Kepedulian Terhadap Pendidikan

Drs. Jamhuri, MA[*]

 

Tahun 1980 tamat dari MIN Pondok Sayur, orang tua mengizinkan saya untuk memilih melanjutkan sekolah antara ke SMP di Simpang Tiga Redelong atau ke MTsN 1 di Kota Takengon. Orang tua saya mengizinkan saya melanjutkan sekolah ke SMP karena salah seorang gurunya adalah adik kandung beliau, namun saya memutuskan untuk memilih sekolah di MTsN dengan alasan saya bisa tinggal di Kota yaitu Kota Takengon.

Prestasi belajar di sekolah tidak ada yang istimewa, saya pernah mendapat rangking satu ketika duduk dibangku kelas satu MTsN, dan selanjutnya berkisar dirangking dua sampai rangking lima.

Ketika sekolah di MTsN sampai tamat sekolah MAN saya tinggal di Asir-Asir Bawah, kami tinggal satu rumah sebanyak 10 orang dengan sewa rumah Rp. 100.000,- /tahun, sewa rumah sebanyak ini dianggap standar. Jadi untuk satu tahun kami diwajibkan membayar Rp. 10.000,-/orang, saya tinggal bersama kakak-kakak  dan orang-orang yang sekampong dari Blang Ara yang merupakan tanah kelahiran saya dan juga dari Kampong Kenawat (Kec. Bukit Kab. Bener Meriah sekarang). Selama saya tinggal (berasrama sekarang disebut dengan kost) saya tidak pernah memasak nasi dan juga tidak pernah mencuci kain, nasi untuk saya dimasakin dan kain yang saya pakai dicuciin. Sekarang kakak saya yang tertua yang sempat tinggal seasrama dua tahun menjadi ibu rumah tangga dan suaminya sebagai Pegawai Negeri, kakak saya yang nomor dua menjadi ibu rumah tangga dan berprofesi sebagai petani, pada lahan yang ditinggalkan Ayah kami.

Orang disekitar asrama tahu kehidupan orang tua kami di Kampong secara ekonomi pas-pasan, karenanya mereka sering membantu memberi beras dan terkadang mengajak kami makan di rumahnya. Pada setiap hari minggu, kami  terutama saya membantu mereka untuk membersihkan kebun yang terletak dipinggiran Kota Takengon, kendati letak takengon dengan Kampong saya tidak begitu jauh saya belum tentu pulang kampong dalam sebulan sekali.

Rutinitas seperti ini lama kelamaan menjadi kebanggan tersendiri, karena di samping tidak perlu berharap kiriman dari kampong tapi juga ketika saya pulang kampong beberapa rumah yang berdampingan dengan asrama memberi saya ongkos pulang kampong juga menitipi saya kelapa dan lain-lain yang ada di rumah mereka.

Hal yang menarik dari kedekatan hubungan saya dengan mereka, ketika hari sabtu mereka berlomba mengajak saya untuk hari minggunya pergi ke kebun. Terkadang mereka nyeletuk kepada saya “minggu kemaren kamu kan sudah dengan dia kenapa minggu sekarang juga”, tapi saya tidak memberi komentar apa-apa, dalam benak saya hanya ada nanti di kebun saya bisa makan enak pulang dari kebun juga saya sudah pasti makan dengan mereka.

Saya teringat dengan tetangga yang berada di depan rumah saya, karena pada hari minggu tidak sempat membantu mereka saya diajak ke kebun mereka setiap pulang sekolah, saya bangga dan senang setiap hari pergi dan pulang dari kebun, kami naik Honda, waktun itu belum terbayang apakah suatu saat nanti saya bisa beli Honda.

Persaudaraan terjalin antara saya dengan mereka, saya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari keluarga, kalaupun ada rapat keluarga bagaimana pentingnya saya tetap diikutkan, saya punya kebebasan makan setiap waktu di rumah mereka dan yang paling menggembirakan, saya punya kebebasan mengambil nasi bagian yang sudah di asingkan untuk orang tua mereka yang akan pulang dari kantor, hal itu tidak boleh dilakukan oleh anak-anak mereka.

Tidak semua orang sama, begitulah kehidupan manusia didunia ini. Pada suatu waktu, tibalah musim menanam padi, salah seorang tetangga kami yang lain bersawah, kami diajak menyangkul disawahnya. Sebagai orang yang berharap pada sedikit uang, saya dan kawan saya meminta supaya kami yang menyangkul ini sampai selesai, nanti bantu kami untuk membayar uang selolah, permintaan itu dikabulkan. Selanjutnya setiap pulang  sekolah kami berangkat ke sawah yang tidak begitu jauh dari tempat kami tinggal, dengan semangat sambil berharap uang, kami siapkan pekerjaan sesuai dengan janji yang kami minta. Rupanya dia beranggapan bahwa selama ini apa yang kami kerjakan untuk tetangga lain tidak dibayar maka dia juga tidak membayar kami.

Tahun 1983 saya tamat dari MTsN 1 Boom, masuk ke MAN 1 Takengon yang terletak di Paya Ilang. Rutinitas bersama tetangga setiap minggu pergi kekebun dan terkadang ketika pulang sekolah berjalan terus, karena memang tidak ada alasan untuk menghentikannya.

Dua tahun berlalu sekolah di MAN, saat akhir pembayaran uang pembangunan tiba,  kepala sekolah pada saat itu Bapak Abu Bakar Syama’un, beliau mengumumkan bahwa dana pembangunan harus dilunasi kalau tidak maka tidak boleh ikut ujian. Sebagai siswa saya merasa takut tidak bisa ikut ujian dan tidak punya keberanian untuk mengatakan tidak ada uang kepada pihak sekolah, akhirnya pada hari sabtu saya pulang ke kampong dan meminta uang kepada orang tua. Mungkin pada saat itu kebetulan orang tua tidak punya uang dan tidak tahu mau dipinjam dari mana, bapak bilang kepada saya dan ibu, bagaimana kita sekarang tidak punya uang,  apakah perlu kita menulis surat kepada kepala sekolah dan kita katakan kita belum punya uang ? ibu saya menjawab, malu kita, kita harus usahakan walaupun dari mana.

Seharusnya sebagaimana biasa saya pulang ke Takengon pada hari minggu di tunda ke hari senin, berarti saya harus tidak sekolah pada hari seninnya. Karena petunjuk Allah dilandasi keikhlasan orang tua saya pada sore minggunya ia mendapat pinjaman dari orang, sejumlah uang pembangunan yang akan dibayar.

Dengan membawa uang yang dikhususkan untuk pembangunan saya berangkat ke Takengon, sekaligus mengejar les pada sore harinya. Ketika saya berjalan dari Asir-Asir Bawah menuju ke MAN 1 di jalan tepatnya di depan Pendapa Bupati, bapak kepala sekolah lewat (beliau juga yang mengajar kami les) dan mengajak saya naik dengan Honda vespanya. Sesampai di sekolah dia bilang “kamu sebenarnya orang susah tapi tidak ada yang tahu, karena kamu bisa menyembunyikannya”.

Tahun 1986 tamat dari MAN dan melanjutkan Keperguruan Tinggi di Banda Aceh, sudah terpatri di dalam benak akan melanjutkan pendidikan ke IAIN Ar-Raniry, alasan memilih kuliah di sini tidak ilmiah dan tidak punya alasan logis, tapi hanya karena kakak yang paling tua kuliah di IAIN dan Abang yang menjadi calon suami kakak (sekarang sudah menjadi suami dan mempunyai tiga orang anak) pada saat itu kuliah pada jurusan Perbandingan Hukum dan Mazhab yang saya pilih. Nilai yang diperoleh ketika Ujian Akhir di sekolah MAN melebihi dari nilai rata-rata 7 menjadi modal utama kepastian kuliah di IAIN dan memilih jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum pada Fakultas Syari’ah Banda Aceh.

Kawan-kawan kakak yang sudah duluan masuk ke Perguruan Tinggi IAIN atau Unsyiah, ada juga yang sudah bekerja sebagai guru menyuruh saya untuk ikut testing di Unsyiah. Namun ketika itu saya jawab bahwa saya tidak tahu Unsyiah dan saya tidak kenal yang namanya FKIP, tapi karena mereka mendesak terus akhirnya ikut testing dan mengambil Fakultas Hukum dan FKIP Jurusan Fondasi Pendidikan.

Apakah karena bisa menjawab soal testing atau juga pengaruh jurusan yang saya ambil,  Alhamdulillah lulus di Jurusan Fondasi Pendidikan. Tapi karena tidak tahu apa itu Unsyiah dan tidak kenal dengan Jurusan yang lulus, maka saya tidak ambil dan tetap kuliah di IAIN yang pada saat keluar pengumuman Unsyiah kami di IAIN sedang Ospek (orientasi pengenalan kampus).

Awal tahun pertama kuliah sampai selanjutnya pembiayaan terasa sulit kendati dalam hitungan angka pas-pasan, biaya hidup perbulan rata-rata Rp. 25.000,- (dua puluh lima ribu rupiah) tapi untuk saya dikirim tidak sampai setengah dari situ,  ditambah dengan beras dan sayur yang dikirim setiap bulan. Saat-saat yang paling sulit bagi orang tua adalah ketika sampai pada waktu pembayaran uang kuliah, disamping jumlahnya yang lumayan banyak juga waktunya sudah ditentukan. Solusi yang diambil biasanya mencari pinjaman kepada siapa saja yang mau memberi pinjaman.

Apakah karena ketabahan dan keseriusan dalam mengikuti pendidikan sejak bersekolah di MTsN dan MAN, lalu Allah menunjuki sesorang yang tidak ada keterkaitan hubungan keluarga tapi hanya satu kampong. Memberi kesempatan kepada kami sekeluarga untuk membersihkan kebunnya dengan upah yang tidak ditentukan, tapi uang yang diberikan selalu lebih dari kebutuhan pembayaran uang kuliah, sehingga saya selalu teringat kepada ungkapan isterinya (aka : sehari-hari saya panggil) yang menuturkan kepada ibu “ngah ini ongkos mulelangne utang siara nge anggap lunes” (ngah ini ongkos membersihkan kebun dan utang yang ada selama ini dianggap lunas.

Bantuan seperti ini tidak sekali, malah hal serupa dilakukan beberapa kali waktu pembayaran uang kuliah. Suatu kali saya teringat ketika pulang ke Banda Aceh, kebiasaan pada saat itu orang tua mengantar dari kampong sampai ke tempat pemberangkatan mobil. Ketika sedang menunggu mobil datang abang (yang member upahan kebun kepada kami bertemu) dan menemui kami, karena tidak ada persiapan apapun di kantongnya dan hanya ada Rp. 50,- (lime puluh rupiah), itulah yang diberikan kepada saya dan ia ucapkan “win ini we si ara, gere kubetih ko ulak”.

Hingga saat ini kebaikan hatinya tidak pernah berubah, ini membuktikan bahwa bantuan yang diberikan kepada saya selama ini adalah ikhlas dan tidak mengharap imbalan.

Bukti lain juga banyak yang menunjukkan bahwa orang Gayo sangat peduli pada pendidikan, sangat senang dan menghargai orang yang sedang menuntul ilmu. Seorang nenek yang telah berumur 80 tahun (kendati sudah tua saya memanggilnya aka karena itulah penuturan dalam budaya Gayo) sekitar tahun 1987 pernah memberi uang Rp. 500,- (lima ratus rupiah) kepada saya ketika sedang bersiap-siap pulang kembali ke Banda Aceh setelah libur semester.

Masih banyak mereka yang peduli terhadap pendidikan selain dari yang telah disebutkan di atas, penulis yakin mereka semua tidak berharap banyak dari apa yang telah dilakukan. Mereka hanya berharap dan berdo’a agar orang yang menuntut ilmu menjadi orang baik dan tidak menyia-nyiakan harapan mereka.


[*] Pemerhati social masyarakat Gayo, tingga di Banda Aceh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.