Sebuah kebanggaan tersendiri, dipercayakan melakukan serangkaian tugas mengumpulkan informasi Abu Bakar Aman Dimot, pahlawan kemerdekaan dari Tanoh Gayo, yang diberikan oleh Prof. DR. M Dien Madjid, Guru Besar di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta selaku salah seorang anggota Tim Peneliti sekaligus Penulis Biografi Abu Bakar Aman Dimot. Dalam rangkaian tugas tersebut, beberapa hari lalu The Globe Journal berkunjung ke dua bangunan tugu megah, tugu Proklamasi dan tugu Aman Dimot yang dibangun di lapangan Sekretariat Pemda Aceh Tengah, Takengen.
Kenyataan yang ditemui dikedua tempat ini sungguh diluar dugaan selama. Kedua tugu tersebut samasekali tidak dirawat oleh pihak terkait di Dataran Tinggi Gayo penghasil kopi ini. Kedua tugu tersebut hanya indah dipandang dari luar pagar.
Bukan hendak mencari-cari kesalahan dari pihak pengelola negeri yang katanya negeri di atas awan yang indah rupawan, Kabupaten Aceh Tengah yang sejak beberapa tahun ini beroleh penghargaan demi penghargaan. Penghargaan Wajar Tanpa Pengeculaian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Lalu penghargaan Pelayanan Publik Terbaik dari Presiden RI diperoleh Pemkab Aceh Tengah diawal tahun 2010 ini.
Kecuali sampah yang tak tampak bertaburan disekitar kedua monumen berpagar besi mengkilap dengan tembok kokoh. Akan tetapi bau pesing sangat menyengat saat berada dalam keteduhan ruangan kecil sekitar tiga meter persegi dalam Tugu Aman Dimot. Lumut yang merubah warna bagian atas luar serta rumput tumbuh disela-sela retakan lantai cukup menggambarkan seolah-olah kedua tugu tersebut tidak berpemilik.
Ingatan bagimana heroisme Aman Dimot seperti yang diceritakan sejumlah orang, Tgk H M Ali Djadun, Salamah Inen Hudna, istri Tgk Ilyas Leube, Khadijah menantu Aman Dimot, Muhammad Yunus anak kandung Aman Dimot yang masih hidup serta sumber-sumber pelaku sejarah lainnya menjadi pudar saat mata memandang dua lukisan ilustrasi para pejuang Gayo yang terpampang disisi utara dan selatan dinding bagian dalam tugu tersebut.
Lukisan disisi Selatan yang berlatar pelataran Rumah Adat Gayo, Umah Pitu Ruang menceritakan berkumpulnya para pejuang Gayo masa itu, Barisan Gurilja Rakjat (Bagura) yang merupakan pasukan elit non-pemerintah yang terdiri dari Pang-Pang dari seluruh pelosok Dataran Tinggi Gayo. Tercatat jelas dari data-data primer berupa naskah-naskah dan pengakuan-pengakuan pelaku sejarah, Tgk Ilyas Leube adalah pimpinan Bagura, dan terdapat sejumlah nama antara lain Aman Dimot, Tgk Saleh Adri, Pang Alim, Abdurrahman Ali Gayo dan puluhan nama lainnya.
Mungkin, sosok bersurban putih berpeci hitam yang menghadap para pejuang tersebut adalah Tgk Ilyas Leube yang sedang beri pengarahan kepada para anggota Bagura lainnya.
Sayangnya, dan entah karena apa, lukisan yang entah karya siapa tersebut gagal membuat hati bergetar. Tak tergambar bagaimana kejadian yang dialami Aman Dimot seperti yang diceritakan orang-orang yang sebelumnya sempat diwawancarai. Malah, adanya kabel lsitrik yang bergelantungan serta tulisan-tulisan berhawa kotor dan seruan “awas ada arus listrik” justru lebih menarik mata untuk dibaca dibanding aura lukisan tersebut.
Lalu lukisan lainnya disisi utara dinding bagian dalam, seorang pejuang Gayo berhasil menusukkan pedang ke perut seorang Belanda yang sedang menunggang kuda. Tusukan tersebut persis mengenai perut. Ekspresi terkena tusukan pedang terlihat jelas dengan terlepasnya pistol seorang tentara Belanda yang kelihatannya kidal. Kuda yang ditunggangi Belanda ini tampaknya juga merasakan nasib tuannya. Kepalanya mendongkak keatas seolah-olah ikut terluka oleh tusukan pedang begunci Aman Dimot.
Lagi-lagi dari lukisan ini tidak menggambarkan kejadian yang terjadi seperti yang diceritakan pelaku sejarah dan sumber informasi lainnya. Aman Dimot tidak berperang dengan Belanda yang menunggangi kuda. Aman Dimot berhadapan dengan serombongan Belanda bersenjata laras panjang dengan bayonet diujungnya, pedang panjang dipinggang serta mengenderai kenderaan perang berlapis baja, tank. Dari referensi yang ada, tak ada disebut-sebut tentara Belanda berkuda di episode pertempuran Front Medan Area.
Tulisan-tulisan karya seniman tak dikenal berupa serangkaian hurup berbahan arang juga menjadi frame lukisan yang kami nilai menyesatkan sejarah ini.
Lagi-lagi bukan bermaksud tidak menghargai sebuah karya, akan tetapi bila dirujuk dari data-data primer dan sekunder yang ada, kedua lukisan tersebut jelas tidak sesuai dan tidak bercerita heroisme Aman Dimot dan Mujahid Gayo saat mempertahankan kemerdekaan RI.
Bayang-bayang bagaimana sosok Aman Dimot saat berperang dan gugur semakin memudar ditempat ini saat mata mendongak ke langit-langit Tugu Aman Dimot, kesan heroik perjuangan Aman Dimot yang gugur karena ledakan granat Belanda dimulutnya menjadi hilang sirna sama sekali. Langit-langit tersebut bolong rusak berat ibarat dihantam granat yang meluluhlantakkan raga Aman Dimot, 30 Juli 1949 silam.
Sesaat kemudian, saat berdiri disisi utara tugu, mata tertuju ke serangkaian tulisan “Tugu Aman Dimot Pahlawan Kemerdekaan RI”, kembali terbetik ada kesepelean terhadap nilai-nilai perjuangan pendahulu. Enam kata tersebut ditulis seadanya dengan latar dicat warna merah bata, tulisan putih dan kuning. Tak ada nilai artistik disini. Apalagi regangan kabel menggantung tak karuan yang menjadi framing outlet tersebut. Saya jadi berpikir, pantas saja upaya menjadikan Aman Dimot sebagai salah seorang pahlawan Nasional Indonesia prosesnya terseok-seok. Ditugu ini tak terlihat nilai penghargaan bagi jasa Aman Dimot yang bertarung untuk jengkal-jengkal tanah bumi Aceh hingga raganya bertaburan akibat ledakan granat Belanda.
Keinginan hati untuk mendapatkan indahnya wisata sejarah di tugu ini pupus sudah berganti kegeraman dan kemirisan. Tempat ini tak layak sebagai tempat mengenang jasa-jasa pahlawan Gayo, Aman Dimot dan para syuhada lainnya.
Sesi selanjutnya, sambil duduk didekat gerbang masuk yang tidak berfungsi karena rusak. Saya mencoba meresapi makna dari setiap bentuk arsitektur tugu tersebut. Ternyata gagal, mungkin karena keterbatasan pengetahuan, saya gagal menerjemahkan apa hubungan bentuk, siku, bulatan dan warna berujud tugu bernama tugu Aman Dimot dengan nilai-nilai kepahlawanannya.
Okelah, daripada tak bawa pulang apa-apa, saya lakukan hobi saya, memotret. Sedang asyik menjepret bagian demi bagian tugu tersebut, tiba-tiba dua orang anak muncul menghampiri. “Sedang apa bang,” kata seorang anak yang berbadan tegap dan berkulit hitam dengan sebatang rokok disela jemarinya. “O, abang lagi motret-motret ya ?, kami kira ngapain,” sapanya lebih lanjut. Anak ini kemudian mengaku sudah putus sekolah dan tak takut merokok walau didepan orang tuanya.
Kami kemudian terlibat dialog. Mungkin anak yang berbadan lebih kecil, mengaku masih kelas dua SD dan sudah tidak masuk sekolah lebih dari sebulan tersebut mengganggap saya bukan orang perlu disegani. Dia kemudian menyulut rokok yang sebelumnya disembunyikan. “Abang mau merokok bang ?” tawarnya sambil menyodorkan bungkusan rokok. Rupanya lokasi tugu Aman Dimot selama ini merupakan tempat yang aman bagi anak-anak untuk merokok yang seharusnya tidak pantas mereka lakukan.
Anak yang berbadan tegap kemudian menuju samping utara tugu. Rupanya sudah ada seutas tali sebesar jempol tergantung. Anak tersebut kemudian main ayun-ayunan dengan tali yang saya yakini bukan bagian asli tugu tersebut.
Kurang dari satu jam mencoba mengikuti dan menyelami jejak-jejak Aman Dimot di tugu ini, bukan semangat heroik bela Negara yang didapat, akan tetapi kejengkelan, kegeraman terhadap rendahnya nilai penghargaan penghuni negeri yang pernah dua kali menjadi juara perhelatan budaya lima tahunan se-Aceh, Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ini.
Pertanyaan yang muncul adalah suku bangsa berbudayakah suku Gayo ? Lalu menghargai jasa pahlawan bukankah bagian dari budaya Gayo ?
Tugu Proklamasi, yang berdiri tegak beberapa meter sisi barat tugu Aman Dimot, keadaannya lebih kurang sama. (Tulisan ini pernah dimuat di The Globe Journal)