Kerohanian Masyarakat Gayo Zaman Pra Sejarah

Oleh: Surahman,S.IP*

surahmanSEJARAH Gayo dapat di kelompokkan menjadi lima fase yaitu zaman pra Hindu, zaman Hindu, zaman Islam, zaman kolonial dan zaman kemerdekaan, kalau di runut perjalanan sejarah tersebut: zaman kemerdekaan, kolonial, dan zaman Islam mempunyai bukti sejarah yang jelas tidak perlu diperdebatkan, zaman Nasrani tidak perlu dibahas karena tidak ada sedikitpun meninggalkan pengaruhnya di dataran tinggi Gayo, ini membuktikan zaman Nasrani tidak masuk ke dataran tinggi Gayo, zaman Hindu juga telah ditemukan bukti sejarah walaupun tidak sejelas zaman setelahnya, zaman sebelum Hindu masih dalam teka-teki besar?

Sebelum masuknya agama besar di dataran tinggi Gayo, masyarakat Gayo sudah ber-Tuhan dan memiliki kepercayaan yang kuat terhadap ritual kerelegiusan, dan meskipun agama-agama dalam perjalanan selanjutnya diterima. Bangsa Gayo dalam lintasan sejarahnya selama beribu tahun adalah bangsa yang lues, toleran dan terbuka (sampai saat ini semua suku bangsa dapat hidup berdampingan di dataran tinggi Gayo). Sejak awal sejarahnya yang paling dini, pengaruh agama dari luar diterima dengan ramah, khususnya agama Islam meskipun corak Hindu masih juga ada melekat sampai saat ini. Beberapa bukti sejarah membuktikan kesimpulan di atas, antara lain dapat diikuti dari bukti-bukti di bawah ini:

Agama Asli pada Era Pra- Hindu

Prof. M. Muhammad Yamin dalam bukunya Sapta Parwa (jilid II) membuktikan eksistensi keyakinan asli jauh sebelum kedatangan agama-agama besar dunia, antara lain mengutip ungkapan Van Vollehoven: “In Den Begine Was de Megic” (pada mulanya adalah kesaktian). Kesaktian masyarakat Gayo  di zaman pra-Hindu  dapat dibagi atas empat unsur:

1. Gegurun

2. Sihir

3. Asuh-asuhen

4. Doa (mantra-mantra)

Ide tentang “Alam Gaib” yang penuh tuah (Gayo), menunjukkan adanya keyakinan tentang yang maha Gaib.

Akar kata bahasa-bahasa Austronesia tuh, tuah inilah yang menjadi kata Tuhan, sejajar dengan bahasa nusantara kuno lainnya, Hyang. Kata Hyang (Tuhan) sampai kini masih terpelihara menjadi kata  “Semiyang/Sembahyang, (semah/sembah dan Hyang, “ Menyembah Tuhan“).

J. Ensink, mendukung kesimpulan Pigeaud, Sarjana Perancis pendahulunya mencatat salah satu ciri kepercayaan asli nusantara lain tercermin dalam klasifikasi alam “Serba Dua“ (mono-dualisme) terlihat pada Keni Rawan dan Keni Banan (Gayo) Lingga dan Yoni (sansekerta). Apakah sejarah Keni Gayo hanya untuk tempat air minum, kalau berdasarkan fungsi buat apa dibedakan baik tinggi, corak dan bentuknya, keni rawan dan keni banan adalah simbol dari Lingga dan Yoni, (akan di jelaskan dalam Buku Gayo, Bangsa Kuno yang Tersisa).

Selanjutnya, kekuatan Yang Maha Tinggi sering diibaratkan dengan gunung (melayu), buntul/bur (Gayo) dan Linge/Lingga (Sansekerta). Simbol keyakinan asli nusantara ini hampir semua gunung di dataran tinggi Gayo diyakini ada yang menungguinya, empu ni tempat (Gayo) seperti gunung Mendale dikuasai makhluk gaib bernama Merguh Tapa, Gunung Kelieten di kuasai oleh Sitembayak, gunung Birah Panyang dikuasai Datok Birah yang sampai hari ini masih ada yang meyakini, Gunung Birah Panyang di tempati para seaulia bernama Syeh Jalani, dan lain-lain.

Bahkan dalam masyarakat Gayo pra Islam hewan-hewan penguasa hutan rimba belantara dianggap sakral seperti Harimau, Harimau dalam mistik Gayo dapat dibagi atas empat bagian :

1. Koreng Jempa

2. Koreng Letong

3. Siti Ringino

4. Ineku Situel (Raja harimau dari segala harimau).

Meskipun tidak dibuktikan oleh tradisi tertulis  tertua dari nusantara sendiri, uniknya justru diabadikan dalam syair India Ramayana berbahasa Sansekerta (150 M) yang berbunyi “Yavadwipa matikramnya sisiro nama parwatah, diwam sprasati srngena dewa denawasevitah“ (di ujung nusantara berdiri Gunung Sisira, yang puncaknya menyaput langit, dikunjungi oleh para dewa dan dawana).

Jadi sebelum bangsa India datang ke nusantara menyebarkan Agama Hindu, sudah terdengar dari India sendiri tentang negeri di ujung nusantara dengan gunung parwatanya yang dikunjungi dewa. Maksudnya “Diujung Nusantara” (paling ujung nusantara adalah dataran tinggi Gayo) telah ada sebuah kepercayaan religi, “Berdiri Gunung Sisira” gunung yang dimaksud diduga gunung Linge/Buntul Linge maksudnya gunung yang menjadi simbol penyembahan kepada Sang Pencipta, karena defenisi Linge/Lingga dalam bahasa sansekerta adalah gunung, tempat persembahan dan kekuasaan lelaki (baca Lingga) “dikunjungi oleh para dewa“ artinya hampir semua gunung di dataran tinggi Gayo ara empue (Gayo), bahwa gunung di Gayo diyakini ada makhluk gaib sebagai penghuninya. Seperti yang telah dijelaskan di atas.

Dengan demikian bahwa sesungguhnya masyarakat Gayo pada zaman pra Hindu telah memiliki kepercayaan terhadap Yang Maha Kuasa, walaupun selanjutnya pengaruh Hindu juga mempengaruhi peradaban masyarakat Gayo di era berikutnya sebelum pengaruh Islam masuk ke dataran tinggi Gayo, ini terlihat dari nama-nama orang dan tempat pada masa lalu seperti Merguh Tapa, Malem Dewa, Kala Tapa, Gerpa dan lain-lain. Bahkan sampai hari ini sisa-sisa Hindu juga masih dapat ditemukan di sepanjang hulu-hulu sungai Arakundo seperti Linge, Jamat, Payung, Nasuh, Ulun Bayur, Pertik, Belang Pertik, Delung, Tekur, Sekinel dan Samar Kilang, sebelum menanam padi mereka masih melakukan ritual (kenduri) di Ulu Nueh (Gayo), demikian juga dalam proses berburu, dan pada saat membaca do’a ada juga yang tetap membakar kemenyan, yang biasanya kemenyan sangat kental dengan ala Hindu.

Sebagai orang Gayo mau tidak mau kita harus belajar dan memahami sejarah Gayo itu sendiri, jangan sampai kita terus menjadi penghafal kekeberen yang belum tentu hafalan pemahaman tersebut adalah benar. Ingat sudah ada banyak ilmuan yang berdasarkan keilmuan pula mereka mengatakan bahwa nusantara adalah tempat lahirnya peradaban dunia (Zaenal Abidin), Bangsa Gayo bukan berasal dari bangsa kerdil, namun merupakan bangsa keturunan awal pembentuk peradaban dunia, maka tugas orang Gayo sekarang untuk melanjutkan penelitian-penelitian dari ilmuan-ilmuan yang secara tidak langsung, meskipun bukan orang Gayo seperti Prof. Santos misalnya yang tetap berpegang teguh bahwa atlantis yang terkubur adalah nusantara (sundaland) nusantara bagian barat, bukan yang lain, padahal seperti kita ketahui bahwa Negara asal beliau adalah Brazil.(bangsa.situe[at]gmail.com)

*Abdi Masyarakat di Kantor Camat Bener Kelipah/Dosen Etika Filsafat di Fisif UGP Takengon

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.