Berkurban Tanpa Hewan Kurban

Oleh: Johansyah*


Dengan penuh suka cita, kini umat Islam kembali berjumpa dengan hari raya Idul Adha, sebuah momentum untuk memperkokoh hubungan dengan Allah dan mempererat kemerekatan sosial. Perintah berkurban merupakan anjuran bagi umat Islam yang tergolong mampu sebagai  manivestasi dari rasa sukur kepada Allah atas anugerah-Nya yang begitu banyak pada kita (QS [108] al-Kautsar: 1).

Pada ayat 2, surat al-kautsar ditegaskan bahwa “Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (wanhar)”. Di antara tafsiran ayat ini adalah bahwa berkurbanlah pada hari raya Idul Adha”. Tafsir ini diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu  ‘Abbas, juga menjadi pendapat ‘Atha’, Mujahid dan jumhur ulama (Ibnu Jauzi: 195). Penyembelihan kurban ketika hari raya Idul Adha disebut dengan udhhiyah, sesuai dengan waktu pelaksanaan ibadah tersebut. Sehingga makna udhhiyyah menurut istilah syar’i adalah hewan yang disembelih dalam rangka mendekatkan diri pada-Nya, dilaksanakan pada hari Idul Adha dengan syarat-syarat tertentu.

Sekiranya ditelisik lebih jauh, maka esensi dari perintah kurban  bukanlah sekedar untuk mereka yang mampu dan bukan saja dilakukan pada hari yang telah disyari’atkan. Terma al-kautsar (nikmat yang banyak) tentunya dapat dipahami secara luas, yakni nikmat-Nya yang bukan saja dalam wujud materi, lebih dari itu, kesehatan, kesempurnaan fisik, kemampuan berpikir, dan lain-lainnya merupakan nikmat. Ketika semua nikmat tersebut diorganisir dengan baik dan disertai niat karena Allah, maka sesungguhnya seseorang telah melakukan kurban. Ini artinya, setiap usaha untuk mendekatkan diri kepada-Nya merupakan bagian dari upaya berkurban yang dilakukan seseorang.

Dalam makna yang lebih luas, wujud berkurban pun tidak hanya terpaku kepada hewan sembelihan yang telah ditentukan hari pelaksanaannya, melainkan berkurban dapat saja diwujudkan dalam bentuk lain yang tidak terikat dengan materi dan kekayaan seseorang.  Hal ini tentu cukup beralasan karena inti dari kurban bukanlah daging dan darahnya, melainkan yang diharapakan adalah ketakwaan, keikhlasan, dan ketulusan seseorang dalam melaksanakan perintah-Nya (QS [22] al-Hajj: 77).

Dari dimensi individual-vertikal, substansi kurban itu sendiri adalah ketakwaan seseorang, ajang pembuktian totalitas penghambaan kepada-Nya. Sementara dari dimensi sosial-horizontal substansi kurban adalah ukhuwah islamiah dan kepedulian terhadap sesama dalam rangka memperkokoh kemerekatan sosial umat dan menepis kastanisasi yang ada dalam masyarakat.

Jika dengan tujuan mulia untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan menjalin kemerekatan sosial, mengapa harus kita batasi diri untuk melakukan kurban pada Idul Adha yang hanya dilaksanakan setahun sekali dan hanya bagi mereka yang mampu. Apabila kita mau, bukankan semuanya bisa berkurban dalam wujud yang lain tanpa terikat materi dan waktu tertentu. Seseorang bisa saja menyumbangkan tenaga untuk menolong orang lain, memberikan sumbangan pemikiran dalam mencari solusi bagi masalah orang lain, dan amal-amal kebaikan lainnya yang dilakukan seseorang dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya. Syaratnya hanya satu, yaitu niat karena Allah. Hal ini tentu sesuai dengan ikrar kita pada setiap kali mendirikan shalat; “sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan mati ini hanya untuk-Nya “(QS [6] al-An’am: 162).

Dengan demikian, seseorang dapat saja mendekatkan diri kepada-Nya sesuai dengan profesinya. Seorang guru yang mengajar dengan niat tulus, tukang parkir yang jujur menertibkan barisan kendaraan, pedagang yang tidak mengurangi takaran, tukang sapu jalan yang tiap pagi membersihkan jalan raya walau dengan gaji kecil, pembantu yang selalu membereskan pekerjaan rumah tangga majikannya dengan penuh kelapangan, dan semua bentuk kerja profesi seseorang bisa saja terhitung ibadah dan bagian dari usaha berkurban jika niatnya karena lillah.

Menyembelih hewan kurban pada hari raya Idul Adha hanyalah satu di antara sarana yang dipergunakan untuk mendekatkan diri kepada-Nya sesuai dengan regulasi-regulasi syari’at. Sesungguhnya amat banyak jalan menuju kepada-Nya. Dengan model pendekatan pemahaman perintah berkurban semacam ini, maka fleksibelitas perintah alqur’an semakin kelihatan dan umat tidak akan terkungkung dengan paradigma perintah kurban yang dipahami selama ini; bahwa berkurban hanya dapat dilakukan oleh orang yang mampu. Dengan berangkat dari subtansi perintah kurban, maka hemat penulis sebenarnya tidak ada batasan bagi seorang muslim apabila dia ingin berkurban.

Kurban dalam makna yang lebih luas mengisyarakan kepada kita bahwa dalam keterbatasan pun seseorang dapat berkurban demi mencapai keridhaan-Nya. Seseorang mungkin tidak memiliki kelebihan harta sehingga ia tidak dapat melaksanakan perintah berkurban ini. Namun dengan kelebihan lainnya mungkin seseorang bisa saja  menyumbangkan bantuan tenaga, pikiran, pekerjaan yang pada intinya dapat meringankan beban orang-orang di sekitar kita.

Alqur’an dengan tegas mengatakan bahwa sekecil biji sawipun amalan manusia pasti akan dicatat dan mendapat balasannya (QS [99] al-zalzalah: 7). Sebagian orang mungkin menganggap enteng dengan kebaikan yang dipandang nilainya kecil, misalnya mengambil duri di jalan. Padahal mereka tidak menyadari bahwa kebaikan-kebaikan kecil itu akan terakumulasi menjadi kebaikan yang sangat besar.

Saat ini, betapa banyak orang yang enggan berkurban, membantu dan peduli dengan saudara mereka yang lemah. Banyak dari orang yang mampu, bukan berpikir untuk membantu yang lemah, akan tetapi memanfaatkan mereka untuk lebih memperkaya diri. Banyak jabatan, proposal, bantuan yang mengatasnamakan rakyat, namun sayang sebagian besar tertahan dikantong pribadi sedangkan yang sampai kepada masyarakat hanyalah sisa-sisa, itupun untuk kepentingan laporan pertanggungjawaban.

Kondisi ekonomi negeri ini yang labil, di mana si kaya pun terus melaju dan si miskin terus terbelenggu karena harga barang yang terus naik, di sisi lain pemerintahan kita sepertinya mengarah ke oligarki dan kleptokrasi yang menyebabkan korupsi semakin subur; Semua itu merupakan indikator bahwa betapa sedikitnya manusia-manusia Indonesia (khususnya umat Islam) yang tidak lagi memaknai dan mengejawantahkan spirit dari perintah kurban dalam kehidupan mereka.

Akhirnya, pada Idul kurban kali ini kita berharap semakin banyak orang-orang yang mewarisi semangat nabi Ibrahim As yang rela mengerjakan apapun untuk-Nya, walaupun harus mengorbankan anak yang paling dicintainya. Semangat semacam ini pula diharapkan menjadi salah satu solusi atas berbagai masalah bangsa ini. Bagi yang belum bisa berkurban di hari raya, maka lakukanlan kebaikan sekecil apapupun, barangkali inilah cara kurban (pendekatan diri) yang dapat kita lakukan sebelum mampu menyembelih hewan kurban sebagaimana disyari’atkan. Yang terpenting niat. Wallahu a’lam bishawab. (03)

 —-

*Penulis adalah Ketua Jurusan Tarbiyah STAI Gajah Putih Takengon

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.