Catatan : Muhammad Syukri
Dunia pendidikan di Kabupaten Aceh Tengah, kini memasuki masa kelam, masa duka cita yang tak bertepi. Ribuan siswa TK, SD, SMP dan SMA tidak pernah tahu, kapan mereka bisa belajar di gedung sekolah yang layak, bukan dibawah tenda atau bedeng. Ruang belajar yang dilengkapi fasilitas bangku dan meja belajar serta perpustakaan, kini jadi kenangan.
Pasalnya, sejak 2 Juli 2013 pukul 14:37:03 WIB sebanyak 381 unit gedung sekolah tidak dapat digunakan sebagai tempat belajar bagi ribuan anak-anak di Kecamatan Ketol, Kecamatan Kute Panang, dan beberapa kecamatan lainnya. Para korban bencana gempa itu mengatakan, mereka berduka kehilangan tempat tinggal, sedangkan anak-anaknya juga berduka karena kehilangan sekolah mereka.
Menjelang memasuki tahun ajaran baru tanggal 12 Agustus 2013, kepala sekolah, guru dan komite sekolah harus bekerja keras menyelamatkan inventaris sekolah dan buku perpustakaan. Sebab, gedung sekolah yang struktur bangunannya sudah retak dan patah harus segera dirubuhkan agar tidak membahayakan keselamatan siswa. Sekolah-sekolah itu nantinya digantikan dengan sekolah sementara yang berbentuk bedeng atau sekolah tenda.
Siang kemarin, Minggu (28/7/2013), ditengah sinar matahari yang cukup terik dalam suasana bulan ramadhan, warga Pantan Sile terlihat bersemangat. Mereka yang tergabung dalam Komite Sekolah SDN 10 Kute Panang menyempatkan diri untuk rehat sambil menyaksikan excavator merubuhkan sekolah anak-anak mereka. Didepan mereka telah terpasang kerangka bedeng yang siap ditempatkan di bekas pertapakan sekolah yang telah roboh itu.
Bukan hanya komite sekolah yang hadir di sekolah itu, terlihat juga sejumlah siswa SDN 10 Kute Panang ikut menyaksikan sekolah mereka yang telah menjadi puing. Hebatnya, jika warga yang hadir ke sana untuk menonton proses perobohan bangunan, maka anak-anak SDN 10 Kute Panang datang untuk membaca buku perpustakaan mereka. Buku-buku perpustakaan itu ditumpuk diatas meja yang ditutup dengan plastik terpal berwarna coklat.
Siswa-siswa yang haus suasana belajar memanfaatkan buku perpustakaan tersebut. Mereka mengambil buku dari tumpukan itu untuk dibaca. Buku-buku yang mereka baca terdiri dari ensiklopedi, buku cerita bergambar, sampai kepada buku materi pelajaran. Mereka membaca bukan didalam gedung atau ruang tertutup, tetapi dialam terbuka, ditengah panas teriknya matahari.
Ternyata, panas terik dan gedung yang hancur bukan halangan bagi siswa SDN 10 Kute Panang untuk menambah ilmu. Fitri (9) begitu katanya nama seorang gadis cilik yang sedang membaca ensiklopedia, mengaku sangat senang bisa membaca banyak buku. Dia merasa, liburan ramadhan tahun ini seperti suasana sekolah karena bebas membaca buku perpustakaan. “Kalau turun hujan, buku-buku kami bisa basah dan rusak karena rumah sekolah kayu (darurat-pen) belum siap dibangun,” keluh Fitri.
Semenjak gedung SDN 10 Kute Panang mengalami retak dan kerusakan yang sangat parah, Fitri dan teman-temannya tidak berani mendekat ke gedung itu. Orang tua mereka melarang mendekati gedung-gedung yang retak. Mereka juga masih trauma ketika menyaksikan dinding rumahnya runtuh manakala gempa menghantam kawasan itu. “Kami masih tidur ditenda, masih sering gempa nggak berani didalam rumah,” ungkap gadis kecil itu.
Pegiat dunia pendidikan boleh saja menyatakan berduka cita karena hancurnya fasilitas pendidikan di kawasan itu, tetapi melihat semangat membaca anak-anak SDN 10 Kute Panang, belum layak dinyatakan duka cita. Buktinya, membaca bagi mereka tidak mesti di ruang perpustakaan sekolah, alam terbuka bisa menjadi tempat membaca. Semoga, semangat membaca dan belajar terus membara dijiwa anak-anak SD tersebut. Siapa tahu, mereka bisa menjadi pemimpin dan generasi intelektual yang mengendalikan masa depan negeri ini. Amin.(Sumber Kompasiana)