Oleh: Ansar Salihin*
“Aku senang jadi Cantoi, cita-citaku hanya satu tetap Cantoi. Bukan toke cantoi, Keuchik Cantoi, camat Cantoi, bupati cantoi, gubernur Cantoi, Mentri Cantoi, Presiden Cantoi, apalagi Ustad Cantoi”
LAMPU merah menyorot panggung, terdengar musik Seurunekale (alat musik tiup tradisi Aceh) kemudian disambut dengan musik Rapa’i (alat musik gendang tradisi Aceh). Kedua jenis musik tersebut saling menyatu dengan nada tinggi. Cantoi muncul dari arah penonton “Assallammualaikum, maaf saya telat” ucapnya dengan logat Aceh sambil menyalami penonton. Kemudian lelaki berpakaian Putih Hitam itu, kopiah miring di kepala, dan selempangan sarung, menuju panggung sambil menari seudati mengikuti irama musik.
Itulah awal monolog Hikayat Cantoi yang diperankan Teuku Afifudin (Mahasiswa Jurusan Teater Institut Seni Indonesia Padangpanjang). Pentas dalam acara pelantikan ketua HMJ Teater ISI Padangpanjang di Gedung Teater Arena Mursal Esten, Kamis 10 Januari 2013. Naskah lakon monolog berjudul Hikayat Cantoi merupakan karya Sulaiman Juned (Penyair, Sutradara, dan Dosen teater ISI Padangpanjang). Naskah ini terinspirasi dari peristiwa konflik yang terjadi di Aceh. Lalu ia tuliskan cerpen, dari cerpen menjadi naskah lakon monolog, selanjutnya kini telah menjadi novel. Pertunjukan yang dimainkan Teuku Afiffudin berangkat dari kesenian teater tutur Aceh peugah haba yang berarti berbicara dengan bercerita yang dimainkan oleh Teungku H. Adnan P.M.T.O.H dikawinkan dengan konsepsi teater modern melalui movement (Pergerakan) atau teori penyutradaraan yang dikenal dengan teori Brechtian.
Afifuddin aktor dalam monolog Cantoi bercerita dalam pertunjukan tersebut berangkat dari lokalitas ke-Aceh-an, seperti Adnan P.M.T.O.H bercerita atau peugah haba dalam pertunjukannya. Cantoi bercerita sambil bersyair, mengalunkan lagu berlogat Aceh. Cantoi memulai cerita perjalanannya dari Aceh menuju ranah Minang. Keberangkatannya dari Aceh naik bus PMTOH, ia ceritakan perjalanan kota perkota sehingga sampai di Medan. Ketika cantoi mau melanjutkan perjalan ia ditodong oleh pencopet, dalam monolognya ia mengatakan “dompet kiri kanan Rencong bisa hilang”.
Selain cantoi bercerita tentang perjalanan dari Aceh ke Sumatera Barat, ia juga mengenang masa lalunya ketika terjadi konflik di kampungya. Contoi pernah ditodong oleh orang-orang tak dikenal diperjalanan. Orang tak kenal itu bertanya kepada Cantoi “Kamu tahu gak di mana maling bersembunyi” Cantoi menjawab “Kami orang kampung mana tahu tentang maling. Pekerjaaan kami hanya bertani, kalaupun ada maling berkeliaran di sini pasti pelarian dari kampung lain” Kemudian cantoi dipukuli sampai babak belur.
Pada masa konflik di kampung Cantoi, ada istilah “orang tak dikenal” mereka adalah orang-orang yang berkhianat, tidak mau memunculkan dirinya dan sangat suka menuduh orang lain. Kemudian dalam monolog cantoi ada juga istilah maling dan pendekar. Maling diibaratkan orang-orang pemberotak terhadap negara sedangkan pendekar adalah orang-orang yang membela negara. Orang tak dikenal itu adalah orang-orang jelmaaan dari pendakar dan maling. Pendekar sangat sering menyiksa rakyat karena menuduh rakyat sebagai maling, sedangkan maling juga sering menyiksa masyarakat karena dituduh bekerja sama dengan pendekar. Sementara itu orang tak dikenal selalu menyiksa rakyat, membakar rumah, mencuri barang-barang masyarakat bahkan sampai memperkosah anak-anak gadis dan membunuh orang-orang tak bersalah.
Itulah yang ingin disampaikan oleh cantoi dalam ceritanya dari Aceh menuju ranah Minang. Ia berharap di sini tidak ada maling dan pendekar. Ia sangat takut karena mereka kejam-kejam semua. “Di sini ada maling tidak ?” Kalimat itu diucapkannya beberapa kali kepada penonton. Masa lalunya membuat Cantoi trauma terhadap prilaku maling kepadanya.
Kemudian dengan tenang Cantoi melanjutkan ceritanya “Tapi sekarang maling dengan pendekar sudah damai, mereka sudah duduk satu kantor, maling boleh jadi pendekar dan pendekar boleh jadi maling” dengan ketawa ia menyebutkan kalimat tersebut. itulah kondisi kampung Cantoi saat ini, tidak ada lagi pemisah antara orang berkhianat, pembela, dan orang-orang pemberotak”.
Pernah suatu saat Cantoi pergi ke kantor maling dan penjahat, membawa proposal dengan tujuan meminta bantuan. Sampai di kantor ia bercerita kepada petugas kantor “Saya cantoi pak, saya korban komplik, keluarga saya sudah habis meninggal saat peperangan terjadi, rumah saya terbakar sehingga jadi abu. Saya mohon bantuan bapak” Sambil menangih-nangis cantoi memohon kepada petugas kantor, tapi petugas kantor tak memberikan apa-apa.
Monolog cantoi merupakan pertujukan komedi Satire yang dimainkan dengan logat Aceh tidak hanya menghibur penonton, melainkan memberikan informasi dan pembelajaran moralitas kepada penonton. Ada pesan moral yang disampaikan oleh aktor kepada penonton, salah satunya adalah karakter Cantoi dan keteguhan pendirinnya. “Cantoi tetaplah cantoi” kalimat itu sering diucapkannya bekali-kali, bahwa ia menyatakan dirinya adalah seorang masyarakat biasa tak mendukung pemberotakan, ia tak terlibat dalam politik, apalagi seorang maling, dengan tulus ia mengatakan “Cantoi tetap cantoi”. Nilai kejujuran yang dimiliki cantoi sangat luar biasa, nilai itulah yang seharusnya mampu menjadi pembelajaran kepada masyarakat.
Pertunjukan tersebut tidak seutuhnya diambil dari naskah Hikayat Cantoi Karya Sulaiman Jund, namun ada beberapa perubahan dan itulah yang manjadi kreativitas seorang aktor mampu menciptakan kreasi-kreasi baru. Cerita perjalanan Cantoi dari Aceh ke ranah Minang, ia mengatakan “Sampai saya di ranah Minang, saya heran. Di sini rumah tinggi-tinggi sekali atapnya, sampai gonjong menusuk bulan”. Kalimat tersebut kalau dilihat dalam naskah Hikayat Cantoi karya Sulaiman Juned tidak didapatkan. Inilah yang dielaborasikan oleh sang aktor Teuku Afifuddin.
Hal tersebut merupakan kekuatan sang aktor memaikan sebuah naskah monolog, tidak harus sesuai dengan naskah aslinya. Namun adanya kreasi baru yang kreatif dapat menarik perhatian penonton. Selain itu juga, Teuku Afifuddin sebagai aktor tidak hanya memainkan peran Cantoi saja, ia juga memainkan peran pendekar, ustad dan peran lainnya, seperti Well made Play (satu tokoh memainkan banyak karakter). Ketika monolognya pendekar ia menjadi pendekar, dan ketika menceritakan tentang ustad ia juga menjadi ustad. Afid saat menjadi Cantoi bercerita menggunakan dialek Aceh sedangkan saat menjadi pendekar dan ustad dialek Acehnya hilang, ia memainkan peran sebagaimana peran pendekar dan ustad.
Salah satu peran pendekar yang dimainkan oleh aktor “Kamu tahu tidak dimana maling-maling itu bersembunyi?” kalimat tersebut diucapkan dengan gagah dan karakter seorang militer. Kemudian peran ustad dengan gaya dan karakter seorang ustad “….Saudara-saudara, untuk masuk surga harus banyak pahala daripada dosa, berbuat kebajikan bagi ketentraman ummat manusia……” dalam waktu sesaat ia berubah lagi peran Cantoi dengan dialek Aceh “…Begitu ia bilang ketika aku duduk didangaunya setelah membersihkan air parit sawahnya….”. Ketiga monolog tersebut memiliki karakter dan ciri khas yang berbeda dalam memerankannya. Ketiga-tiganya dapat dimainkan oleh satu orang aktor dengan karakter dan ciri khas tersendiri.
Pertujukan Hikayat Cantoi karya Sulaiman Juned sudah pernah dipentaskan tahun 2007 ujian Akhir S2 Sulaiman Juned di Gedung Teater Arena Mursal Esten ISI Padangpanjang. Melalui Hikayat Cantoi, Sulaiman Juned telah mencoba menawarkan suatu pembaharuan terhadap teater tutur Dangderai Teungku Adnan PMTOH. Teater tutur tradisional Aceh dengan sentuhan kreativitas teater modern. Melalui monolog Cantoi Teuku Afifuddin menyampaikan kembali pesan-pesan yang terkandung dalam naskah Hikayat Cantoi dengan garapan inovasi terbaru dan kreativitas aktor terhadap sebuah pertunjukan.
Teuku Afifuddin aktor monolog Cantoi sekaligus menjadi sutradara dalam pertunjukan tersebut mengkolaborasikan konsep teater modern dengan konsep lokalitas teater tutur Aceh. Teater modern menggunakan konsep gerakan-gerakan, pertunjukan tersebut aktor memakai pergerakan/bloking berasal dari gerakan seudati. Selain itu juga untuk memperkuat identitas budaya aktor juga memakai kekayaan musik perkusi tubuh. Perkusi tubuh ala Aceh menimbulkan bunyi musik dengan gesekan tubuh yang dijadikan instrumen. Inilah kekuatan naskah lewat Kramagung dan catatan samping.
Atas dasar itu terdapat beberapa perbedaan kesenian teater tutur Aceh (Hikayat yang dibawakan Teungku Adnan PMTOH) dengan teater modern. Teungku Adnan PMTOH bercerita dengan gaya memainkan ekspresi wajah, dan suara yang berubah-ubah. Tekhnik memainkannya duduk dengan mempergunakan senjata mainan anak-anak. Inilah teater Tutur Dangderia yang sudah dilakukan pengembangan oleh Tgk. H.Adnan. Dia merupakan tukang hikayat yang sangat populer sejak tahun 1960-an. Teater tutur Aceh atau Sering juga disebut masyarakat Aceh poh tem berarti orang yang pekerjaannya bercerita. Ada juga yang menyebutnya Dangderia seperti drama monolog atau berbicara sendiri. Teater tutur ini menjadi menarik setelah dikembangkan Teungku Adnan dengan mempergunakan alat musik rapa’i, pedang, suling (flute), bansi (block flute) dan mempergunakan proferti mainan anak-anak, serta kostum (Sulaiman Juned, Deskripsi Hikayat Cantoi, Program Magister Pascasarjasana ISI Surakarta, 2007:3). Kemudian gerakan dalam teater tutur Aceh hanya gerakan di tempat, gerakan tubuh dan memaikan properti.
Sementara itu teater modern merupakan pertunjukan yang tersusun secara sistematis menggunakan konsep gerakan, dialog dan penataan artistik menjadi satu kesatuan yang utuh tidak terpisahkan. Tiga unsur tersebut merupakan kekuatan dalam sebuah pertujukan teater modern. Bagaimanakah menyatukan konsep teater tradisi dengan teater modern, itu merupakan kecerdasan seorang penulis naskah lakon, sutradara dan aktor. dalam pertunjukan tersebut, sutradara/aktor menggarap teater modern dengan konsep teater tutur Aceh Dangderia Teungku Adnan PMTOH.(winansar[at]ymail.com)
*Mahasiswa Jurusan Seni Kriya Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia dan pegiat di Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang.