*Lanjutan Cerpen Berawang Musane
MATAHARI masih malu keluar dari peraduannya. Eber-eber (mulai kemerah-merahan). Tetapi Sabar sudah duduk di lepo (teras), ditemani kopi panas. Nasi yang ditanaknya menjelang ‘ranas’ (masak).
Dia perhatikan parang setia yang sudah lama menemani hidupnya untuk mencari nafkah. Dia pegang matanya, untuk menguji ketajamannya. Sejenak kemudian dia turun, mencari batu asahan. “Sahabat” setianya itu harus dipertajam, guna membabat rumput.
Asap rokok mengepul, sigaret panama ini nyaris memakan puting, namun abunya panjang belum jatuh. Rasanya rokok ini tidak mau lekang dari bibirnya, walau sudah mulai menyambar garis pembatas.
Saat mengasah parang, diperhatikan pada sebuah tikungan jalan kebun kopi milik Aman Sabardi ini, sesosok lelaki yang dikenalnya berjalan menggerbes nami (memecut embun).
“Yah ejeb mangan ongkosen nige, buet idedik kati tir munge, (Yah susah jadi buruh, kerjaan dipaksa, agar cepat siap),” terdengar suara agak sedikit keras, suara khas di telinga Sabar.
“Hana ken Tem, (Apanya Tem),” Sabar membalas sapaan itu.
Item, berjalan agak cepat menghampiri Sabar. Diapun berjongkok di sebelah lajang yang sedang mengasah parang ini.
“Anu Bar, hehehehe, aku gere minum ilen, (Anu Bar, hehehe, aku belum minum)” ucap Item sambil melepaskan senyum.
“Yah tos kendiri. (Yah buat sendiri).”
Sambil menikmati kopi dengan aroma khas negeri leluhurnya, Item mulai buka cerita.
“Lagu ku megah le buetni. Jema nge mulai besisu. Persuelen berawang lagu makin dele heme mubetehe (seperti ribut pekerjaan ini. Orang mulai membicarakan persoalan berawan, makin banyak yang tahu),” kata-kata Item ini terlepas, tanpa memperhatikan Sabar, namun tangannya menarik sebatang rokok panama Sabar.
“Ko lagu intel le seni Tem.(Kamu seperti intel sekarang Tem).”
Item melepaskan tawa. Diseruputnya kopi hangat. Dia tidak panjang lagi komen, selain Sabar sudah selesai mengasah parang, nasik yang ditanaknya sudah ranas. “Mujing kite Bar. (Makan pagi kita Bar).”
“Ruh lagu inipe Tem, mera ku paloh jamur te, nge rokok, kupi, mujing mien ku jema ongkosen. (Cocok seperti ini, mau ke bawah gubuk kita. Udah rokok, kopi, makan lagi dengan buruh upahan),” sebut Sabar sambil melepaskan senyum.
Item yang sudah mengetahui karakter temannya gemasih, tidak menghiraukan perkataan Sabar. Dia ambil piring, asap nasi yang masih hangat mengepul ke udara. Cecah (sambal) terasi yang sudah disiapkan Sabar, membuat seleranya bertambah.
“Kuneta kite Bar, mujing pe turah rowa pingen. Lagu si lulus kuerah. (Bagaimana kita ni Bar, makan pagi saja dua piring, selera kulihat).”
Hari itu Item ikut membantu Sabar, membersihkan kebun kopi yang gulmanya hampir bersih. Di sela-sele mereka bekerja, Item kembali bercerita soal penjuelen Berawang yang dikomando Pang Suku, dimana Sabar direkrut Pang sebagai Hariye ( Humas) di belakang layar.
“Nge ya Tem, serahen ku Tuhen. Sa si ngerep lede, ke we si murasanne. Gajikupe gere jelas, aku ihklas.( Sudahlah Tem. Serahkan ke tuhan. Siapa yang menggigit cabe, dialah yang pedas. Gajikupun tidak jelas, aku ihklas),” sebut Sabar yang terus mengayun parangnya memisahkan batang rumput dari akarnya, di bawah pepohonan kopi.
“Gereke sayang ken Pang Suku, seni lagu mehne jema le mubahas buet ni Pang ni. (Tidakah kamu sayang dengan Pang Suku, seperti semua orang membahas perbuatan Pang,)” sebut Item.
“Selaku manusie dan pernah ken sebette, ke turah sayang, tuhenpe sayang ken kite. Tetapi ke buetni ke turah tanggungjeweb masing-masing. Kitepe akherat puren, mupetimang diri, gere ara jema len si kite urus, (Selaku manusia dan pernah berteman, kita harus sayang. Tuhan saja sayang dengan ummatnya. Tetapi pekerjaan ini harus tanggungjawab. Diakhirat kelak kita juga memmpertanggungjawabkan sendiri)” Sabar berbicara polos, tanpa memperhatikan Item, tangannya masih berayun ke kanan dan kiri.
“Ninget aku ken manat awan– teringat aku pesan kakek,” Item memulai lagi pembahasan. “ Dediang enti ku tebing, ke ku tebing enti ku genering. Berinang enti ku tangkir – Bermain jangan di tebing, kalau di tebing jangan dipinggirnya. Bermain jangan di bibir jurang terjal.”
“heya heya heya, tangkoh mien tarah halusmu ge Tem. Heya-heya, keluar juga kupasan halus mu Tem?” balas Sabar.
“Yoh pongni, oya manat datu te, gere ke cocok iko Bar? (Yah kawanni, itu kan amanah nenek moyang, apakah kamu tidak cocok Bar?)
Sabar tidak langsung menjawab, saat itu dia teringat kata-kata Pang Suku, yang terlanjur menokohkan dirinya sebagai komandan.
“Bar, sa ken berani mungerlok kite. Ko tenang adehne, mehne ara carae,( Bar, siapa yang berani menggangu kita. Kamu tenang aja, ada caranya),” kata-kata Pang itu, bagaikan sulit dicerna Sabar.
Dia tidak tahu bagaimana caranya Pang Suku mengantisifasi bila ada orang yang “menggerlok”, saat sekarang ini yang diketahuinya, Berawang Musane, sudah menjadi pembahasan.
Pang sudah berinang di tangkir. Mungecal bere.( Menggenggam bara).
Dibenak Sabar terbayang juga bagaimana Genta, sahabat Pang Suku, yang diuber-uber upes. Genta juga mukeber “nelom” ringit. (makan ringgit)“Yah sesara sebetku si pernah dekat rum aku ipenter, kunehmi ini?” ( Satu persatu sahabatku sudah dibidik, bagaimana ini?) hati Sabar berbisik, sambil memperhatikan Item yang kembali menarik rokok panamanya. (Fajri Gayo)
Baca Juga: Berawang musane