MAHATARI kembali keperaduannya. Saat binar merah jingga itu surut malu, alam berubah menjadi kelam. Di seputaran kebun kopi tempat Sabar man ongkosen, mulai ada yang bernyanyi. Ketol rok (cacing besar) dan kerudik (jangkrik) mengatur irama saling sahut-sahutan.
“ngiiiikkkk ngiiiikkkk, kriiiikkk kriikkkk”.
Suara yang merdu di telinga Sabar, bagaimana paduan musik country klasik.
Sabar menutup tingkep (jendela kecil di gubuk), kemudian menghidupkan lampu teplok yang dibuatnya dari kaleng susu. Saat sumbunya dibakar, muncul asap hitam mengepul keudara. Tetapi itulah penerangan di kala malam, disamping senter mancis.
Sambil menunggu nasinya ranas, sabar membakar terasi bulat di atas bara api. Aromanya khas. Sementara cabai hijau dan terong padul (tomat jenis kecil dan bulat), sudah dimasukkan sabar dalam periuk nasi yang menjelang masak itu.
Selain cecah terasi dengan cabai hijau plus terong padul, sahabat bersantab Sabar mala mini ada rukut rebus (meranti), rasanya khas ada sedikit pahitnya, namun dipenghujungnya terasa lemak.
Makan nasi panas dengan cecah, jarang ada ikan ini, merupakan keseharian Sabar yang bekerja sebagai buruh upahan. Ketika menggiling cabai dan terasi, Sabar kembali tersenyum.
Senyuman yang tidak dia ceritakan kepada Item, apa makna senyumnya. Dia teringat tingkah Pang Suku ketika sukses dengan kegiatan penjualan berawangnya. Saat itu Pang bagaikan “superhero”.
Berjalan mulai gagah. Bahunya sedikit terangkat seperti ada kuni di keredeknya (bisul di ketiaknya). Nada bicara Pang sudah mulai “atas”. Suka memerintah dan mengangap dirinya paling hebat.
Ada ciri khas lain yang membuat Sabar tersenyum. Saat Pang mengelus-elus kepalanya dengan rambutnya yang “gondrong”. Sebentar-bentar dibukanya topi pet, yang merupakan bagaikan bagian dari teman hidup Pang.
Sabar teringat dengan pemandangan di kebun kopi di pinggiran hutan ini. Tadi siang ada sekumpulan monyet yang turun dari hutan mencari pisang di kebun kopi yang sedang dibersihkan sabar.
Diperhatikannya, ada engkong (monyet laki besar yang jadi penguasa) yang duduk tenang memperhatikan monyet lainnya turun ke kebun.
Apapun perintah engkong kepada muni (monyet) harus diikuti. Engkong sebagai bigbos terima operan dari para muni. Sang muni selain menyetor kepada engkong, juga harus mencari makan sendiri. Walau dasarnya engkong ini juga muni, namun setelah jadi engkong, dia lupa asalnya dari muni.
Anak buahnya ini sering kena tampar dengan engkong, bila keinginannya/kesenangannya diganggu. Maklum engkong sebagai penguasa monyet.
Sambil menyuap nasi panas ditemani jantar (sayur) rukut, Sabar teringat dengan Genta. Kabar berhembus ke telinga Sabar, Genta sepertinya menuai masalah. Banyak orang mencari Genta, persoalan ringit (uang receh logam).
Apa benar hembusan angin itu, Sabar tidak peduli, dia memikirkan nasibnya. Pengharapannya buge ara ilen ulung kayu si ijo, ara ilen uyet si telam timul, nguk ken tawar bengi (semoga masih ada daun kayu yang hijau, masih ada akar yang tergantung dan tersembunyi, semoga dapat untuk penawar dingin kehidupan).
Sabar kini bagaikan sebatangkara. Nasibnya seperti kerpe atan atu (rumput hidup di atas batu). Namun walau penghidupannya susah Sabar tetap memegang prinsip hidup. Nipe nume denung, ketol rok nume nege (ular bukan ikan lindung, cacing besar bukan naga).
Sabar hidup apa adanya, tidak mau memakan ular yang dianggap sebagai denung, dan tidak mau membesarkan diri, karena memang dia orang kecil dan susah. Dia teringat petuah kakeknya “ Enti lagu ojom turus. Akal diri gere temus, iejeri jema gere lulus– (Jangan sibuk tak menentu, akal sendiri tidak tembus, diajarin orang tidak masuk).
Usai makan, sambil menghisab rokok, Sabar merenungi makna falsafah yang disampaikan kakeknya. Dalam hidup ini tidak boleh menang sendiri, merasa diri paling pintar, pendapat orang lain yang lebih baik tidak mau diterima.
Bila sipat paling pintar ini ada dalam diri, satu persatu teman kita akan menjauhi, dan bila ada masalah orang membiarkan kita tanpa mau membantu, karena takut semuanya dijadikan lawan.
Dalam lamunannya, Sabar mengepul asap tembakau sigaretnya. Tiba-tiba di luar terdengar raungan mesin honda (sepeda motor). “ Bar, tah tangkoh kite, selo dor ewenni kepuh (Bar ayo keluar kita, jangan tiap hari menjaga kandang).
Malam itu ditemani Item, Sabar berkeliling kota. Saat melintasi berawang musane, hati Sabar seperti menjerit.
“Ya Rabbi tuhenku, Genap si nge munge, agih si belem-( Ya Rabbi, cukupkanlah yang sudah lewat, semoga tidak terulang kembali).
Dalam riak kecil berawang ini, diterpa ulen empat belas (purnama), Sabar bagai melihat ada wajah Pang Suku diantara buaian halus air yang diterpa angin itu. Wajah sahabatnya itu tertunduk, berbeda dengan raut kebiasaannya, saat mukuni keredeknya. (Fajri Gayo)
cerpen terkait ; terjemahan Cerpen Gayo
berawang-musane.html
berinang-ku-tangkir-lanjutan-cerpen-berawang-musane.html