Didong Dari Sisi Lain

Yusra Habib Abdul Gani*

BIARLAH Didong mengalir dan mentating bait-bait syairnya ke setiap relung hati yang sepi, agar segar, mekar dan bebas menggelar imaginasi dan idé. Biarlah Didong membedah sastera bebas, agar gumpalan kejumudan mencair ke samudera seni tanpa batas. Didong memang sarat dengan kebebasan!

Biarlah Didong bersabung antara kafilah Uken dan Towa, agar orang belajar tentang sejarah lahirnya Kerajaan Bukit (Uken) dan Kerajaan Cik (Towa), yang keduanya pernah bermusuhan. Permusuhan, baru berakhir setelah dicapai suatu Perjanjian damai (MoU) dengan cara mengawinkan antara anak dari keluarga Raja Bukit dengan anak keluarga Raja Cik.

Wujudnya kedua kafilah [Uken-Towa] dalam dunia seni Didong Gayo telah menjadi inspirasi untuk meretas kebuntuan sosial-politik dan seni budaya.

Seni Didong tidak bergairah dan mungkin akan mati tanpa melagakan kedua kafilah ini. Ianya mesti dipertahankan dan dimanfaatkan sebagai roda penggerak. Group Winar Bujang, Kemara, Kebinet, Lakiki dan Burang Terbang [kafilah Towa] dan group Teruna, Musara, Seriwijaya, Dewantara, Sidang Temas dan Arita [kafilah Uken] adalah seumpama: Toyota, Suzuki, Honda, Kijang Inova, Mazda, Corola dan Isuzu di Jepang, yang masing-masing bersaing ketat, menjaga kualitas agar pembeli merasa puas. Di luar negeri, orang tahu bahwa Mobil tersebut adalah buatan Jepang. Jadi, kehadiran pelbagai group Didong Uken-Towa, mesti mampu bersaing ketat menjaga kualitas dan memperkaya khazanah sastera Gayo di tingkat lokal, nasional dan internasional. Misalnya: Cèh Toét dikenal di luar negeri, bukan dalam kapasitas sebagai cèh dari group “Kemara”, tetapi datang dan bertandang ke luar negeri dari Aceh, yang berasal dari tanah Gayo.

Biarlah cèh Didong lewat syairnya, bebas melampiaskan segala unek-unek, carut-marut, membeberkan ’aib, melancarkan penghinaan kepada seseorang, kelompok, suku dan tidak terkuali keturunan, kritik, gosip, pelècèhan, nasehat, menjilat, menyanjung, membanggakan diri dan kelompok (rasa ego), mengalir deras sepanjang malam; agar orang mengerti bagaimana sebenarnya prilaku orang Gayo yang sangat kompleks dan beragam.

Gèsèkan bahu peserta (penunung), gerak tangan kanan memukul bantal kecil di tangan kiri, bergerak serentak ke depan-belakang dalam Didong; mengisaratkan bahwa, orang Gayo sebenarnya tidak akan pernah akur -saling sikut-sikutan- ketika mereka duduk dalam satu jama‘ah. Variasinya beragam: tergantung kepada modus operandi [indikasi ini dilihat dari gerak serentak ke depan-belakang].

Ada trik dalam seni Didong berpotensi negatif, yakni: ketika cèh bilang: “Sinaku-naku, siniko-niko, nge ke cube ko ôrôm Temas Sidang”(“yang aku punya adalah milikku, yang kau punya adalah milikmu. Sudahkah kamu rasain dengan Temas Sidang.”) Tiba-tiba, salah seorang penunung melakukan “intruption” merubah teks: “ Sinaku-naku, siniko-niko, nge ke cube ko Tutit ari Umang”(“yang aku punya adalah milikku, yang kau punya adalah milikmu. Sudah kau rasakan cendawan dari Umang.” [teks refrain: Didong Sidang Temas] Contoh lain: “Belejer ooh belejer, enti musier kami berdo‘a.” (“Belajar ooh belajar, jangan membelok (maksud: konsentrasi) kami berdo‘a.”] Secara tiba-tiba, penunung merubah kalimat: “Belejer ooh belejer, enti musier Medan-Jakarta.” (“Belajar belajar, jangan membelok Medan-Jakarta.”) [teks refrain: Didong Kabinet Mude] Yang anéh, penunung lain justeru mengikuti refrain dari suara yang masuk nyelonong, bukan mengikuti suara refrain cèh. Ini suatu indikasi bahwa, orang Gayo sangat rentan dengan kepatuhan, kesetiaan, suka membelot dan mudah termakan issu. Refleksi konkrit dari prilaku seni Didong ini, nampak dalam politik lokal, saat suksesi kepemimpinan formal [Bupati], sejak tahun 1950-an sampai sekarang, hampir semua karir Bupati Aceh Tengah berakhir dengan tragis.

Seni Didong tidak mengenal kamus memuji kehebatan musuh, walau pun nilai sasteranya ’sejuta‘ kali lebih unggul dan bermutu. Bahkan, jika satu group merasa diri sudah terpojok dan mentok, mereka akan menghalalkan segala cara untuk memenangkan pertadingan, yakni: memakai kekuatan magic. Caranya: group tersebut memperalat Dukun untuk merusak suara merdu cèh lain (musuh) menjadi parau/serak, melemahkan stamina musuh dan bahkan bisa jadi muntah darah dan muntah berak. Kekuatan magic merupakan bagian integral dari seni Didong (Didong Jalu) dan sah-sah saja. Itu sebabnya, setiap cèh sebelum berlaga, sudah lebih dahulu ’di-immunisasi‘ dengan pengawalan Dukun yang dirahasiakan. Ini manifestasi dari prilaku orang Gayo yang berkarakter irihati dan dengki. Seni Didong memang bebas, tapi curang (tidak fair) dan culas. Perkara ini nampak langsung dalam prilaku keseharian. Lawan dalam dunia perdagangan, politik dan pemimpin informal yang berpengaruh dalam masyarakat, bisa mampus dengan kekuatan magic: korban bisa bangkrut usahanya, mati, sakit permanen, dll. Sungguh tragis! Karena di satu sisi cèh bebas berkreasi, di sisi lain “main” di belakang layar. Hal ini, bukan saja merepotkan penilaian Dewan juri, tetapi juga merunyamkan catatan harian Malaikat pencatat ’amal.

Seniman Didong, cuwèk dengan Dewan juri, aparat, intel, cendikiawan, politisi dan Ulama sekali pun. Malam itu adalah malam mereka, malam seni yang bebas mengeluarkan pendapat -mulai dari jam: 21.00 – 4.30 pagi- jauh mampu melampaui kebebasan dalam system demokrasi dimana pun di belahan bumi ini. Malam itu, seniman Didong adalah politisi ulung, filosuf, arkeolog, astronom, pakar sejarah, tenaga peneliti lingkungan, Ulama kesohor, ahli Adat-Istiadat dan cendikiawan ternama yang mampu memaparkan argumentasi dari atas pentas yang tidak melintas ke seberang pagar pertandingan. Ditanggapi atau tidak, bukan urusan mereka. Inilah yang mempopulerkan Didong dalam masyarakat Gayo.

Lihat betapa cemerlangnya imaginasi ini: “Kao i langit selo ku tuyoh, kaléi tubuh. Sigé kupasang berkité uluh, buge eruh…. Ko le bintang simalé kin suluh, … cermin terangku” (“Kau di langit kapan jatuh ke bumi, aku idamkan. Aku pasang tangga dari bambu bercabang untuk menggapainya, semoga berhasil … Kaulah bintang sebagai sua, cermin terangku”) Imaginasi (khayalan) menuju bintang di langit, di mata seniman Gayo bukan mustahil, asalkan instrument (“sigé berkité uluh”) nya tepat. Instrument tadi digambarkan lebih jauh dalam lirik: “Tabur ni burak ooh burak, katan ni langit; gere musengkelét-sengkelét kona ku emun” (“Taburnya Burak menuju langit, tidak terkena sentuhan awan”) [teks Didog Group Winar Bujang]. Kata “Burak” adalah sebutan lain dari pesawat ulang-alik (instrument), yang karena canggihnya, … sampai-sampai tak tersentuh awan. Waaah! Ini suatu imaginasi tingkat tinggi. Didong memang mengandung nilai-nilai universal, maka cèh Didong mesti kaya dengan perbendaharaan bahasa Gayo yang mampu menebas argumentasi musuh.

Sayang, Didong sebelum ini hanya dipahami sebagai ’cermin‘ pantulan dari pergolakan sosial yang menyilaukan mata sendiri, bukan dipahami sebagai ’jendela‘, tempat berdiri memandang jauh ke masa depan, belajar dari pengalaman masa lalu, tidak psimis dan rendah diri. Sebagai ’jendela‘, Didong mesti mampu menawarkan pelbagai alternatif kepada pembaharuan dan keterbukaan, sehigga orang Gayo tidak disifatkan sebagai “Peteri Ijô” yang mengurung diri sepanjang zaman.

Epilog dari Didong adalah pemaafan. Sesudah puas bergumul dalam lumpur sastera bebas, cèh dari masing-masing group menyatu membelah kegelapan di penghujung malam, saling mema‘afkan yang disampaikan lewat tangisan (“pepongoten”). Semua kecemburuan dan rasa permusuhan yang disemai sejak sore hari, kini lebur dalam deru. Deraian air mata mengalir, menyirami dan membalut hati sanubari yang terluka agar jernih dan bening kembali, … sejernih air mata yang tumpah. Seni Didong berhenti seketika, untuk kemudian bangkit kembali menyuarakan kebebasan.

*) Director Institute for Ethnics Civilization Research, Denmark

Source: www.yusrahabib.blogspot.com
Posted by ILG 002

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.