Takengen – Jum’at ini, usulan qanun tentang Hari Jadi Kute Takengen, ibu kota Kabupaten Aceh Tengah dijadwalkan akan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tengah. Tanggal yang diusulkan sebagai hari lahirnya kota Takengon adalah pada 17 Februari 1902.
Usulan penetapan hari jadi tersebut menurut salah seorang anggota DPRK Aceh Tengah, Ikhwanussufa perlu kajian mendalam oleh para pakar sejarah agar tidak terjadi polemik dikemudian hari. ” Dasar penetapan harus didahului dengan pengkajian khusus dan diseminarkan sebelum ditetapkan,” tegas Ikhwanussufa yang juga ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Aceh Tengah ini, Rabu malam (3/11) di Takengon.
Sementara menurut Salman Yoga, seniman dan juga sebagai dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon, penetapan hari lahir Takengen yang diusulkan Pemkab Aceh Tengah terlalu muda, padahal ada fakta sejarah lain yang lebih tua masih bisa ditelusuri yang dijadikan sebagai dasar penetapan hari jadi kota Takengen.
Dikatakan Salman Yoga, kita bisa ambil catatan Marcopolo tentang Gayo yang ditulis pada tahun 1200-an, atau sejarah kerajaan Linge di tahun 1600-an dimana sebagai Reje Linge pertama adalah Adi Genali. Bisa juga mengacu kepada sejarah naiknya Merah Johan sebagai Sultan Aceh pertama ditahun 1232.
“Saya merasa aneh jika ditetapkan tanggal 17 Februari 1902 sebagai hari jadi Takengen, jauh lebih muda dari Banda Aceh yang sudah berumur 800 tahun,” ujar Salman bernada keberatan atas usulan Pemkab Aceh Tengah tersebut.
Sementara pernyataan keberatan juga disampaikan oleh penulis biografi Aman Dimot, Prof M Dien Madjid. “Ada tiga aspek yang menjadi dasar penetapan hari jadi kota Takengen,” kata Dosen Universitas Islam Nasional (UIN) Jakarta ini.
Dirincikan M Dien, ketiga aspek tersebut diantaranya aspek Legenda, aspek Kekerasan (perang) dan aspek Administrasi Pemerintahan.
Aspek Legenda, dicontohkan kisah kerajaan Linge, Gajah Putih, lahirnya kampung Bale Hakim dan lain-lain. Sementara aspek sejarah kekerasan atau perang bisa diambil sejarah perang yang paling heroik dengan kemenangan pihak kita. “Jangan sampai terjebak yang kita peringati adalah hari kemenangan kolonial sebagai hari jadi kota Takengen,” pinta M Dien.
Selanjutnya aspek ketiga, adalah aspek administrasi pemerintahan. Dan untuk aspek ini tidak terlalu sulit menelusurinya, ujar M Dien.
Dari ketiga aspek ini diambil yang terkuat. “Jika ternyata sulit menentukan bulan dan tanggal, maka mengacu kepada konsensus nasional yang menetapkan tanggal 31 Desember,” jelas M Dien.
Terkait mekanisme penetapannya, ditegaskan M Dien bahwa harus didahului dengan penelitian ilmiah dan diseminarkan. Ada pemakalah dan ada floor, baru kemudian diusulkan menjadi Qanun kepada lembaga legislative dan dalam hal ini pihak yang berkompeten adalah Dinas Sosial, bukan dinas-dinas yang lain.
“Hari jadi adalah milik rakyat, jadi harus melibatkan unsur atau elemen sipil sebanyak-banyaknya,” tukas M. Dien.
M Dien juga mengaku khawatir, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah terjebak mewariskan sejarah yang salah kepada generasi selanjutnya.
Sementara dari draft rancangan qanun yang diusulkan, juga ada perubahan penyebutan Kota Takengon menjadi Kute Takengen.
Sumber : www.theglobejournal.com
Menarik sekali usul Pak M.Dien, karena memang untuk menetapkan secara pasti kapan hari jadi Takengen adalah hil yang mustahal, karena sejarah tertulis mengenai Takengen memang baru ada sejak tahun 1900-an awal.
Tapi dengan menggabungkan ketiga aspek seperti yang dikatakan Pak M. Dien sangat masuk akal, dan sepakat dengan Salman, tahun 1902 itu memang terlalu dan teramat sangat muda.
Dan yang paling saya sambut antusias dari semuanya adalah, rencana perubahan penyebutan nama Kuta Takengon menjadi Kute Takengen, sebab memang inilah nama asli kota kita ini, bukan Takengon sebagaimana yang dipopulerkan oleh Hurgronje.