(Fenomena umum di Indonesia)
Oleh Joni MN, Aman Rima*, Solo – 27 September 2011
Profesi Keguruan, Kata Profesi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (ketrampilan, kejuruan, dsb) tertentu. Di dalam profesi dituntut adanya keahlian dan etika khusus serta standar layanan. Pengertian ini mengandung implikasi bahwa profesi hanya dapat dilakukan oleh orang-orang secara khusus di persiapkan untuk itu. Dengan kata lain profesi bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak memperoleh pekerjaan lain (bukan sebagai pelarian).
Tugas seorang guru bukanlah hanya sebagai mentransfer Ilmu dan mengelola kelas saja, melainkan Guru tersebut merupakan perwakilan dari orang tua kandung peserta didik itu sendiri. Pertanggung jawaban dari orang tua kedua ini sudah jelas dan persis sama dengan orang tua kandung mereka sendiri di lingkungan rumah mereka, selain bertanggung jawab atas keberhasilan intelektualitas juga tidak kalah pentingnya memperhatikan kecerdasan intuisi yang meembentuk mental, moral dalam hal membentuk inner-beauty para peserta didik tersebut dalam rangka mencapai tujuan pendidikan itu sendiri secara kafah, yaitu merubah tingkah laku para peserta didik, bukan untuk menghilangkan nilai-nilai dasar diri manusia itu.
Namun, terkadang ada beberapa guru yang benar – benar mereka itu berjiwa sebagai pendidik bukan “gegurun (guru asal-asalan)” tulus dalam melaksanakan tugas mereka hanya saja terkadang mereka terbentur oleh UU HAM yang sedang berlaku saat ini, yang menjadi pertanyaan kita bersama saat ini, apakah benar produk Hukum tersebut merupakan produk Indonesia Asli? bukankah produk itu hadir pada lingkungan pendidikan di Indonesia untuk merusak system pendidikan Indonesia yang sudah dirumuskan matang-matang oleh Ki Hajar dewantara dan kawan-kawan?. Dikotomi yang merambah seperti benalu khususnya pada Instansi pendidikan pada saat ini sudah hampir merusak semua lini pendidikan dan pembentukan nilai dan norma dari hakikat diri manusia Indonesia itu sendiri. Apakah ini yang implementasi dari Sumpah Syaetan dalam rangka merusak dan terus menggoda manusia? [saat ini sudah menjelma menjadi manusia].
Pendidik dalam kontek ini disebut dengan nama Guru, sebenarnya bukanlah tugas yang hanya dijalankan sebagai memenuhi jam atau sekedar mengisi daftar hadir saja, namun di mampu mengikuti kode etik Guru dan sumpah jabatan pada saat pra-jabatan, bukan hanya ikrar tersebut sekedar diucapkan guna memenuhi kelengkapan persyaratan dalam meraih SK kepegawaian saja, melainkan guru itu untuk digugu dan ditiru “positive”. Angka bukan salah satu penentu keberhasilan dari individu peserta didik, karena pada saat ini banyak sekali para peserta didik yang sudah selesai atau yang sedang mendapat angka (nilai) yang tinggi toh kenyataannya masih banyak yang bermental bejad, kurang beretika dan lain-lain “negative” sudah melenceng dari cita-cita pendidikan itu sendiri.
Teori apapun itu, baik itu berasal dari eropakah atau dari Negara manapun tentang pendidikan, yang jelas tujuan dari pendidikan itu adalah untuk kebahagian baik dunia maupun akherat, sedangkan teori tersebut hanyalah sebagai medium dalam meng-aplikasikan proses pembelajaran itu sendiri. Tidak ada salahnya, kalau si pendidik tersebut benar-benar menempatkan dirinya sebagai pendidik yang sebenarnya bukan hanya sekedar sebagai gegurun, yaitu menjalankan proses tersebut melalui pendekatan local wisdom. Sebagai salah satu wahana dalam pencegahan perusakan moral dan etika dari peserta didik.
Fenomena saat ini banyak produk-produk dari pendidikan entah mungkin itu hasil pendidikan dari Negara-negara eropa/barat atau Indonesia sendiri, yang hanya mengisi intlektulitasnya saja, di sisi lain mereka mengosongkan hatinya, buktinya; pada tayangan-tayangan di stasiun-stasiun TV Indonesia, banyak dari mereka yang berbicara asal-asalan tampa memikirkan dampak dari perkataan mereka selanjutnya, di sisi lain yang bicara itu merupakan orang yang terdidik dan sebagai panutan, banyak dari mereka yang mengaku berpendidikan tinggi, toh masih juga melakukan korupsi alias makan uang rakyat, yang mana mereka tidak merasakan dan melihat masyarakat yang hidupnya masih dalam kemiskinan (ada yang busung lapar, tingkat kehidupannya masih di bawah garis kemiskinan, dll), di sisi lain mereka terus berpoya-poya dari hasil korupsinya di atas masyarakat yang sedang memerlukan bantuan dan uluran tangan mereka (itukah disebut berpendidikan?), mengatas namakan rakyat miskin demi kepnetingannya (mengorbankan rakyat kecil dengan cara membohongi mereka).
Inilah segelintir dari produk-produk pendidikan pada saat ini, yang hanya mengedepankan kecerdasan intelektual saja sehingga nurani mereka kosong, sepertinya sudah kehilangan rasa dan perasaan mereka, jelasnya hilangnya hakikat manusiawi pada diri mereka. Yang sangat disayangkan pada saat ini Dunia pendidikan sudah dikotomi oleh politik praktis demi mendapat posisi dan jabatan (tunggu kehancurannya).
Di lain pihak secara ilmiah, banyak para ahli mengutamakan definisi belajar dalam dunia pendidikan yang berbeda-beda, namun perbedaan tersebut sudah disepakati di antara mereka yang menyatakan bahwa perbuatan belajar mengandung perubahan dalam diri seseorang yang telah melakukan perbuatan belajar itu sendiri. Perubahan itu bersifat intensional berarti perubahan itu terjadi karena pengalaman atau praktik yang dilakukan pelajar dengan sengaja dn disadari bukan kebetulan. Sifat positif berarti perubahan itu bermanfaat sesuai dengan harapan dari tujuan pendidikan itu sendiri baik itu ditinjau dari aspek religi atau juga budaya , dan sosialnya. Sifat aktif berarti perubahan itu terjadi karena usaha yang dilakukan pelajar melalui bantuan dari Guru/si Pendidik, bukan terjadi dengan sendirinya seperti karena proses kematangan.
Perubahan dalam belajar bisa berbentuk kecakapan, kebiasaan, sikap, pengertian, pengetahuan atau apresiasi (penghargaan) perubahan tersebut bisa meliputi keadaan dirinya, pengetahuannya, atau perbuatannya. Artinya; Orang yang sudah melakukan perbuatan belajar bisa merasa lebih bahagia, lebih pandai menjaga kesehatan, memanfaatkan alam sekitar, meningkatkan pengabdian untuk kepentingan umum, dapat berbicara lebih baik dan dapat berinteraksi yang lebih baik atau melakukan suatu perbedaan, perubahan tersebut juga bisa bersifat pengadaan penambahan ataupun perluasan, pendek kata, di dalam diri seorang pelajar terdapat perbedaan keadaan antara sebelum dan sesudah melakukan kegiatan belajar, bukan sebaliknya.
Bagaimana manusia belajar atau bagaimana belajar terjadi? Apa tanda-tanda bahwa ia telah belajar/berpendidikan atau apa saja manifestasi belajar itu? Persoalan pertama berkaitan dengan perbuatan belajar, sedangkan persoalan kedua mengenai hasil belajar. Dengan mengetahui dua persoalan tersebut guru diharapkan dapat menentukan strategi dan langkah-langkah taktis pengajaran karena pengajaran adalah membuat pelajar belajar dan atau berpendidikan untuk dapat diaktualisaikan kelak.
——
(Falsafah para orang tua Dataran Tinggi Suku Gayo – Takengen)
“Nangka I penangka – nangka I baruli, kata I pekata – kata I lalui”
Bermakna
“Perkataan tidak sama dengan apa yang dikerjakan”