Oleh Sabela Gayo
Aceh merupakan satu daerah bertuah yang terletak di ujung pulau Sumatra dan telah menjadi persinggahan perdagangan dan pusat penyebaran agama Islam di semenanjung Sumatra selama berpuluh-puluh tahun bahkan beratus-ratus tahun lamanya. Pada awalnya banyak pedagang yang berasal dari Tiongkok (China) dan Eropa. Para pendakwah agama Islam yang juga banyak datang dari Gujarat (India), Turki, dan Arab. Sehingga sampai hari ini para keturunan-keturunan mereka masih banyak ditemukan di seluruh wilayah Aceh dan telah berasimilasi dengan penduduk asli setempat.
Dari 5 (lima) bangsa besar tersebut diatas yang telah berimigrasi secara damai ke Aceh dan melakukan proses asimilasi secara damai juga dengan penduduk asli setempat yaitu bangsa Gayo. Bangsa Gayo merupakan penduduk pertama dan paling awal mendiami dan menempati suatu wilayah diujung pulau Sumatra yang hari ini disebut sebagai Aceh. Bangsa Gayo memiliki struktur adat yang sangat menerima masuknya unsur-unsur atau pengaruh baru ke dalam masyarakatnya atau dengan kata lain bangsa Gayo merupakan sosok komunitas masyarakat yang sangat demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian dan persahabatan.
Selain itu, disudut lain pantai Timur Aceh yaitu tepatnya di Aceh Tamiang sekarang, berimigrasinya penduduk Bangsa Melayu dari sekitar Langkat dan Kesultanan Deli menyebabkan komunitas dari Bangsa Melayu perlahan-lahan menempati daerah di sekitar pesisir Kabupaten Aceh Tamiang sekarang ini. Karena pada masa itu ada sebuah Kerajaan Gayo yang berpusat di daerah Kalul yang mempunyai wilayah kekuasaan seluruh wilayah kabupaten Aceh Tamiang sekarang ini.
Disisi pantai barat Aceh berimigrasi pula komunitas penduduk dari suku Minang ke beberapa wilayah di pantai barat Aceh. Hal ini disebabkan karena dekatnya letak geografis antara tanah Minang dengan beberapa wilayah di Pantai Barat Aceh apabila dijangkau melalui transportasi laut pada masa itu bahkan sampai hari ini jarak antara tanah Minang dan pantai barat Aceh terasa semakin dekat seiring dengan pesatnya kemajuan dunia transportasi laut. Sehingga bahasa masyarakat setempat sangat dipengaruhi oleh corak bahasa Minang.
Proses asimilasi yang terjadi dengan begitu cepat dan sangat demokratisnya struktur sosial bangsa Gayo ditambah lagi dengan lemahnya tingkat pendidikan dan ekonomi bangsa Gayo menyebabkan pengaruh bahasa dan budaya bangsa Gayo kurang ”tajam” menancap di setiap jiwa dan pribadi bangsa-bangsa pendatang yang datang kemudian ke Aceh. ”Kekalahan” bangsa Gayo dalam menancapkan pengaruhnya disebabkan karena adanya kebergantungan secara pendidikan dan ekonomi dengan bangsa-bangsa pendatang yang biasanya datang dengan tingkat pendidikan dan ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan bangsa tempatan. Oleh karena itu bangsa Gayo harus belajar dari sejarah ”kelam” bangsanya sendiri dengan terus berupaya agar merubah nasib bangsanya melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Bangsa Gayo dikenal sebagai penduduk yang sangat toleran kepada para pendatang, bahkan karena tolerannya itu juga yang menyebabkan ia ”dijerumuskan” ke dalam ”lubang” oleh bangsa-bangsa pendatang lainnya. Bangsa Gayo menganggap bahwa semua bangsa pendatang adalah saudara dan sahabat yang ”wajib” dihormati dan dilayani secara baik dan manusiawi. Benarlah kata pepatah lama China yang menyebutkan bahwa ”seseorang tidak akan pernah jatuh karena tersandung gunung yang tinggi melainkan seseorang terjatuh karena tersandung kerikil kecil”, artinya adalah bangsa Gayo tidak akan mungkin ”jatuh” oleh lawan atau musuh sekuat apapun karena bangsa Gayo memiliki karakter dan mental ”perang” yang sudah teruji sejak beratus-ratus tahun lamanya. Sejarah telah mencatat dengan tinta emas, berapa banyak putra-putri bangsa Gayo yang gugur di medan perang dalam melawan Belanda selama beratus-ratus tahun lamanya. Tetapi bangsa Gayo justru ”terjatuh” oleh kerikil kecil yaitu ”dijatuhkan” oleh kawan/sahabatnya sendiri yaitu para bangsa-bangsa asing dan pendatang yang selama ini sudah dianggap teman bahkan dianggap saudara oleh bangsa Gayo. Dan hal itu telah terbukti sekarang dimana ”temannya” itu secara perlahan-lahan namun pasti sudah mengambil-alih ”tanah nenek-moyangnya” kemudian secara perlahan-lahan namun pasti pula mencoba untuk merubah dan memutar-balikkan fakta sejarah dengan menyebut-nyebut dan mengkampanyekan bahwa mereka adalah penduduk asli Aceh dan bangsa Gayo adalah penduduk pendatang di Aceh.
Toleransi adalah satu sikap dan cara pandang yang baik dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa tetapi toleransi juga yang dapat ”menjerumuskan” suatu bangsa ke dalam jurang keterpurukan karena dengan menerapkan prinsip toleransi yang tanpa batas maka orang lain akan dengan mudah memanfaatkan kondisi tersebut untuk ”memperkuat” posisinya baik secara sosial, ekonomi dan politik. Dan ketika akibat dari sikap toleransi itu mulai ”menggangu-ganggu” kedaulatan sebuah bangsa seperti mengganggu eksistensi bahasa dan budaya maka toleransi harus berada dibelakang dan harga diri sebuah bangsa harus berada didepan dalam rangka mempertahankan warisan Allah SWT yang telah diberikan kepada bangsanya.
Melalui berbagai cara dan sarana yang ada keturunan bangsa-bangsa pendatang tersebut mencoba untuk menegakkan identitas baru di Aceh dengan menafikan identitas yang sudah ada. Mereka mencoba untuk menyebut bahwa mereka adalah pemegang kedaulatan atas tanah yang hari ini mereka diami dan menancapkan bendera mereka diatas satu bendera yang telah lama berkibar di Aceh jauh sebelum bendera mereka itu lahir. Tetapi perlu disadari bahwa, yang namanya kebenaran maka suatu saat pasti akan ”terbongkar” juga. Karena kebenaran adalah suatu nilai yang pasti akan memperoleh kemenangan atas segala bentuk kejahatan, kemaksiatan dan tipu-muslihat yang dimainkan oleh manusia.
—————-
* Mahasiswa Program Ph.D.in Planning and Development of University Northern Malaysia (Universiti Utara Malaysia) dan Wali World Gayonese Association (WGA).