Gayo Pisah dari Aceh karena Devide et Impera?

Catatan Win Wan Nur*

Peta

Tadi, oleh seorang teman di Facebook, saya di-tag ke link ini, berita yang berisi pernyataan dari Ikatan Silaturrahmi Aneuk Aceh Seluruh Dunia di Jerman, yang berisi pernyataan sikap mereka tentang gerakan pemekaran provinsi Aceh, yang belakangan ini sedang marak dan berkibar kencang di wilayah Tengah, Barat dan Selatan Aceh.

Inti dari pernyataan sikap ini adalah, gerakan yang menuntut pemekaran ini hanyalah nafsu dari segelintir elit yang sakit hati karena tidak lagi berkuasa. Dan karenanya mereka mengadopsi teknik Devide et Impera ciptaan Belanda.

Klise….inilah yang dapat saya katakan atas pernyataan sikap ini.

Meski jujur saya katakan, dulu saya pun sebenarnya berpikir sama seperti para mahasiswa ini, tapi setelah kembali ke Gayo dan merasakan sendiri suasana dan fenomena yang terjadi di masyarakat, saya jadi memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai masalah ini.

Memang benar ide ini tidak bisa dilepaskan dari keinginan segelintir kelompok yang menginginkan kekuasaan,(tapi bukankah dalam setiap gerakan perjuangan apapun selalu ada kelompok seperti ini?). Tapi mengatakan bahwa faktor adanya segelintir kelompok yang menginginkan kekuasaan adalah satu-satunya alasan munculnya gerakan pemisahan ALA/ABAS dan ini semata hanya teknik lama yang diadopsi dari teknik Devide et Impera yang dilakukan Belanda adalah sebuah pelecehan bagi kecerdasan rakyat ALA/ABAS. Karena dengan mengatakan seperti ini, sama saja dengan mengatakan seluruh rakyat yang berdiam di calon provinsi ALA dan ABAS adalah manusia-manusia tolol bin pantengong, yang tidak secerdas anak-anak Aceh yang ada di Jerman ini.

Adalah tidak mungkin, ada asap kalau tidak ada api. Adalah tidak mungkin para gerombolan yang ingin berkuasa itu bisa memprovokasi seluruh rakyat kalau tidak ada landasan yang mendorongnya. Dan tidak ada bahan bakar yang menggerakkannya.

Landasan itu adalah ketidak adilan Aceh terhadap wilayah ini yang sudah berlangsung sangat lama. Bahan bakarnya adalah sikap arogansi dan kesombongan masyarakat Aceh pasca MoU yang merasa paling berjasa dan paling berhak untuk mendapatkan segalanya. Dan terang-terangan melecehkan eksistensi suku-suku Non Aceh (dalam kasus ALA).

Lalu yang membakarnya?….Abdullah Saleh, DPRA melalui Qanun Wali Nanggroe-nya dan juga terakhir dengan Qanun Bendera.

Apa yang disampaikan para mahasiswa Aceh yang ada di Jerman ini sebenarnya persis merupakan argumen standar dari kelompok mayoritas yang didukung penguasa.  Pernyataan yang mereka pikir merupakan analisa yang sangat cerdas yang berdasarkan atas pengamatan brilian yang sama sekali tidak bisa dilihat oleh masyarakat yang hidup di wilayah Tengah, Barat dan Selatan provinsi paling ujung Sumatera ini sebanranya tidak lain adalah PLAGIASI alias  Copy -Paste dari argumen para pembela Indonesia, ketika dulu Aceh bergolak.  Saat itu para pecinta NKRI di luar Aceh, semua berpikir bahwa pergolakan yang terjadi di Aceh murni karena provokasi pihak GAM yang terdiri dari barisan sakit hati yang ingin berkuasa.

Fakta bahwa, justru tindakan pemerintah Indonesia dalam menumpas GAM yang berlaku sangat tidak adil, merendahkan martabat dan harga diri orang Aceh lah yang membuat rakyat Aceh membenci Indonesia. Sama sekali luput dari analisa mereka.

Inilah yang persis seperti yang terjadi pada gerakan ALA saat ini.  Ada benarnya awalnya gerakan ini diawali oleh sekelompok barisan sakit hati. Tapi pemerintah, DPRA dan rakyat Aceh mayoritas yang bersama-sama melakukan ketidak adilan, melecehkan dan merendahkan masyarakat di wilayah tengah lah yang membuat gerakan pemisahan provinsi ini menjadi massif dan mendapat dukungan dari masyarakat banyak.

Mulai dari masyarakat akar rumput sampai pejabat tinggi di Aceh, melakukan pelecehan terhadap suku-suku minoritas secara terang-terangan. Dengan pilihan bahasa yang sesuai dengan kapasitas mereka.

Dan jelas sekali para mahasiswa yang ada di Jerman yang merasa diri jauh lebih cerdas dari rakyat yang tinggal di wilayah yang menuntut pemekaran ini, gagal melihat masalah utama ini.

Jadi, benarlah seperti kata pepatah kuman di seberang lautan tampak jelas, Gajah di pelupuk mata sendiri tak kelihatan.

Agaknya tepat sekali kalau pepatah ini kita lekatkan pada para mahasiswa Aceh di Jerman yang merasa diri pintar ini. Pepatah ini juga sangat tepat menggambarkan semua kelompok intelektual, pejuang HAM dan segala gerakan sipil yang ada di Aceh, yang dulu berteriak begitu kencang ketika Aceh dizalimi Jakarta. Tapi sekarang semua seolah buta, tidak mampu melihat apa-apa, ketika Aceh mereka, menzalimi suku-suku minoritas yang di mulut dengan manis mereka sebut sebagai saudara.

*pemerhati sosial politik, tinggal di Jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3,627 comments

  1. win wan nur ini anti aceh, sama kayak orientalis anti islam, smuanya mana ada benar, nulis sesuai nafsu sendri, nggak mau ngalah kalau berdebat,
    kalau ada orang2 yg terserang oleh tulisannya menyerang dia pribadi dan anteknya bukan gayo secara umum eeeehhh mencak2 marah, padahal kita tahu orang2 gayo juga bnyak menghina, mencaci, dsb untuk orang aceh, cuma orang aceh nggak tahu arti saja, bilangin aceh tenkang, didoakan kena tsunami lagi bilangin aceh gini gitu ….. intropeksi ajalah nggak ada manusia sempurna

  2. permerintah amrik waktu mau mnyerang negara2 islam memakai simbol islam sebagai musuh, agar di dukung oleh rakyatnya dan berpidato bahwa ini adalah perang salib(suci) utk menumpas iblis. sama juga dengan proyek ALA terus menerus mendiskreditkan pemerintahan aceh itu secara etnik(suku acih) kalau kita bicara masalah pembangunan maka itu bisa di jawab ke pemerintah pusat, aceh sendiri sudah mendapat otonomi khusus namun uang dari sumber alam semuanya ke pusat(jakarta) bukan aceh sebagai daerah memberi upeti ke pusat seperti lazimnya metode OTONOMI/desentralisasi itu sendiri, kalau masalah gesekkan etnis antara acih dan gayo sendiri memang sudah lama terjadi bahkan acih itu sendiri antara kabupaten sj tetap terjadi gesekan, bgt juga di gayo antara uken dan toa, antara takengen dan blangkejeren sama, bahkan gayo blang sendiri juga dulu sewaktu masih di bawah Agara juga nggak cocok dengan ALAS, tp tetap ada org gayo yang menikah dgn orang2 ALAS dan acih, menurut saya imanjinasi penulis akan gesekan ini terlalu besar, bahkan di propinsi lain juga seperti itu saya beri contoh di sumut sendiri antara orang karo dan orang toba mereka juga tidak cocok. jadi menurut saya lebih baik masalah besar di kecilkan, masalah kecil itu dihilangkan saja, karena kita masih seiman.

  3. Nafâ’its Tsamarât: Bersabar atau Binasa

    Dua orang saling mencaci maki di hadapan Hasan al-Basri rahimahullâhu, semoga Allah merahmatinya. Lalu, orang yang dicaci maki itu berdiri sambil mengusap keringat dari wajahnya, dan membaca firman Allah: “Tetapi orang yang bersabar dan mema’afkan, sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.”(TQS. Asy-Syûra [42] : 43).

    Kemudian Hasan al-Basri berkata: Bagus! Demi Allah, ia benar-benar memahaminya, di saat orang-orang bodoh menyia-nyiakannya.

    Selanjutnya, ia berkata: Anak Adam itu (dalam menghadapi ujian) benar-benar bersabar atau ia benar-benar binasa (karenanya).

    Abu al-Faraj Ibnul Jauzi, Adâb al-Hasan al-Bashri wa Zuhduhu wa Mawâ’idzuhu.

    Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 9/4/2013.

  4. Tambah kacau kalau di pantau dari jauh. sekarang bagaimana solusinya neh. secara defakto aceh sdh mengarah ke negara sendiri dari MOU helsinki dijelaskan aceh boleh menggunakan mata uang, bendera, himne sendiri kalahnya hanya 70% hasil bumi aceh di gunakan sisanya di kejawakan itu juga udah melebihi provensi lain. ayo…. dong kita renungkan dari pada berpisah dgn aceh. mending merdeka. kalau istana aceh jadi di bagun kemungkinan kecil jadi negara bagian