Oleh Johansyah*
Eskatologi adalah keyakinan terhadap kehidupan setelah mati, hari akhir, hari kebangkitan dan segala yang berkaitan dengannya. Adanya keyakinan bahwa manusia belum final setelah dia mati melainkan harus sadar bahwa segala perbuatannya akan mempertanggungjawabkan. Tujuan doktrin eskatologis ini sendiri adalah untuk menghasilkan tatanan kehidupan yang bermoral (Ali Sodiqin: 2008). Dalam Islam, eskatologi merupakan bagian dari rukun iman di mana keimanan seseorang masih diragukan ketika tidak percaya hari kiamat.
Doktrin eskatologis adalah salah satu ranah penting yang diposisikan dalam alqurāan. Dengan bahasa yang gamblang di dalamnya telah digambarkan bahwa setiap amalan manusia akan dicatat; jika baik akan dihadiahi pahala, jika jahat akan dibebankan dosa. Itu semua akan diputuskan pada saat manusia menghadapi hari perhitungan suatu saat nanti.
Sekiranya merujuk pada berbagai peristiwa kejahatan, kekerasan, dan penyimpangan di Indonesia yang notabene mayoritas Islam, rasanya kita menilai bahwa aspek doktrin eskatologis mulai terkikis dan menipis dalam jiwa masyarakat muslim. Para koruptor misalnya, tidak begitu pusing memikirkan punishment akhirat, mereka hanya cukup memikirkan strategi bagaimana lepas dari jeratan hukum yang mengancam akibat kejahatannya.
Dalam perhelatan pilkada juga, kita sering melihat berbagai tindak kecurangan yang dilakukan kelompok tertentu untuk memenangkan pilkada. Mereka tidak takut dengan ancaman penjara dan berhadapan dengan para penegak hukum karena mereka dapat dibeli bahkan dijadikan hamba orang-orang yang jahat karena tergiur dengan lipatan tebal rupiah sesuai keinginannya. Kondisi ini tentu saja sebuah fenomena pergeseran pemahaman tentang eskatologi yang semakin rapuh dalam jiwa mereka.
Dalam dunia pendidikan sendiri, kecurangan demi kecurangan terus tumbuh subur dan dilanggengkan. Katakan saja penyimpangan dalam proses ujian nasional (UN), karena guru, sekolah, dan Dinas Pendidikan (disdik) di suatu daerah tidak ingin dikatakan gagal maka mereka membocorkan jawaban soal kepada para siswanya sehingga dapat lulus seratus persen. Atas perilaku yang tidak mendidik itu, para pelaku pendidikan tidak begitu terbeban dengan tanggung jawab akhirat, seolah-olah mereka mampu berargumen di hadapan Tuhan untuk dapat lepas dari tudingan sebagaimana kepiawaian mereka membuat alasan ketika hidup di dunia.
Semua bentuk penyimpangan dan kejahatan di atas merupakan bukti empiris bahwa ketidakyakinan terhadap hari akhir semakin kelihatan dalam masyarakat muslim. Jika pun banyak orang yang masih yakin terhadap itu, namun kebanyakan tidak berpengaruh terhadap perilaku sehari-hari mereka. Dengan kata lain, ada orang yang shalatnya rajin, sadakahnya luar biasa, namun gemar juga berbohon, gemar korupsi, menipu dan tindak kejahatan lainnya.
Ada kecenderungan asumsi yang di bangun oleh masyarakat muslim saat ini persis seperti asumsi yang di bangun oleh masyarakat tradisional Arab dan itu sangat berbahaya, yakni anggapan bahwa keyakinan terhadap doktrin eskatologi dianggap sebagai upaya pelarian dari ketidakmampuan menghadapi persaingan hidup. Ajaran ini hanya pantas bagi kelompok yang secara ekonomi menempati posisi menengah ke bawah.
Akibatnya, banyak perilaku-perilaku yang tidak mencerminkan nilai-nilai humanisme, keadilan tercerabut dari akarnya, terjadinya banyak penyimpangan sosial disebabkan pembebanan tanggung jawab individu di hari kemudian semakin menipis dalam batin mereka dan terkadang terlalu merasa yakin bahwa Tuhan maha pengampun atas semua salah dan dosa.
Penguatan Eskatologi di Dunia Pendidikan
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa doktrin eskatologis pada hakikatnya bertujuan membangun kesadaran akan tanggung jawab individu. Dengan adanya doktrin ini idealnya manusia dapat mengendalikan diri dengan baik dari larangan Tuhan. Dengan demikian moral manusia akan terbagun dalam kehidupan masyarakat muslim dengan indikator; minimnya kejahatan dan penyimpangan sosial karena kebanyakan telah menyadari mana yang boleh dan mana yang tidak.
Dari aspek edukatif, pertama, penulis melihat bahwa doktrin eskatologis ini merupakan doktrin pembentukan moral yang sangat efektif. Artinya doktrin eskatologis dapat digunakan sebagai selah satu pendekatan pendidikan perilaku dan pendidikan karakter. Untuk itu, harus ada upaya penguatan doktrin ini, baik di lembaga pendidikan formal dan terlebih lagi dalam keluarga.
Adapun yang kedua, bahwa dalam lingkup pendidikan, doktrin eskatologis merupakan cerminan metode pendidikan yang sangat ideal di mana setiap perilaku manusia atas manusia lain harus mendapat evaluasi, ganjaran dan hukuman sehingga menempatkan manusia pada posisi keadilan yang proporsional. Reward dan punishment menjadi sebuah keniscayaan dalam rangka membentuk moral manusiawi yang kokoh.
Dalam hal ini, kelihatannya pemerintah harus meninjau kembali pemberlakuan Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang perlindungan anak, sebab sering kali ketika guru diproses hukum karena dianggap melakukan kekerasan, ternyata banyak Ā ditemukan kejanggalan dan tidak membuat dunia pendidikan menjadi lebih baik. Salanjutnya mari kita berdialog dengan alqurāan dan bertanya kepadanya; bagaimana cara mendidik anak yang baik, bolehkah menghukum dan bagaimana bentuknya, dan apa ciri bahwa hukuman itu adalah tindak kekerasan. Hal ini dapat kita lacak melalui pemahaman terhadap ayat-ayat eskatologi.
Kelihatannya, para pembela Hak Asasi Manusia (HAM), guru, orang tua, pakar pendidikan, dan siapapun harus merenungi kembali makna pendidikan demokratis dan humanis. Pertanyaannya, apakah ketika Tuhan menghukum seorang hamba dapat diklaim tidak demokratis dan berbuat seenaknya?. Lalu renungkan kembali kenapa ada ganjaran dan hukuman?. Bukankah itu semua adalah untuk membangun sistem kemanusiaan yang ideal danĀ mampu menjalakan tugas kekhalifahannya dengan baik. Kita juga harus menyadari bahwa tidak ada larangan kecuali Tuhan menginginkan agar manusia tidak mendapat mudarat. Sebaliknya, tidak ada perintah kecuali Tuhan menginginkan manusia memperoleh manfaat. Inilah yang ditekankan dalam eskatologi Islam sekaligus membedakannya dengan agama-agama lain.
Adapun yang terakhir, bahwa doktrin eskatologis mengajarkan kepada manusia untuk benar-benar menyadari akibat dari sebuah perbuat, dampak yang ditimbulkan; baik secara individu dan kolektif. Maka untuk itu melalui pengembangan pendidikan karekter dalam membangun generasi bangsa yang bermoral, doktrin eskatologi kelihatannya menjadi penting untuk dikembangan secara lebih implementatif di lembaga-lembaga pendidikan. Akhirnya, mari kita renungkan salah satu firman-Nya; pada hari itu akan diperlihatkan semua rahasia (QS. Ath-thariq: 9).
*Penulis adalah Mahasiswa PPs IAIN Banda Aceh