Dataran Tinggi Gayo (Datiga) adalah syurganya pesepeda. Udaranya bersih, pemandangan mempesona sangat memanjakan mata. Belum lagi ditambah dengan keramahan penduduknya. Kesan damai dan indah itu sudah pasti didapat.
Banyak ujaran dari berbagai pihak tentang ketiga hal ini terungkap. Mereka yang ditempatkan di Gayo untuk bekerja, enggan pulang ketika dimutasi ke tempat lain. Begitupun para bule yang datang. Selalu ada kesan baik yang memenuhi memori mereka. Ujaran kebaikan.
Minggu , 17 September 2017, saya bersama seorang keponakan Fadhil Adha , pelajar SMP 1 Takengen, menjajal jalur yang panjangnya sekitar 20 kilometer lebih. Bermula dari Paya Tumpi, Kantin Batas Kota, kami mulai menguji kekuatan otot kaki.
Melewati jalan baru Paya Tumpi-Tansaril, kami menyasar ke Uning, Kayu Kul hingga Kede Lah Kecamatan Pegasing. Tiba di Kayu Kul yang merupakan wisata khusus untuk komoditi nenas. Di sini, semua orang bisa menikmati nenas dalam berbagai bentuk sajian.
Kayu Kul sejak dahulu sudah merupakan destiinasi wisata kuliner. Sepanjang mata , kebun nenas bisa dilihat. Buah nenas yang telah matang dijual berjejer di kios pinggir jalan sepanjang kawasan ini.
Sejak dipindahkannya arena pacuan kuda tradisional Gayo dari Musara Alun (di tengah kota) ke Pegasing , wilayah ini berkembang pesat. Apalagi beberapa perkantoran pemerintah juga sudah menetap disini.
Pertumbuhan bangunan moderen yang terbuat dari bahan bangunan permanen, berpadu dengan rumah tradisional warga yang umumnya terbuat dari bahan kayu. Demikian juga dengan bank pemerintah yang juga mengisi lahan di sisi jalan.
Pegasing sesungguhnya adalah hamparan yang luas yang dijadikan sawah pada awalnya. Sementara kawasan perbukitannya , selain kebun nenas, juga diisi tanaman kopi arabica gayo yang dikenal khas rasa dan aromanya.
Di daerah ini juga berdiri koperasi kopi yang sebagian produksinya dieksport ke Amerika, koperasi Baburrayan. Koperasi ini juga diikat kerjasama dengan Amerika yang menanam sahamnya lewat NCBI.
Koperasi ini menerapkan sistim pembelian kopi lewat uji citarasa alias cuping. Hanya kopi kopi yang melewati skor yang telah ditentukan saja yang dibeli. Umumnya kopi gayo memiliki banyak sertifikat yang berlaku di dunia.
Setiap tahun koperasi ini meraup keuntungan dan memperoleh milyaran fee dari kopi organik yang bersertipikat. Koperasi ini persis berada di depan Sekolah Menangah Atas Kejuruan khusus pertanian.
Kami melenggang melewati koperasi yang mentereng ini. Saya teringat beberapa tahun silam pernah membawa turis asal Belanda ke koperasi ini dan diajarkan cara menguji citarasa kopi gayo. Yantin Buijs , turis Belanda yang kini menetap di Mataram, mengakui kelezatan kafein arabica gayo.
Mengulang kisah bersepeda bersama turis Belanda ini, kami terus melaju ke arah Kede Lah yang kanan kiri jalan adalah hamparan luas tanah sawah. Kede Lah tidaklah semaju kawasan Kayu Kul. Kebanyakan rumah masih sangat sederhana berbahan kayu dengan atap seng yang dari kejauhan sudah terlihat berkarat di makan usia. Pertumbuhan terlihat lambat disini.
Dari Kede Lah, kami memutar ke kiri menuju Tebuk. Sebuah Kampung tua yang berhubungan jalan menuju Kenawat, Kecamatan Luttawar. Tebuk berada disisi bukit dan hamparan sawahnya tembus hingga ke Bur Lintang.
Memasuki Tebuk, jalanan yang berlubang, mulai menanjak dan terus menanjak. Kehidupan sosial di Tebuk begitu sederhana dan santun. Di Tebuk, penduduknya selain berkebun kopi dan bersawah , juga memelihara ternak seperti biri biri dan kuda peranakan Australia. (Bersambung)