Apel Cocok Dikembangkan di Aceh Tengah

Takengon | Lintas Gayo : Sekretaris Daerah Aceh Tengah Drs H Khairul Asmara optimis komoditi apel dapat dikembangkan didaerah yang berhawa sejuk ini. Pernyataan itu diungkapkannya disela-sela  melihat langsung lahan kebun apel milik Siswanto (54)  Senin (25/07) Di kampung Despot Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah.

Kabupaten Aceh Tengah kata Sekda dikenal sebagai daerah penghasil kopi arabika, dan hasil komoditi pertanian yang menjadi urat nadi perekonomian masyarakat ini, telah merambah hingga ke manca negara.

Selain komoditi kopi,beberapa tanaman hortikultura juga telah mendapat pengakuan dari pihak kementrian pertanian seperti buah alpokat, jeruk Keprok Gayo, serta berbagai macam palawija lainnya. Dan tidak tertutup kemungkinan buah apel ini juga akan jadi komoditi unggulan Daerah Seribu Gunung ini ungkap Khairul

Melihat buah apel yang baru dipetik, dan yang masih bergantungan didahannya Khairul Asmara yakin kalau buah apel dari tanoh Gayo Takengon Aceh Tengah ini layak diperhitungkan, untuk disandingkan dengan buah apel dari luar daerah yang selama ini dikonsumsi masyarakat, tambahnya.

Oleh karenanya kepada para masyarakat petani kampung Despot Linge Khairul berpesan agar dapat mengembangkan apel ini dilokasi perkebunan masing-masing,dan melihat pangsa pasar dari komoditi apel yang cukup menjanjikan, mantan Kepala Bappeda Aceh Tengah ini yakin usaha ini dapat memberi nilai tambah bagi perekonomian keluarga.

Siswanto petani apel di Dispot Linge saat mendampingi Sekda Aceh Tengah ini meninjau lokasi perkebunan apel miliknya mengatakan sudah sejak tahun 2007 yang lalu dia telah mencoba mengembangkan komoditi apel dengan varietas Manalagi dan varietas Ana. Kedua Varietas tersebut kata Siswanto cocok dengan kondisi iklim yang ada. Dari pengamatan, dua tahun usia tanam,  kedua varietas ini sudah berbuah, dan pada panen perdana tahun 2009 yang lalu tanaman apel seluas 1 Ha, miliknya telah dua kali panen,dengan hasil mencapai 25-60 Kg/perbatang.

Dijelaskan Siswanto apel dengan varietas Manalagi memiliki fisik hijau sedangkan Varietas Ana dengan warna fisik merah kehijau-hijauan.Masih menurut Siswanto saat ini dia mencoba mengembangkan tiga varietas lagi dan salah satunya adalah varietas Rumibeuti dengan warna fisik merah hitam.(Ril)

Baca juga berita Lintas Gayo sebelumnya : http://www.lovegayo.com/2921/pak-sis-inginkan-gayo-selain-kopi-juga-apel.html

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. Banyak kejadian keuntungan besar dari satu jenis komoditas membuat orang berbondong-bondong menanam komoditas yang sama tanpa memperhitungkan pasar. Sementara di mana pun di dunia, hukum ekonomi SUPPLY and DEMAND itu kekal adanya.

    Kestabilan harga terletak pada keseimbangan keduanya. Kalau salah satu dari keduanya lebih tinggi. Yang lain pasti akan rendah.

    Apel ini juga tidak lepas dari hukum itu. Apel menguntungkan kalau SUPPLY lebih kecil atau seimbang dengan DEMAND. Saat ini untuk kondisi Gayo, Demand masih lebih besar dari Supply. Cuma jangan lalai, Apel bukanlah komoditas dunia seperti kopi, dimana Demand-nya nyaris tak terbatas kalau dibandingkan dengan luas lahan di Gayo.Serta sebagai sebuah komoditas, kopi bisa disimpan lama.

    Sementara Apel, pasarnya sangat terbatas secara lokal dan juga tidak bisa disimpan lama. Jadi habis panen harus langsung dijual. Saingan dari luar juga banyak, kalau pasar Apel sudah tercipta, tidak berapa lama akan muncul saingan berat, terutama dari Cina.

    Dalam kondisi seperti itu DEMAND akan lebih kecil dari Supply dan ini beresiko membuat terjadinya BUBBLE Ekonomi. Sebagaimana dulu telah terjadi pada komoditas IKAN LOHAN, ANTURIUM dan belakangan CABE MERAH.

    Jadi , sebelum Apel ini dikembangkan secara besar-besaran, ada baiknya pemerintah dan pemegang kebijakan lebih dahulu memperhatikan dan memperhitungkan faktor-faktor ini. Jangan sampai terjadi Bubble, pemerintah cuma bisa lepas tangan tapi rakyat yang menanam yang jadi korban. Sementara si pembuat kebijakan bisa tetap tenang-tenang makan gaji.