggota komunitas itu tidak dengan sendirinya saling melihat titik persamaan di antara mereka. Komunitas etnis juga demikian, sesungguhnya tidak ada persamaan yg menyatukan, tapi dengan spontan atau direkayasa mereka membayangkan dan menggubah adanya persatuan dan kesatuan di antara mereka.
Misalnya Indonesia menganggit satu kesatuan dan persatuan sejak awal abad 20 ketika makin lama berbagai kelompok yg disebut suku menyatakan diri sebagai satu bangsa, bangsa indonesia. Jadi Indonesia itu tidak lahir sejak dulu, tidak ditakdirkan demikian, tapi dikonstruksi oleh masyarakat.
Ia menyebutkan bahwa yang menentukan identitas sebuah komunitas adalah peran bahasa, kekuasaan dan administrasi, infrastruktur, lalulintas, media massa, dan pendididikan. Bahasa berperan ketika menyebut nama seperti Gayo, Aceh, Jawa, Sunda, Indonesia, atau Amerika. Bahasa tidak pernah berasal dari kesadaran diri, tapi merupakan bagian dari dunia orang lain juga. Sementara itu kekuasaan dan administrasi berperan mengukuhkan nama itu, seperti di KTP, paspor, bendera, pembagian wilayah, atau sensus. Semua adalah pembentukan identitas yg dari luar, dari kekuasaan. Kesadaran berbangsa Indonesia menyebar antara lain lewat jasa media massa, demikian juga dengan pendidikan.
“Di TMII ada rumah gadang mewakili Sumatera Barat. Tapi Sumatera Barat bukan hanya Bukittinggi, bagaimana dengan Mentawai? Jadi masalah identitas itu selalu diringkaskan. Kita harus berfikir serius tentang apa sebetulnya pengertian suku, apa yg menentukan suku, apakah itu bahasa , DNA, adat istiadat? Padahal Solo dan Yogya saja berbeda. Jadi suku itu apa? Orang mengatakan bahwa suku Jawa itu suku mayoritas, tapi harus ditanya: apa yang dimaksud dengan suku Jawa? [Jika ditelisik] akan ketahuan, kita ini terdiri dari minoritas-minoritas, atau bahkan komunitas-komunitas yg tidak sendirinya mencakup komunitas lain. Semua adalah komunitas imagined, yg dianggit,” kata wartawan, penyair, dan esais terkemuka ini.
Goenawan Mohamad melihat bahwa identitas dan komunitas seperti garmen yang dipakai untuk menutupi ketelanjangan diri. Yang terbaik adalah mengenakan garmen itu secara longgar agak mirip dengan jubah padang pasir, seperti yang dipakai Lawrence of Arabia, seorang Inggris yang memakai jubah Arab karena dia menolong bangsa Arab dalam pertempuran. Jubah itulonggar dari mana ketelanjangan seseorang itu bisa dirasakan atau kadang-kadang ditebak.
“Kepercayaan pada ketelanjangan ini, itulah satu-satunya hal yang memberi orang kekuasaan untuk mengganti jubahnya. Jadi ada kebebasan kita untuk tidak dijebak oleh identitas, kita tidak dijebak oleh pakaian kita, kita bisa mengubah pakaian kita dengan kebebasan, dengan kreativitas,” katanya di tengah suasana seminar yang antara lain diwarnai oleh wacana terhadappengukuhan identitas.
Goenawan menambahkan, “Karena itulah maka kesenian bukan hanya meneguhkan identitas tapi juga mengubah identitas, mengkreatifkan identitas, mengkreatifkan komunitas, menemukan sesuatu yg baru. Manusia ditakdirkan untuk memproduksi kebaruan, diharuskan untuk memproduksi kebaruan. Itu sebabnya satu kesenian tidak bisa berhenti di satu tempat, tidak bisa berhenti di satu bentuk, dia akan berkembang terus.”***