Yusra Habib Abdul Gani[1]
UNTUK memperingati nuzulul Qur’an tahun ini, saya persembahkan sebuah kajian ilmiah mengenai ragam bahasa Qur’an; dengan harapan dapat memberi pencerahan dan rangsangan kepada ahli tafsir khususnya dan pembaca umumnya untuk terus menerus mengkaji ayat demi ayat dalam al-Quran, demi memperkaya khazanah pengetahuan kita.
Sejauh ini, belum ada ahli tafsir di Asia Tenggara yang punya kemampuan mengulas masalah bahasa Al-Qur’an. Saya sendiri baru membaca masalah ini dalam buku berjudul “The Qur’an”, yang diedit oleh Andrew Ripppin tahun 2009 dan tulisan ini merupakan serpihan dari buku ini.
Saya sempat tertegun bercampur malu saat membaca buku ini, oleh sebab para penulisnya kebanyakan terdiri dari kalangan non Muslim, hanya beberapa orang saja yang berbasis muslim; akan tetapi mereka punya minat luar biasa untuk meneliti seluk-beluk dan ragam bahasa Al-Qur’an.
Diakui bahwa, pada saat kalangan cendikiawan muslim menganggap hal yang tabu untuk melacak dan mengungkap tabir kata “’Arabiyya” dalam al-Qur’an; M.R. Zammit dengan cermat telah menghitung sejumlah 322 kata dalam “Jeffery’s Foreign Vocabulary” dan mengkalkulasi 256 kata benda (nouns) dan kata sifat (adjective) dalam Qur’an. Dari usaha tersebut, terbukti bahwa 75% daripadanya berasal dari bahasa Northwest Semitic (Hebrew, Aramaic, Syriac); 66 merupakan kumpulan nama baik; 80% dari bahasa Northwest Semitic; 13% kata yang dikenali secara umum dalam literatur Arab di dunia Arab; 12% berasal dari Arab bagian Selatan dan sisanya sejumlah 12% lagi dari bahasa yang belum berhasil diidentifikasi. Hasil penelitian Arthur Jeffery ini dibukukan dengan judul: The Foreign Vocabulary of the Al-Qur’an. Oriental Institute, Baroda, 1938. Kemudian, oleh M.R. Zammit diinventarisasi kembali dan disusun dalam “A Comparative Lexical Study of Qur’anic Arabic”, Brill. Leiden, 2002.
Minat kaum muslimin untuk melakukan pekerjaan seperti ini sangat langka. Penyebabnya boleh jadi, karena khawatir kalau Allah merasa tersinggung, lagipun al-Qur’an sudah menegaskan berulang kali mengenai kata “Arabiyya”. Allah dengan terang dan tegas menyatakan bahwa: “Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an dalam bahasa Arab, agar kamu memahaminya” (QS Yusuf:2). Dengan nada yang serupa diulang kembali dalam (QS Thaha:113; Az-Zumar:28; Fussilat:3; Asy-Syura:7 dan Az-Zuhruf:3); yang fasih diucapkan oleh lidah Arab –bilisanin ‘arabbiyimmubin– (QS Asy-Syura: 195).
Atas pertimbangan dan dasar inilah sehingga Abu ‘Ubayda (824-5 H.) menolak mentah-mentah keberadaan bahasa asing yang dimasukkan ke dalam al-Qur’an, bahkan hal tersebut dianggap sebagai kata-kata menghina Allah. Dari sudut kebebasan berpikir, penolakan tersebut merupakan bentuk pemaksaan terhadap linguapranca berdialek Arab, kendatipun kata-kata dalam al-Qur’an terdapat beberapa kosa-kata yang berasal dari bahasa asing. Sikap yang sama, diperlihatkan juga oleh Imam Syafië: yang mendesak bahwa tuduhan peminjaman yang seakan-akan nampak kelihatan asing, pada hal ianya asli bahasa Arab, walaupun pengucapan/dialeknya berbeda. Lebih jauh, Imam Syafië melalui teori hukum yang diperkenalkannya, punya kesan yang kuat bahwa; beliau berusaha menghapuskan hal-hal yang berbau kata asing (non Arabik).
Berbeda dengan pandangan dari dua pemikir hukum (fuqaha) terkemuka di atas; Abu ‘Ubayd (838 H.) sebaliknya mengaku dan membenarkan wujudnya kutipan beberapa kosa-kata asing dalam al-Qur’an, tetapi kata tersebut sudah menyatu balam bahasa Arab, jauh sebelum al-Qur’an diturunkan. Misalnya cerita para Nabi terdahulu dikisahkan dalam bahasa yang dimengerti oleh ummat pada masa itu. Teks tersebut diucap ulang saat Malaekat Jibril menyampaikan wahyu Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Hal ini disokong oleh Abu Hatim al-Razi (1038 H), ‘Abdurrahman Al-Thalibi (1468 H), Abu Mansyur al-Thalibi (1038 H), Ibn Faris ((1004 H) dan Al-Jawaliqi (1144).
Dalam kaitan ini, Al-Tha’allibi dalam bukunya berjudul “fiqh al-Lugha” mengemukakan pendapat pribadi atas perdebatan antara Abu Ubayda dan al-Tabari, prihal eksistensi bahasa asing dalam Qur’an. Dia mulai dengan memperkenalkan daftar kosa-kata bahasa Parsi “yang telah dilupakan orang, tetapi masih diucapkan dalam bahasa Arab.” Michail Carter. Foreign Vocabulaty, dalam The Qur’an, edited by Andrew Ripppin, 2009, halaman 122. Misalnya: kata “tannur” yang disebut dalam (QS Al-Mukminun:27), “khamir” (dalam Qur’an disebut “khamr”), “zaman”, “din”, ”dinar” dan “dirham” , selain dalam bahasa Arab juga dikenal dalam bahasa Parsi (Iran).
Setelah diteliti, ternyata ada perkataan yang mengalami transformasi penyebutan, misalnya: dari “mish’eneth” (Hebrew), berubah ucapannya kepada “lam yatasanna(h)” (QS Al-Baqarah: 259). Dari “shegara” kepada “saqar” yang didapati dalam QS al-Qamar: 48; al-Muddassir: 26, 27 dan 42; dan dari “gelayuna” kepada “‘illiyin” yang disebut dalam QS Al-Mutafifin:18; yang berasal dari bahasa Syria. Ada juga sebutannya sama sekali tidak berubah, seperti: “nataqna” (Hebrew), sama sekali tidak mengalami perubahan penulisan dan ucapan. (Lihat: QS al-A’raf: 171). Demikian pula kata “sarh” yang disebut dalam QS Naml: 44; “ghasaq” dalam QS Sad: 57; QS An-Naba’:25; dikenal pasti berasal dari bahasa asli Ethiopia (asing). Contoh lain ialah: kata “bighal”, “jalbib”, “khubz”, “khayma”, “miskhat”, “qalam”, “qamis” dan “malak”. Sementara itu, kata “tubba’”, “rahman”, “shirk”, “syuhuf”, “salawat”, “samawi”, “sura” dan “wathan”; berasal dari bahasa Arab bagian Selatan.
Sementara itu, kata: “ahbar”, “buruj”, “buyan”, “tawwab”, “jund”, “khinzir”, “sajada”, “sirbal”, “satara”, “sikkin”, “salam”, “silsila”, “sunbul”, “shahr”, “sanam”, “‘arub”, “‘ankabut”, “qasr”, “kahin”, “kataba”, “masjid”, “miskin”, “nabi”, “warda”, “amshaj”, “buhtan”, “biya”, “jabiya”, “hisn”, “khati’a”, “ribbiyyun”, “rahiq”, “rizq”, “zanjabil”, “zawja”, “zayt”, “sabbaha”, “sabil”, “sulthan”, “suq”, “shi’a”, “fakhkhar”, “firdaws”, “qudus”, “qarya”, “qistas”, “qisis”, “kafur”, “kayl”, “mizaj”, “amshaj”, “nun” dan “yaqut”, dikenal pasti berasal dari bahasa Syriac (Syria) dan kosa kata yang diduga berasal dari Summerian, Akkadian (Mesopotamia) atau yang belum dikenali asal-usulnya, mislanya: “abb”, “umma”, “sullam”, “siwar”, “tabaq”, “mawakhir”, “nuhas”, “yum”.
Indikasi di atas membuktikan adanya kata asing dalam al-Qur’an. Hal ini dapat dimengerti dan dipahami, sebab: “Dan sesunguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata: “Sesungguhnya Al-Qur’an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)”. Pada hal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa ‘Ajam, sedang Al-Qur’an adalah bahasa Arab yang terang” (QS An-Nahl:103). Kemudian dinyatakan: “Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.” (QS Ibrahim: 4). Jadi jelas bahwa: kedua sumber tersebut memperkenalkan adanya bahasa `Ajami, yakni: bahasa non Arab (asing).
Menyikapi tentang keberadaan bahasa asing tadi, untuk kesekian kalinya Allah menegaskan bahwa: “Dan jikalau Kami jadikan Al-Qur’an itu suatu bacaan dalam bahasa selain bahasa Arab, tentu mereka mengatakan: “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?”. Apakah (patut Al-Qur’an) dalam bahasa asing, sedang Rasul adalah orang Arab. Katakanlah: “Al-Qur’an itu adalah pentunjuk dan penawar bagi orang yang beriman. Dan orang yang tidak beriman, pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al-Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu seperti orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.” (QS Fussilat:44). Ayat ini merupakan penegasan bahwa al-Qur’an disampaikan dalam bahasa yang dapat dipahami oleh kaumnya dan multi bahasa (dialek) yang terdapat dalam Kitab Suci, seperti: Zabur (Talmut), Taurat (Torah/) dan Injil (New Testament), dihimpun dan disatukan kedalam Qur’an dengan bahasa ”Arabiyya”. Sehubungan dengan itu, Fahmi Basya, penulis buku ”One Million Phenomena”, mengartikan kata ”Arabiyya” sebagai ”bahasa original al-Qur’an”, spesifik, yang keindahan sastera dan misteri kandungannya tidak akan pernah mampu ditandingi oleh pikiran manusia.