Saat Takengon Digampar Gol A

Bersama Gol A Gong, LK Ara dan rekan-rekan dari Lintas Gayo di Bur Gayo Takengon. (Lintas Gayo | Darmawan Masri)
Bersama Gol A Gong, LK Ara dan rekan-rekan dari Lintas Gayo di Bur Gayo Takengon. (Lintas Gayo | Darmawan Masri)

Ada sebongkah rasa membuncah, bergemuruh di dada kala kudengar penulis Gol A Gong akan datang ke Takengon. Rasa ini tidak hadir saat kudengar seorang artis ternama menyambangi kota kecilku, kota yang berada di antara barisan pegunungan, begitu juga ketika seorang menteri datang.

Nama Gol A Gong (dulu ditulis Gola Gong) terukir dibenakku sejak aku duduk di bangku Sekolah Mengengah Pertama (SMP). Aku bersyukur dibesarkan dengan bacaan karya Gol A Gong, Asma Nadia, Pipiet Senja, Helvi Tiana Rosa, Hilman Hariwijaya, dan Boim Lebon. Sedikit banyak, karya-karya mereka mengispirasiku untuk berkeinginan menjadi seorang penulis.

Dahulu aku tidak terlalu mengindahkan profile penulis yang karyanya ā€œkulahapā€. Tidak seperti sekarang, jika tulisan seseorang telah mengenai hati dan pemikiranku, aku akan mencari tahu tentangnya dan menjadi fans pagenya di jejaring sosial. Maka ketika melihat sosoknya di Wapres Cafe malam itu, pada acara Silaturahmi Bersama Gol A Gong (Heri Hendrayana Harris), aku tidak mengenalinya.

Rambutnya yang hampir sebahu dibiarkan terurai, khas seniman yang tidak terlalu mempedulikan penampilan. Ia mengenakan peci dan syal Kerawang Gayo. Tangan kirinya yang diamputasi saat dirinya masih duduk di bangku sekolah dasar, tersembunyi di balik jacket abu-abunya. Baru ketika slideshow menunjukkan fotonya dengan rambut diikat dan masih tampak muda dari yang sekarang, ah, aku menandai sosoknya yang seperti itu.

Saat aku masih SMP, Takengon memiliki tempat penyewaan komik/novel bernama Big Boy yang terletak di seputaran Bale Atu, hampir semua teman-temanku baik yang sekelas maupun tidak membawa komik/novel yang mereka sewa ke sekolah, membacanya saat istirahat atau ketika tidak ada guru. Saling bertukar sewaan ketika sudah menyelesaikan bacaan sebelum waktu pengembalian tiba.

Bahkan dari adanya sistem tukar-menukar bacaan, aku memiliki beberapa kenalan baru di sekolah. Kala itu jangan menyebut diri gaul jika belum pernah menginjakkan kaki di Big Boy. Berbeda dengan sekarang, yang disebut gaul adalah yang memiliki gadget mahal, smartphone, atau yang sering nongkrong di cafe setiap sorenya. Ironi.

Entah sejak kapan Big Boy tidak beroperasi lagi, dan aku tidak tahu alasannya kenapa, karena SMA aku melanjutkan ke Banda Aceh. Di kota itu aku masih melanjutkan kebiasaanku menyewa novel/komik, begitu juga ketika kuliah di Bandung. Malah disana aku menemukan tempat penyewaan yang cozy atau nyaman, selain sebagai tempat penyewaan, ia juga menyediakan tempat membaca, hotspot gratis, cafe serta tempat diskusi. Aku sampai berkhayal suatu saat memiliki tempat seperti itu di Takengon.

Aku terpekur ketika membaca potongan tulisan Gol A Gong di fans pagenya ā€œSahabat Gol A Gongā€ tentang Takengon, ā€œsebuah kota tanpa geliat kreativitas anak mudanya, maka matilah kota itu.ā€ Bukankah itu sangat menyesakkan batin? Ia yang baru sekali ini menginjakkan kakinya ke Takengon sudah dapat ā€œmembacaā€ situasi. Ia bahkan bertanya ā€œapa karena kopi, sejuknya udara Takengon dan lagu-lagu Gayo yang melenakan hingga membuat huruf-huruf di kepalamu itu tidur?ā€.

Glek! Walau tanpa intonasi yang kuat, kalimat itu seakan ā€œmenamparkuā€.Ā  Aku mengiyakan, sejuknya kota kecil ini menina bobokanku, ditambah dengan gerimis yang menyapa bumi, aduhai! Syahdu sekali menikmati sore berkalang selimut, hingga menghidupkan komputer pun aku enggan. Dan kebiasaan buruk ini benar-benar harus dibasmi, salah satunya dengan belajar untuk menghargai waktu, kalimat ini sekaligus untuk ā€œmencambukā€ diriku sendiri.

Pada kesempatan itu, Zul MD yang mengaku fans Gol A Gong sejak masih duduk di bangku sekolah, membacakan sajak Toto ST Radik yang terdapat pada Catatan Si Roy Jilid II; ā€œgadis manis//jangan biarkan sunyi mengiris-irisku lagi//telah cukup perjalanan lelahku//menempuh beratus putaran jarum jam//melewati duri sangsi dan nyeri hari-hari//kirimkan ombakmu senantiasa//agar bertemu kita//lumat di muaraā€.

Bacaan puisinya mengundang riuh seisi cafe. Sejenak ketika hendak duduk, Zul menghampiriku seraya berbisik, ā€œjika ada seorang laki-laki membacakan puisi itu untukmu, dan melamarmu langsung terima saja,ā€ ujarnya sambil tertawa, membuatku tergelak karenanya.

Ada persamaan yang kutemukan antara Gol A Gong dan Tere Liye (Darwis), selain sama-sama seorang petualang dan penulis, keduanya sangatlah teguh pada janji yang diikrarkan pada istrinya. Jika Tere Liye meniadakan foto bersama dengan fans yang perempuan sesuai pinta istrinya, maka Gol A Gong melunak untuk itu, ia hanya mewanti-wanti bagi perempuan untuk tidak memeluknya. Menurutku perpaduan antara petualang dan penulis itu melahirkan sosok lelaki yang romantis dan teguh pendirian, membuat anganku lepas melayang.

Menulis itu menurut Gol A Gong berarti mengabdi, menulis itu ibadah, menulis itu membuat diri menjadi kaya hati, jangan menulis untuk sekelompok orang, dan jika ada yang mengeritik tulisanmu maka jadikan itu sebagai motivasi agar menjadi lebih baik. Semoga kedatangan Gol A Gong menjadi pemicu bagi para pemuda-pemudi untuk berkarya, untuk membangunkan huruf-huruf yang ada di kepala masing-masing.

Seperti kutipan perkataan Pramoedya Ananta Noer, seorang penulis yang sampai akhir hidupnya, ia adalah satu-satunya wakil dari Indonesia yang namanya berkali-kali masuk dalam daftar Kandidat Pemenang Nobel Sastra. ā€œOrang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” (Ria Devitariska)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.