Banda Aceh | Lintas Gayo – Salah satu mahasiswa Gayo asal Takengon, Reni Gemasih, menyangkan mahasiswa Gayo yang berbahasa Indonesia sesamanya di Banda Aceh. “Saya sangat sedih saat melihat mahasiswa Gayo berbahasa Indonesia. Padahal, mereka sama-sama orang Gayo,” kata Reni Gemasih, mahasiswi Farmasi Poltekes Kemenkes Aceh, kepada Lintas Gayo (27/10/2013)
Ironisnya lagi, keluhnya, mereka asli orang Gayo. “Kalau bukan orang Gayo, wajar. Itupun bukan pembenaran,” tegasnya. Reni mengajak agar mahasiswa Gayo tetap menggunakan bahasa Gayo dalam pergaulan mereka sehari-sehari sesama mahasiswa Gayo. “Kalau bukan kita (masyarakat Gayo), siapa lagi yang melestarikan bahasa Gayo. Pemakaian bahasa Gayo merupakan langkah riil dalam menyelamatkan bahasa Gayo,” katanya.
Ditanya terpisah, peneliti bahasa yang juga penulis buku Ekolinguistik, Yusradi Usman al-Gayoni, mengungkapkan, tidak dipakainya bahasa Gayo dibandingkan bahasa Indonesia, karena bahasa Gayo dianggap “kampungan” dan tidak komunikatif. “Ada perasaan inferior, dan menganggap derajat bahasa Gayo lebih rendah,” sebutnya.
Dalam amatannya di beberapa kota—Medan, Jember, Yogyakarta, Semarang, Magelang, Jakarta, Malang, Bandung, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, mengungkapkan, masyarakat Gayo di luar Aceh lebih bangga berbahasa Gayo dan menggunakan identitas kegayoannya.
Vitalitas bahasa Gayo
Secara keseluruhan, Direktur Research Center for Gayo itu, memperkirakan, ada 500 ribu populasi “orang Gayo” di seluruh dunia. “Dilihat dari jumlah penutur, masih aman. Tapi, nggak ada jaminan. Dalam arti, penutur besar, bahasanya selamat,” katanya.
Ada beberapa persoalan, rinci Yusradi terkait vitalitas bahasa Gayo. Dia melihat transmisi bahasa Gayo antargenerasi, rendah. “Supaya tidak punah, bahasa Gayo mesti dipakai, dipelajari, dan diajarkan. Banyak pun penuturnya, kalau tidak dipakai, sama saja (bakal punah),” tegasnya.
Selain itu, jelasnya, masih kurangnya materi berbahasa Gayo di tanoh Gayo. “Bisa dibilang, nggak ada. Karena, bahasa Gayo belum dijadikan muatan lokal,” sebutnya, sembari menambahkan, tidak adanya kebijakan untuk menyelamatkan bahasa Gayo dengan melembagakannya di dunia pendidikan dari pemerintah daerah (Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, dan Bener Meriah).
Sikap masyarakat Gayo, sambungnya, terhadap bahasa Gayo juga “agak negatif.” Buktinya, masyarakat Gayo, terutama generasi kelahiran 1980-an sampai sekarang sudah mulai tidak berbahasa Gayo. Selanjutnya, jumlah dan kualitas dokumentasi Gayo masih rendah. “Pendokumentasian ini mesti dikuatkan, sehingga kepunahan bahasa Gayo bisa diulur. Lebih maksimal lagi, kalau disertakan dengan kebijakan pemerintah daerah. Soalnya, mereka yang menentukan kebijakan dan anggaran,” tandasnya. (MF/Tn)
entah berbasa gayo!
Dari judul nya nampak kalau penulis adalah orang yg berilmu pengetahuan tinggi dan tinggal di tempat yang tinggi juga pasti nya kah3x masa anak gayo pakai bahasa indonesia seperti anak indonesia aja, Bahasa gayo bahasa keren tuh kah3x, seharus nya http://www.lintasgayo.com pakai bahasa gayo biar jadi teladan buat anak2 gayo lain nya untuk melestari kan bahasa gayo.. Masa pakai bahasa indonesia, kan menjadi contoh yg ga baik buat generasi muda gayo.. Mulai sekarang yg nama nya orang gayo harus pakai bahasa gayo, biar kami anak2 indonesia yang pakai bahasa indonesia… Kah3x
Setau ane neh gan ya. Bahasa gayo itu bahasa monyet yg ada di tengah utan belantara, wajar donk kalau kga da yg make
Kita kalkulasi kan: penduduk aceh tengah 175.000 jiwa, bener meriah 120.000 jiwa dan gayo lues 55.000 jiwa.. Kalau di jumlah maka penduduk 3 kabupaten ini 350.000 jiwa.. Itu penduduk nya campur atau 75% bukan suku gayo artinya suku gayo yg ada di 3 kabupaten ini hanya 87.500 jiwa saja, pertanyaan nya dari mana angka 500 ribu di atas? Bagai mana cara mengkalkulasi kan nya? Metode apa yg anda pakai? Bagai cara pembuktian nya itu benar ada nya? Atau itu hanya perkiraan yg jauh dari kebenaran…!!! Tolong dijawab.