Kewarisan : Problema Pengetahuan Hukum Masyarakat

Oleh Drs. Jamhuri, MA[*]

Secara khusus dan tegas Al-Qur’an menerangkan tentang siapa-siapa yang berhak menerima warisan, tidak lupa juga Al-Qur’an menyebutkan bagian-bagian yang harus diterima, dengan harapan tidak ada lagi orang yang tidak mendapat harta warisan sepanjang ia termasuk kepada kerabat mereka yang telah meninggal, diantara mereka yang menerima warisan disebutkan dalam surat an-nisa’ ayat 11 dan 12 adalah anak-anak laki-laki dan/atau perempuan, ibu-bapak, suami-iseteri dan sandara laki-laki atau saudara perempuan seibu.

Al-Qur’an menyebutkan bahwa harta warisan yang ditinggalkan pewaris merupakan hak bagi ahli waris, karena itu tidak ada alasan untuk tidak memberikan harta warisan kepada salah seorang ahli waris. Agama juga menyebutkan secara jelas mereka yang tidak dibenarkan untuk menerima harta warisan, mereka tersebut adalah anak yang berbeda agama dengan orang tuanya dan anak-anak yang membunuh orang tuanya,  dengan dasar hadis Nabi.  “Tidak saling mewarisi antara muslim dengan non muslim” dan “Tidak mendapat warisan ahli waris yang membunuh pewaris”

Dalam hadis lain juga disebutkan bahwa ilmu tentang faraidh (kewarisan) merupakan ilmu yang pertama di hilangkan Tuhan dari duania ini.

Ketika sedang duduk istirahat setelah menyampaikan makalah tentang penyuluhan Qanun syari’at Islam di Aceh Selatan (Kec. Sawang), seorang Geucik menemui salah seorang hakim yang menjadi pemakalah, beliau menjelaskan kasus yang terjadi di salah satu Kampung yang berada di bawah pemerintahannya. Ada tanah keluarga yang menurut penuturannya telah lama di jual oleh pewaris (harta itu juga di dapat dari warisan) kepada orang lain dengan tidak mempunyai alat bukti surat jual beli, digugat kembali oleh anak kandung pewaris.

Alasan tidak adanya surat sebagai bukti transansi jual beli dengan alasan, di dalam masyarakat pada awalnya tidak ada surat (bukti tertulis) dalam semua jual beli, namun berlaku dan sahnya jual beli tersebut biasanya menggunakan saksi dan untuk kasus yang tersebut di atas masih ada beberapa orang saksi yang masih hidup.

Ahli waris yang menggugat harta tersebut, menurut penuturan Geucik sudah lama (+ 20 tahun) tidak berada di kampung tersebut. Karena itu boleh jadi ahli waris ini tidak mengetahui harta orang tuanya telah dijual, sehingga ia menggugat kepada pemegang tanah yang menurut pengakuan saksi telah dibeli.

Kasus warisan ini telah diupayakan penyelesaiannya di tingkat Kampung, namun menemukan jalan buntu. Jalan buntu ini disebabkan karena ahli waris (penggugat) telah mengikutsertakan penegak hukum (polisi) dalam kasus ini, penyebab yang lainnya adalah karena adanya indikasi kepentingan dari penggugat terhadap kepemilikan tanah tersebut, karena harga tanah pada saat sekarang ini sudah mahal.

Sebagai Kepala Kampung, Geucik tersebut merasa bertanggung jawab terhadap penyelesaian kasus tersebut, disisi lain Geucik merasa takut dengan keikutsertaan polisi dalam penyelesaian kasus tersebut.

Setelah menceritakan permasalahan tersebut kepada salah seorang Hakim Mahkamah Syar’iyah dengan penuh harapan dapat diselesaikan dan kebetulan kami ikut duduk bersama, pak hakim menjawab secara kelembagaan tidak boleh menyelesaikan kasus di luar lembaga Mahkamah. Karena itu kasus seperti yang dialami mesti di bawa Kemahkamah Syar’iyah.

Mencermati kasus tersebut, sebenarnya hal seperti itu atau mirip dengan kasus tersebut sangat banyak terjadi dalam masyarakat. Permasalahan yang mendasar dalam kasus tersebut dan kasus-kasus yang lain, dimana masyarakat terlalu cepat membawa kasus tersebut kepada polisi, sedang masalah tersebut adalah masalah perdata yang seharusnya dapat diselesaikan dengan cara perdata. Namun ketika masalah tersebut dibawa kepada aparat keamananan, sebagian masyarakat merasa takut untuk melibatkan diri dalam kasus tersebut. Sebagai contoh saksi-saksi yang seharusnya merasa nyaman memberikan kesaksiannya menjadi takut bahkan enggan memberikan kesaksian. Pihak yang melibatkan keamanan dalam kasus tersebut merasa diri menjadi kuat dan ada bekingan, yang seharusnya sikap itu tidak diperlukan dalam mencari keadilan hukum dalam kewarisan.

Pihak keamanan juga ketika masyarakat meminta bantuan sangat cepat merespon, sehingga terkadang melibatkan diri pada hal-hal yang seharusnya bukan menjadi tugasnya. Sebagai contoh dalam kasus di atas, seharusnya polisi mengatakan bahwa itu bukan kewenangannya, dan sebaiknya diselesaikan secara kekeluargaan, karena memang kasus tersebut adalah masalah kekeluargaan.

Penegan hukum, seperti halnya hakim juga tidak dapat memisahkan antara dirinya sebagai seorang penegak hukum di Mahkamah dengan dirinya sebagai anggota masyarakat, yang seharusnya tidak perlu menyarankan secara cepat membawa kasus tersebut ke Mahkamah. Namun hendaknya member solusi dan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Geucik Kampung dalam menyelesaikan kasus-kasus di tingkat Kampung, dan itulah sebenarnya yang menjadi tujuan dari mediasi yang diatur dengan Perma nomor 1 Tahun 2008 tentang Mediasi.

Agama memerintahkan kepada setiap orang, hendaknya segera setelah meninggalnya seseorang untuk menyelesaikan pembagian harta warisan, perintah ini jarang dipatuhi  dilakukan masyarakat, karena berbagai pertimbangan. Boleh jadi karena ahli waris yang saling berjauhan, karena sayangnya kepada yang meninggal sehingga merasa bersalah ketika hendak menyegerakan pembagian warisan atau juga karena pertimbangan masih adanya beban yang harus ditanggung. Seperti adanya anak yang masih dalam pendidikan atau juga alasan lain.

Sebenarnya kuatnya perintah agama dan ditambah dengan prinsif yang ada dalam pembagian harta warisan yaitu kasih sayang, maka percepatan pembagian warisan lebih tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Perasaan sedih dengan meninggalnya pewaris memunculkan kesabaran yang tinggi dikalangan penerima warisan, tolak-tarik kepentingan pada saat seperti ini biasa tidak terjadi, sehingga tujuan dari pembagian warisan yaitu rasa keadilan yang dilandasi kasih sayang akan tercapai dengan sempurna.

Ketika perselisihan terjadi diantara ahli waris, maka upaya penyelesaian di tingkat keluarga sangat baik dan lebih utama. Namun ketika mendapat kesulitan untuk menghasilkan kesepakatan, maka tidak salah memberi peran untuk melibatkan orang yang tidak berkepentingan terhadap harta tersebut, baik dari kalangan ahli waris ataupun orang selain dari ahli waris.

Tidak ada peraturan yang menunjuki bahwa perselisihan tentang harta warisan dibawa ke pihak keamanan, baik polisi atau pihak keamanan lain, karena prinsif dasar dari warisan adalah hak dan kasih sayang yang pada akhirnya menghasilkan rasa keadilan yang dilandasi kasih sayang.

Kendati aturan tentang jumlah harta yang didapat secara jelas disebutkan dalam Al-Qur’an, namun dengan prinsif yang telah disebutkan maka tidaklah mengharuskan pengamalan jumlah seperti tersurat. dan pengamalan seperti tersurat dalam nash akan diamalkan apabila kasih sayang secara adat dan budaya tidak bisa dicapai.

Berhubungan dengan warisan dalam aturan hukum Indonesia, Peradilan Negeri dan Peradilan Agama (Mahkamah Syar’iyah) memiliki kompetensi dalam menyelesaikan kasus kewarisan, karena itu kecerdasan memilih jenis pengadilan diperlukan, dan kebanyakan kita yang beragama Islam diselesaikan di Mahkamah Syar’iyah.

Keyakinan terhadap kebenaran putusan Mahkamah terhadap perselisihan yang terjadi sangat diperlukan, karena banyak sekali kasus-kasus kewarisan yang ada dalam masyarakat berakhir dengan putusnya hubungan kekeluargaan para pihak.



[*] Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.