Oleh Joni MN, Aman Rima
Tepatnya tanggal 24 Agustus 1988, penulis berjalan ke-pusat kota Takengon dengan berjalan kaki, karena di Kabupaten Takengon pada saat itu masih belum ada angkutan kota (bis kota), kalaupun ada hanya satu bis kota saja yaitu trayek Kota, melalui simpang IV, dan seterusnya Kampung Paya Tumpi.
Tampa memperpanjang cerita, kebetulan penulis saat itu berada di salah satu surau yang dikenal dengan nama “mersah padang” pada waktu itu aliran sungai pesangan agak surut tidak seperti biasanya, mungkin bayangannya seperti saat ini airnya hanya sedalam pahak orang dewasa, penulis bingung melihat air tersebut, sehingga timbul pertanyaan dalam hati, apakah air itu susut karena dimakan “lembide” atau karena banyaknya masyarakat Takengon mengambil air tersebut untuk kebutuhan mereka sehari (mengkonsumsi) menjadi kering dan susut, atau mungkin karena banyak hewan-hewan yang ada di hutan sekeliling danau itu sudah menutup mata air yang ada di seputar mereka sehingga enggan mereka berbagi dengan manusia yang ada diseputar takengon hanya karena manusia disana sudah mengusir atau merusak habitatnya?.
Kembali kepada cerita “mersah padang” ketika saya berdiri di depan menasah tersebut dengan mata saya mengarah ke aliran sungai pesangan tersebut, tiba-tiba ada seseorang dating dari arah belakang saya, berjalan dengan menutup hidung sambil mulutnya menggerutu (ngomel) karena aroma dari air yang bercampur dengan kotoran menguap ke permukaan dan menyebar ke-sekeliling daerah itu, orang yang yang dating dari arah belakang saya itu rupanya menuju ke pasar ikan tepatnya ke tempat pemotongan ayam, lelaki itu berjalan dengan menutup hidungnya sambil menggerutu, kata-kata yang keluar dari mulutnya hamper tidak jelas kedengaran tapi saya berusaha memahami apa yang sedang dia katakan, “tempat ini tidak bersih, bauknya setengah mampus, kotoran manusia ini juga tidak disiram, sangat bodoh orang yang melakukannya”, lebih kurang itulah kata-kata yang keluar dari mulutnya.
Kemudian, kurang lebih 10 menit dia sampai di tempat pemotongan ayam tersebut, saya melihatnya, dia bergegas sambil berlari menuju W.C ke mersah padang itu, masih dengan keadaan menutup mulut, saya terus mengawasinya, kurang lebih 15 menit dari situ, dia keluar dari W.C tersebut, kelihatan dengan bebasnya dengan tidak menutup mulut dan hidungnya lagi, dan yang anehnya dia tidak ngomel lagi, malah, dia keluar dengan senyuman sambil menegur kawannya, seolah-olah aroma yang keluar kepermukaan itu tidak terasa lagi, dan jelas kelihatan dia tidak memperdulikan lagi tentang apa-apa yang mengeluarkan bau tidak sedap di sekelilingnya.
Cukup sekian cerita ini, semoga dapat di ambil “red cord” atau benang merahnya untuk dapat dijadikan pelajaran dan mungkin dapat diberitahukan kepada sipemimpi jabatan.
——————
“Segala sesuatu yang didapatkan atau dimulai dengan Amarah/Nafsu, pasti akan berakhir dengan malu”
(Joni MN)
*Dosen STAI Gajah Putih Takengon