Tanoh Gayo Penghasil Kopi
Dataran Tinggi Tanoh Gayo
Hamparan kemilaunya merah buah kopi
Menyemburat dari celah dedaunan hijau
Menyelimuti pengunungan bumi tanoh Gayo
Gunung – gunung yang menjulang tinggi
Lembah – lembah yang curam dan terjal
Bertahta yang dihiasi pita seluid tanama kopi
Gayo tidak bisa dipisahkan dengan kopi
Ketika cahaya mentari tampak dikejauhan
Diiringi kokokan ayam jantan yang bersahutan
Hentakan langkah kaki – kaki anak negeri
Menuju perkebunan kopinya
Takengon, 09 September 2012
–
Potret Petani Kopi Gayo
Ketika fajar telah menyingsing
Derap langkah kaki mereka mulai terdengar
Tawa, canda mengiringi langkah kaki mereka
Terlihat wanita paruh baya
Dipunggungnya melingkar sebuah tas yang terbuat dari goni
Inilah petani kopi Gayo
Mereka berjalan menyelusuri jalan setapak
Agar sampai ke kebun kopinya
Tak kenal lelah
Mereka terus memetik
Satu demi satu buah kopi yang telah matang
Wahai petani kopi Begitu malang nasibmu
Kau tertindas dengan kejamnya dunia pasar
Harga yang tak pernah berpihak kepadamu
Cerit tangismu tak pernah di dengar
Kehebatan kopimu telah terdengar ke seluruh dunia
Takengon, 07 Oktober 2012
–
Nasib Petani Kopi Gayo
Hasrat dan mimpi
Serta kerinduan petani kopi Gayo untuk hidup sejahtera
Kelihatannya masih jauh dari kata tercapai
Bentuk kecurangan dalam rantai penjualan
Ketika sudut – sudut tanah Gayo berkilau kemerahan
Ketika pita kemiskinan masih terulur panjang
Ketika kenestapaan petani kopi Gayo
Ketika keterhempitan petani kopi Gayo
Ketika berdayaan petani kopi Gayo
Petani kopi Gayo terus tertindas
Kultur keuntungan kian membudaya
Apakah sekedar upaya meneteskan air mata
Masihkah cukup bermakna ?
Sekedar persembahan keringat-keringat petani kopi
Sekedar ultimatum yang hampa perwujutan kata
Sekedar retorika yang bias makna
Rasanya telah lebih dari cukup
Pemerintah hanya menggagasi
Lahirnya sebuah pelatihan
Yang hanya akan melatihkan pelatihan
Ketika naluri keuntungan begitu merakyat
Merasuki jiwa para investasi
Ketika bahasa keuntungan hadir
Sebagai suatu wacana yang bisa dibaca oleh pengabdi keuntungan
Lantas, kemana raibnya sense of belonging
yang semestinya pemerintah punyai ?
Jadi, hanya sebatas spons apatis itukah
Yang mampu pemerintah lakukan ??????
Hati mereka sudah tertutup, tiada lagi rasa iba
Lembu yang berkerja di sawah
Tapi, kucing yang makan nasi di rumah
Nasibmu, oh petani kopi Gayo
Takengon, 18 September 2012
–
Kopi Gayo
Biji – biji dan daun – daun kopi
Menyelimuti bumi Tanah Gayo
Dari terpaan hembusan sang bayu
Dari sekala tatapan mata dunia
Terpaku Aku menatap bumi
Kopi Gayo,
Tidak pernah menangis karena diceraikan
Tidak pernah tertawa karena dinikahi
Kopi Gayo,
Tidak akan menjadi lebih tinggi karena di cintai
Tidak akan menjadi lebih rendah karena di benci
Kopi Gayo tetap ;
Memiliki karateristik Terunik di dunia
Memiliki karakter terbanyak
Memiliki citarasa yang khas
Aura kopi Gayo
Menciptakan sensasi rasa keras
Saat kopi ditenguk dan aroma yang menggugah semangat
Takengon, 27 September 2012
–
Gayo Hidup Dari Biji Kopi
Mereka gantungkan harapan pada biji – biji kopi
Mereka berkerja ketika tetesan – tetesan embun mulai menyentuh bumi
Mereka akhir dengan kembalinya sang surya keperaduan
Kebiasaan, mungkin sudah kewajiban bagi mereka.
Mereka merasakan terik matahari yang sangat menyengat.
Mereka merasakan dingin yang menggigil
Biaya hidup mereka
Sekolah anak – anak mereka
Dari kumpulan – kumpulan biji kopi
Kopi bagi mereka adalah benda kecil yang bermakna besar.
Gantungan masa depan mereka, anak mereka, cucu mereka
Walaupun tanpa sentuhan pendidikan
Mereka terus merawat tanaman kopi
Mengais daun – daun kopi
Demi mengharapkan biji – biji kopi
Perjuangan demi menata seberkas harapan
Lelah yang selalu meraka rasakan
Meraka tidak pernah membuatnya mengeluh,
Mereka terus berusaha bekerja,
Walaupun berbagai macam penyakit sering menghampiri mereka
Jerih payah mereka tak ternilai harganya
kopi yang mereka semai dengan keringat serta hati yang sabar
Mendapat predikat kopi terbaik diseluruh dunia.
Para petani menjadi semakin bersemangat
Dalam berkerja dan terus berusaha
Sungguh, lelah yang selama ini mereka rasakan akan musnah
Seketika jika mengingat bahwa hasil keringat mereka sangat dibutuhkan
Mereka tanamkan dalam hati untuk menjadi orang yang berkerja keras
Takengon, 09 September 2012
—
Hammaddin Aman Fatih lahir di Takengon, 13 Maret 1973. Alumnus Antropologi Fisip USU-Medan saat ini berprofesi sebagaai guru di SMAN 1 Timang Gajah Kab. Bener Meriah. Telah menerbitkan sebanyak ± 173 opini/artikel di koran nasional/daerah serta menerbitkan beberapa buah buku, diantaranya: Zamrud Khatulistiwa, Visiklopedian Negeri Antara, Multiralisme Menuju Pendidikan Berbasis Multikultural, Refleksi Setengah Abad Pendidikan Aceh serta beberapa naskah buku yang masih dalam proses pencetakan.
Puisi Hammadin Aman Fatih dinyatakan lulus seleksi tahap pertama dan berhak menjadi nominator karya yang akan dimuat dalam Buku Antologi Puisi “Secangkir Kopi” terbitan The Gayo Institute (TGI) yangdieditori Fikar W Eda dan Salman Yoga S.