Ayah Gelisah, Harga Kopi Tak Kunjung Naik

Mahardi

DI NEGERI AWAN, Dataran Tinggi Gayo. Dua pekan lalu. Kota ini terus di guyur hujan. Ibu menunggu Ayah. Walau hujan, selepas pulang mengajar Ayah menyempatkan  pergi ke kebun kopi bersama Ibu. Ayah memacu sepeda motornya demi anaknya.

Pernah suatu hari Ibu menolak ajakan Ayah untuk pergi ke kebun, Ayah marah besar,“Jika di biarkan buah kopi kita bisa luruh  berjatuhan ke bumi karena sudah terlalu merah, tangkai buah kopi tak sanggup lagi menahan buahnya” Kata Ayah tegas  ke Ibu.

Sebagai istri yang taat, ibu pun terpaksa harus pergi menemani Ayah memetik buah kopi, meskipun rinai hujan menjamunya. Padahal buah kopi tidak begitu banyak, karena yang  tersisa hanya lah sisa masa panen besar di Bulan Maret lalu.

Sesaat sampai di kebun, Ayah selalu di sambut dengan bisik-bisik bisu. Ntah bagaimanA ia bisa memEtik kopi disaat hujan turun.

Harga kopi tak kunjung naik, Ayah gelisah. Gajinya kini tinggal Rp. 1,5 juta untuk memenuhi kebutuhan 5 orang anaknya. sementara, Ayah belum mendapatkan tunjangan sertifikasi sebagai Guru golongan 4a. Tahun lalu ia di beri kesempatan untuk mengikuti ujian Kompetensi, namun ia belum juga berhasil lulus mendapatkan srtifikasi Guru. Belum rezekinya Ayah mungkin.

Sebidang tanah ukuran 50 x 120 meter yang berada di pinggiran Danau Lut Tawar, hanya itulah harta milik Ayah satu-satunya. Kebun inilah yang melengkapi keperluan anak-anaknya.

Dua Bulan yang lalu harga kopi lumayan naik, Gelondongan biji merah dihargai 7000 per bambunya, kini sudah sanggat turun sekitar 4000 per bambunya. Saat harga naik,  penjualan kopi merah sudah cukup buat kebutuhan sehari-hari keluarga. Namun kini, Ayah pun terpaksa terkadang mengutang.

Kebun Ayah hanya berproduksi sekitar 300 gram biji kopi. Bila  di kali kan dengan harga biji sekarang per tahunya sekitar  sekitar Rp. 8,7 Juta pertahun pendapatan hasil dari kopi. Lumayan dengan harga dua bulan yang lalu, per tahun ayah bisa mendapatkan hasil sekitar 12 Juta.

Untuk menunggu harga kopi stabil, Ayah pun harus  membeli mesin gilingan kopi, supaya kopi Gelondongan merah bisa di olah menjadi biji. Hasil panen  kopi dua minggu yang lalu  masih di simpan, Ayah belum berkenan untuk menjualnya, ia baru berkenan saat harga kopi naik.

Sementara untuk keperluan dapur ibu dan Ayah terkadang bertengkar, lagi-lagi  Ibu pun harus berutang.

“Sabar sebentarlah Bu, nanti biji kopi yang kita kumpulkan ini bisa buat keperluan  sekolah anak-anak,” Ibu hanya diam, dan harus berutang lagi. Ntah sampai kapan harga kopi naik, sementara kebutuhan ayah terus meningkat. Harus memilih cara berhemat untuk keperluan kebutuhan seperlunya.

Sampai kapan Ibu terus berutang, masih kah ayah terus berpikir keras, di saat harga kopi turun..? Mungkinkah ayah berpikir mengolah biji jadi bubuk ? Ah, rasanya sulit bagi Ayah,” tanya ku dalam hati.

Namun salah satu perusahaan ternama yang ku baca di surat kabar beberapa waktu lalu, menyebutkan  perusahaanya menghabiskan 560 ribun ton biji kopi setahun, produksi kopi bubuknya masih kalah dengan kebutuhan konsumsi yang tiap tahunya meningkat.

Harga bubuk tidak pernah turun meskipun harga kopi turun, ini bedanya kalau ayah berani berpikir mengolah jadi biji menjadi bubuk. Kalau ayah tau bahwa konsumsi kopi terus meningkat.

Untuk tahun ini saja 230 ribu matrik ton yang diproduksi menjadi bubuk, sedangkan di tahun sebelumnya hanya 90 ribu matrik ton, produksi kopi Indonesia khususnya kopi Gayo masih  jauh di bawah angka permintaan dunia.

Kalau Ayah tau, potensi pasar itu besar dan banyak diminati, namun sayang ayah tak menangkap peluang ini, atau mungkin saja ayah tau, namun pemerintah tak mau tau soal ini. Al hasil peluang ini di nikmati pengusaha dari Negeri lain.

Diam-diam aku melihat wajah Ayah, ia benar-benar gelisah saat kopi turun. Jijik melihat muka mereka saat mengambil  uang delapan miliar dari petani kopi, tahun lalu tanpa memikir kan nasib petani. (Maharadi)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.