‘Hamal Tidur Nipi Jege’ Pemilu Legislatif

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

Ada dua puluh empat urutan dalam upacara adat perkawinan Gayo, yaitu risik kono, munginte, sesuk pantang, turun caram, munos benten, segenap (pakat sara ine), begenap (pakat sudere), beguru, muniri, tongkoh, jege uce, jege kul, belulut, bekune, munalo, mah bei, semah, luah pantang, mujule gule, mujule wih, mah kero, munenes, mangan kero karih, dan mangan kero opat ingi.

Berkenaan dengan munginte (meminang), tidak langsung dilakukan orang tua mempelai laki-laki kepada orang tua atau keluarga mempelai perempuan. Tapi, ditunjuk orang tertentu sebagai penghubung yang disebut telangke. Telangke juga berfungsi sebagai diplomator. Anggota telangke biasanya berjumlah tiga sampai lima pasang suami isteri dari kerabat dekat keluarga pengantin laki-laki. Lamaran tersebut tidak langsung diterima atau ditolak keluarga mempelai perempuan. Perlu waktu untuk berpikir, dua sampai tiga hari (meski lamaran diterima, misalnya). Istilah yang menggambarkan proses berpikir “masa tenang” itu sendiri disebut “berhamal tidur bernipi jege.” Artinya, lihat dulu hasil mimpi. Kalau mimpinya bagus, maka lamaran pun diterima. Kalau kurang, maka akan ditolak. Teknisnya, cukup mengatakan, ‘mimpi kurang bagus.

Lantas, apa hubungannya dengan pemilu legislatif atau pileg? Seperti munginte, pileg tak ubahnya seperti prosesi lamaran tadi. Partai politik yang merumahi pengurus dan anggota serta calon legislatif (caleg) yang diusung adalah ibarat orang tua pengantin; calon anggota legislatif seperti “calon pengantin laki-laki;” dan telangke adalah tim sukses, pendukung, simpatisan atau relawan caleg. Sementara itu, masyarakat, khususnya yang memiliki hak pilik diposisikan sebagai pihak  yang dilamar atau “calon pengantin perempuan.”

“Masa Tenang”

Seperti disebutkan, ada masa berpikir atau “masa tenang” bagi pihak yang dilamar sebelum memutuskan atau memilih. Seperti itu pula posisi masyarakat dalam pileg. Dengan kata lain, masih ada waktu tujuh bulan lagi bagi pemilih untuk mencermati, menilai, mengkritisi, dan “menguliti” para caleg yang maju. Pertanyaannya, apakah yang mesti dikritisi pemilih?

Dalam UU No 8/ 2012, BAB VII, Bagian Kesatu tentang Persyaratan Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Pasal 51 menulis syarat bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang memenuhi persyaratan, diantaranya (1) Telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih; (2) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (3) Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; (4) Cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia; (5) Berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau pendidikan lain yang sederajat; (6) Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; (7) Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; (8) Sehat jasmani dan rohani; (9) Terdaftar sebagai pemilih; (10) Bersedia bekerja penuh waktu; (11) Mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali; (12) Bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), atau tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (13) Bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara; (14) Menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu; (15) Dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; (16) Dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan; dan (17) Mampu membaca al-Quran bagi caleg-caleg yang maju di Propinsi Aceh.

Syarat-syarat itulah yang harus dikritisi lagi oleh pemilih. Misalnya, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; apakah yang bersangkutan bertakwa dengan menjalankan kewajiban agamanya atau tidak? Bagaimana moralnya selama ini? Juga, catatan hukumnya. Hal ini penting. Sebab, mereka (caleg dan yang tepilih nantinya) bakal jadi tokoh publik yang ditauladani lisan, laku, dan perbuatannya. Dengan demikian, mereka mesti lebih dari yang lain.

Kemudian, cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia. Kalau bicara saja tidak bisa, apa yang maju disuarakannya di parlemen? Jika kemampuan membacanya kurang, tambah wawasan, pergaulan, dan pengalamannya pun terbatas; bagaimana calon wakil rakyat itu menjalankan tugas dan fungsi kedewanannya. Terutama, dalam melakukan pengawasan atau menyusun qanun (legislasi)?  Soal kecakapan menulis, ukurannya apa? Apakah terpublikasi di media cetak atau online? Atau, di prosiding atau jurnal ilmiah berskala nasional atau internasional?

Masih banyak lagi yang mesti dipertanyakan dan dikritisi pemilih pada masa hamal tidur nipi jege tadi. Khususnya, dalam waktu tujuh bulan yang tersisa. Apalagi, soal track record (rekam jejak) caleg. Jangan sampai karena kepentingan pragmatis (sesaat), yaitu dengan menerima uang atau barang (money politics), masyarakat sampai salah memilih. Akibatnya, hanya menghasilkan anggota dewan D4 (datang, duduk, dengar, dan diam) dan “jadi belalu APBK.” Akhir bulan, mengambil gaji dengan menikmati fasilitas yang ada. Selain itu, berorientasi ke proyek atau minimal fee. Tujuannya, untuk mengembalikan modal—karena money politics tadi, memperkaya diri, dan menyejahterakan kerabat, parpol, dan kelompoknya.  Juga, mengharapkan dana aspirasi yang peruntukannya bisa jadi melanggar aturan.

Pada akhirnya, masyarakat lagi yang “jadi korban.” Masyarakat bertambah apatis (jejeren), putus asa, dan bisa-bisa sampai berbuat anarkis. Karena, tidak merasakan keberadaan, peran, dan fungsi bupati/wakil bupati (eksekutif) serta anggota dewan terpilih (legislatif). Disamping itu, pemilu—presiden, kepala daerah, dan legislatif—yang digelar pun lebih berupa rutinitas lima tahunan, bersifat prosedural, dan menghabiskan anggaran.

*Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.