Catatan Ghazali Abbas Adan*
KONSISTEN dengan UUPA sebagai dasar konstitusional dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Aceh, maka tidak ada khilafiah tentang adanya lambang khas bagi Provinsi Aceh, sebagaimana pasal 247 ayat (1) Pemerintah Aceh dapat menetapkan lambang sebagai simbol keistimewaan dan kekhususan. Ayat (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai lambang sebagai simbol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Qanun Aceh.
Bertitik tolak dari landasan konstitusional ini, lam siklep siklap, sim salabim lambang sebagai simbol keistimewaan Aceh itu sudah disahkan parlemen Aceh berwujud sebagaimana sudah dikhalayakkan melalui media massa, dan serta merta menuai kritikan, bahkan penolakan dari berbagai kalangan masyarakat. Dan harus diingat, bahwa suara yang bernada kritikan dan penolakan itu juga milik rakyat Aceh.
Dengan fakta ini jangan ada pihak manapun yang mengklaim, bahwa lambang Aceh yang sudah disahkan itu adalah kehendak (h’euet) seluruh rakyat Aceh. Juga menyatakan sesungguhnya lambang Aceh seperti itu adalah warisan endatu sebagaimana terdapat dalam Qanun Asyi, tanpa menunjukkan jilid dan halaman berapa dalam Qanun Asyi itu termaktub lambang yang demikian. Kita sebagai rakyat, wabilkhusus yang sempat mengenyam pendidikan sekedarnya tidak akan sudi disuguhkan dongeng (hikayat musang). Apalagi menyangkut dengan lambang sebagai simbol keistimewaan Aceh yang kerap disebut nanggroe mulia, bermarwah, bermartabat dan meusyeuhu ban sigom donya. Kalau memang benar adanya, tunjukkan dimana dapat dipersaksikan wajah Qanun Asyi itu yang di dalamnya ada lambang Aceh yang demikian.
Gambar Buraq
Khusus gambar yang diklaim sebagai buraq dalam lambang tersebut, juga harus dijelaskan dari mana asal mula habitat buraq yang berwajah cewek hidung mancung, rambut hitam terurai ke bahu, di kepala bertengger “kulahkama” (mahkota) seperti yang kerap dikenakan ratu kecantikan sejagat. Bersayap dan berbadan seperti kuda. Saat ini di hutan mana, atau di laut dan danau apa di Aceh atau di dunia yang dapat dijumpai makhluk buraq.
Konon buraq itu diambil dari buraq yang dikendarai Nabi Muhammad ketika beliau melakukan isra mi’raj. Kalaulah demikian asal usulnya, apakah memang begitu sejatinya buraq kendaraan Rasul Allah terakhir itu.
Berkaitan dengan mukjizat isra’ mi’raj Rasulullah Muhammad saw, melalui beberapa buku Sirah Rasul yang saya miliki mengisahkan antara lain; “Pada tengah malam yang sunyi dan hening, burung-burung malam membisu, binatang-binatang buas sudah berdiam diri, gemercik air dan siulan angin juga sudah tak terdengar lagi, ketika itu Muhammad terbangun oleh suara yang memanggilnya; “Hai orang yang sedang tidur, bangunlah”. Dan bila ia bangun, di hadapannya sudah berdiri Malaikat Jibril dengan wajah yang putih berseri dan berkilauan seperti salju, melepaskan rambutnya yang pirang terurai, dengan mengenakan pakaian berumbaikan mutiara dan emas. Dan dari sekelilingnya sayap-sayap yang beraneka warna gemerlapan. Tangannya memegang seekor hewan yang ajaib, yaitu buraq yang bersayap seperti sayap garuda. Hewan itu membungkuk di hadapan Rasul, dan Rasulpun naik.
“Maka meluncurlah buraq itu seperti anak panah membumbung di atas pegunungan Makkah, di atas pasir-pasir sahara menuju arah utara. Dalam perjalanan itu ditemani Malaikat…”. (Muhammad Husain Haikal, Hayatu Muhammad, 1984, halaman 170-171).
“Menurut Al-Hasan, Rasulullah saw pernah mengisahkan peristiwa Isra’ sebagai berikut; Pada saat aku sedang tidur di Hijr (tempat dekat Ka’bah) datanglah Malaikat Jibril. Ia mengusikku dengan kakinya. Aku duduk, tetapi tak ada sesuatu yang kulihat, kemudian aku tidur kembali. Demikianlah berulang-ulang hingga tiga kali. Setelah aku duduk, Jibril menarik tanganku, lalu aku berdiri bersama dia. Olehnya aku dibawa ke pintu Ka’bah, tiba-tiba kulihat di depan pintu seekor binatang berwarna putih yang bentuknya mirip kuda. Pada kedua pangkal paha depannya terdapat dua buah sayap dan dengan kedua sayap itu ia melangkah lari. Tiap langkahnya sejauh pandangan matanya. Jibril kemudian menaikkan diriku di atas punggung binatang itu, lalu berangkatlah kami berdua hingga tiba di Baitul Maqdis”. (H.M.H Al-Hamid Al-Husaini, Siratul Musthafa saw, tanpa tahun, halaman 423).
“Kisah perjalanan isra’ mi’raj disebutkan oleh Bukhari dan Muslim secara lengkap dalam shahih-nya. Disebutkan bahwa dalam perjalanan ini Rasulullah saw, menunggang Buraq, yakni jenis binatang yang lebih besar sedikit dari keledai dan lebih kecil sedikit dari unta. Binatang ini berjalan dengan langkah sejauh mata memandang…” (Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy, Fiqhus Sirah, 1990, halaman 146).
“Benarlah bahwa Rasulullah saw berisra’ dan bermi’raj, tetapi bagaimanakah caranya? Apakah beliau mengendarai pesawat yang kecepatannya melebihi kecepatan suara sebagaimana yang diciptakan manusia pada zaman mutakhir ini?.
Beliau mengendarai “Buraq” yang setiap langkahnya sejauh mata memandang, seolah-olah ia lari dengan kecepatan cahaya. Kata “Buraq” menunjukkan berasal dari akar kata “barq”, yang berarti kilat, yakni semacam kekuatan arus listrik, yang secara khusus diciptakan untuk keperluan perjalanan beliau itu…” (Muhammad Al-Ghazali, Fiqhus Sirah, tanpa tahun, halaman 229).
Berdasarkan beberapa referensi ini, jelas belaka tidak digambarkan buraq ala lambang yang telah disahkan DPRA yang berwajah cewek dengan rambut hitam terurai ke bahu, “kulahkama” nangkring di kepala, bersayap, dengan badan menyerupai kuda.
Memang dulu satu ketika saya pernah melihat di rumah-rumah gambar dalam bingkai yang elok, disebut sebagai buraq kendaraan Rasulullah Muhammad saw ketika melakukan isra’ mi’raj. Gambar itu mirip dengan buraq dalam lambang Aceh produk DPRA tersebut. Kelak terungkap itulah ulah israiliyyat sebagai bentuk pelecehan dan penghinaan terhadap junjungan kaum muslimin Muhammad saw. Bahwa digambarkan beliau menunggangi kuda berwajah cewek cantik ketika melakukan isra’ mi’raj menghadap Rabbul Jalil dan menerima langsung perintah shalat fardhu.
Adalah fakta dan realita dalam masyarakat, apabila sudah ada lukisan/gambar yang dinamkan buraq, sudah pasti dalam benak yang melihatnya adalah buraq yang dikendarai Rasullah itu. Demikian pula gambar buraq dalam lambang produk DPRA.
Bagi saya tidak ada urusan apabila buraq model demikian dijadikan lambang perusahaan, atau suatu komunitas di belahan dunia manapun, termasuk di Aceh. Tetapi berdasarkan referensi yang saya nilai mu’tamad tersebut, dengan tegas saya katakan tidak setuju gambar akal-akalan, a-historis dan israliyyat itu dijadikan sebagai lambang Aceh, Serambi Makkah, nanggroe syari’at Islam, mulia, bermarwah dan meusyeuhu ban sigom donya.
Representasi Partai Islam
Saya dapat memaklumi, apabila representasi partai sekuler, yakni partai yang memiliki ideologi tidak ada hubungan aktifitas dan produk politik dengan syari’at Islam mengamini gambar yang demikian dijadikan sebagai lambang Aceh. Tatapi mengapa representasi partai berasaskan Islam dan mengusung slogan partainya segagai rumah besar umat Islam, partai dakwah, partai yang berjuang li-‘izzil Islam wal muslimin dan sebagainya juga tunduk dan patuh, sam-‘an wa tha-‘atan terhadap gambar yang tidak jelas asal usul habitatnya, a-historis, akal-akalan dan bernuansa israiliyyat itu dijadikan lambang sebagai simbol nanggroe Islam Aceh.
Dalam negara demokrasi, pluralisme, berbeda pendapat ketika membahas dan memutuskan sesuatu hal bukanlah sesuatu yang haram. Apalagi berkenaan dengan sesuatu yang prinsipil. Tentu perbedaan pendapat ditunjukkan dengan cara-cara cerdas, santun, beradab, konsitusional dan sesuai dengan mekanisme berdemokrasi. Seperti melakukan/menunjukkan minderheit nota (nota keberatan) dan/atau melakukan walk out (meninggalkan ruangan sidang) ketika akan diputuskan suatu masalah.
Hal ini kerap terjadi dalam sidang-sidang parlemen, termasuk di Gedung Parlemen Indonesia di Senayan Jakarta. Kendati dengan segala kekurangan, saya sendiri pernah melakukan dua hal tersebut dalam sidang parlemen Indonesia. Meski demikian saya tetap bersahabat akrab dengan teman-teman anggota parlemen yang berseberangan pikiran dan sikap dengan saya, dan merekapun demikian pula terhadap saya. Di sisi lain, alhamdulillah, wallahu Akbar sampai saat ini dengan segala kesederhanaan saya masih mampu hidup bersama seorang isteri dan lima permata hati saya.
Suara MPU
Barkaitan dengan gambar buraq dalam lambang yang dijadikan sebagai simbol kekhasan dan keistimewaan Aceh, saya masih ingat pernyataan Ketua MPU Kabupaten Bener Meriah Teungku Syarkawi yang meminta penjelasan asal usul dan makna dari gambar tersebut. Hal ini dalam upaya menjaga aqidah kaum muslimin Aceh berkenaan dengan gambar israiliyyat itu. Sangat disayangkan, permintaan Tgk Syarkawi tersebut tidak mendapat tanggapan sama sekali. Saya sangat mengharapkan sejatinya almukarramun walmuhtaramun MPU Provinsi Aceh menunjukkan suara dan sikapnya tentang gambar buraq itu. Sudah pasti suara dan sikap beliau berdasarkan referensi yang lebih mu’tamad dari referensi saya tersebut.
Sebagai sebuah lembaga resmi mitra sejajar eksekutif dan legislatif Aceh, sangat mustahak MPU mengeluarkan pendapat dan sikap berkenaan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Aceh. Tidak hanya sebatas mengeluarkan fatwa sesat terhadap materi pengajian seorang Teungku di suatu pesantren di pedalaman Aceh misalnya, tetapi berkenaan dengan gambar buraq yang kontroversi itu semestinya MPU juga menunjukkan suara dan sikapnya. Saya yakin, amat sangat banyak kaum muslimin Aceh yang mendambakan MPU menunjukkan eksistensi dan fungsinya sesuai UUPA, sekaligus sirajul ummah (pelita bagi ummat) mewujudkan Aceh yang bersyari’at, bermarwah, bermartabat, mulia dan meusyeuhu ban sigom donya, insya Allah.
“Sungguh aku (Syu’aib) hanya ingin melakukan perbaikan sebatas kemampuanku. Tidak ada yang dapat memberikan petunjuk kepadaku kecuali Allah. Kepada-Nya-lah aku bertawakal, pasrah kepada Allah dan kepada-Nya-lah aku bertaubat”. (QS, Huud, ayat 88).
—
*Mantan anggota DPR-RI, anggota Majelis Syura Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Aceh, Ketua Majelis Dakwah Komite Penguatan Aqidah dan Peningkatan Amal Islam (KPA-PAI) Pemko Banda Aceh.