Jakarta | Lintas Gayo – Perubahan nama Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) harus diikuti juga dengan perubahan Rencana Strategis (Renstra) Pendidikan Nasional 2010-2014 yang selama ini menjadi pedoman penyelenggaraan kebijakan pendidikan. Demikian ditegaskan salah seorang anggota DPR-RI asal Aceh Daerah Pemilihan Nad 2, H Raihan Iskandar, Lc, MM dalam rilisnya yang diterima Lintas Gayo, Kamis (20/10/2011) pagi.
Menurut Raihan Iskandar, perubahan Renstra tersebut perlu dilakukan diperkuat dengan alasan Kemdikbud memiliki wakil menteri yang secara khusus mengurusi soal kebudayaan.
“Dimasukkannya kebudayaan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan, telah membuat Renstra tersebut menjadi kurang relevan lagi, karena hanya bicara soal desain pendidikan nasional dan pencapaian berupa angka-angka kuantitatif, seperti pencapaian Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM), serta kelulusan 100% pada UN. Oleh karena itu, Renstra tersebut harus segera dievaluasi secara menyeluruh,” papar politis PKS ini.
Dia menegaskan kembali agar pemerintah harus membuat Renstra yang memasukkan pendidikan karakter bangsa, karena tidak bisa dipisahkan dari strategi pembangunan kebudayaan nasional. Apalagi, pendidikan karakter bangsa sudah menjadi amanat UU Sisdiknas. Dalam pasal 3 UU Sisdiknas tahun 2003 dinyatakan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Selain itu menurut Raihan, Evaluasi Renstra juga diperlukan untuk mencermati berbagai kebijakan yang selama ini justru bertentangan dengan tujuan dan fungsi pendidikan itu sendiri. Pemerintah harus berani mengoreksi kebijakan yang selama ini justru bertentangan dengan Konstitusi dan UU Sisdiknas Tahun 2003 dan menghambat pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Raihan mencontohkan kebijakan UN yang nyata-nyata mengakibatkan kerusakan moral dan menghambat penuntasan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. Padahal, wajib belajar telah menjadi amanat konstitusi, yaitu pasal 31 ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Sementara, di pihak lain, kebijakan UN yang diatur dalam PP 19 Tahun 2005 justru berdampak terhambatnya warga Negara untuk menempuh pendidikan dasar. Terlebih lagi, UN yang hanya mengukur aspek kognitif, tidak sesuai dengan esensi penyelenggaraan pendidikan dasar, yaitu pembentukan karakter dan penanaman nilai-nilai moral.
Di samping itu, pemerintah harus berani juga mengoreksi kebijakan yang bersifat diskriminatif, seperti program RSBI yang nyata-nyata menghambat akses warga Negara yang tidak mampu secara ekonomi untuk menikmati pendidikan bermutu. Hal ini jelas bertentangan dengan pasal 4 ayat (1) UU Sisdiknas yang menyatakan bahwa Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. (*)