Ponok Baru | Lintas Gayo – Harga sayur-mayur asal dataran tinggi Gayo sangat dipengaruhi masa panen sayur-mayur di Brastagi Sumatera Utara, demikian dinyatakan salah seorang pedagang pengumpul sayur mayur di Ponok Baru kabupaten Bener Meriah, Venta kepada Lintas Gayo, Kamis (17/11) sore.
“Saat ini di Brastagi sedang mulai panen sayur-mayur dan berakibat agak turunnya harga disini,” ujar Venta, wanita asal Beureunuen yang sudah 12 tahun berdomisili di Bener Meriah ini.
Adapun harga sayur-mayur yang dia beli dari petani dirincikan perkilogramnya untuk Kol Rp1000 dijual Rp1200, Kol Bunga Rp.4000 dijual Rp4800, Wartel Rp.4000 dijual Rp4500, dan Bawang Pre Rp9000 dijual 9500. Sementara untuk Kentang menurut pedagang pengumpul lainnya dihargai Rp3500 dari petani.
Pengakuan Venta, dia mengirim barang dagangannya hanya Bireuen, Matang dan Sigli dan perharinya rata-rata untuk Kol sekitar 2,5 ton, Kol Bunga 300 kilogram, Wartel 600 kilogram dan Bawang Pre sekitar 200 kilogram.
Sementara untuk kualitas sayur asal Gayo dibanding Brastagi, menurut Venta, pada dasarnya lebih bagus dari Gayo, khususnya Bener Meriah. Namun akhir-akhir ini kualitas tersebut menurun. Dia mengaku tidak tau apa sebab penurunan kualitas sayur-mayur tersebut.
Pemerintah Diminta Awasi Bibit
Terkait kurangnya daya saing kualitas hasil tani petani Bener Meriah, menurut keterangan salah seorang petani yang dijumpai Lintas Gayo ditempat tersebut saat sedang menjual hasil pertaniannya, Adi asal Nosar Baru diduga disebabkan kualitas bibit yang dijual dipasaran sangat rendah.
“Semua proses mulai dari olah tanah, pemupukan, pencegahan penyakit, hingga cara panen sudah kami lalui seperti tahun-tahun sebelumnya, namun kualitas dan kuantitas hasil jerih payah kami makin turun,” kata Adi bernada mengeluh.
Dia menduga, penyebabnya adalah kualitas bibit yang mereka beli dari pedagang bibit. “Biasanya satu pate (bungkus-red) bibit Kol bisa menghasilkan satu ton Kol, namun akhir-akhir ini cenderung makin turun,” keluh Adi diamini sejumlah petani lainnya.
Adi dan rekan-rekannya menduga kualitas bibit yang dijual sudah rusak sehingga daya tumbuhnya sangat rendah bahkan kurang 50 persen.
Solusinya, para petani tersebut sangat berharap ada pengawasan bibit oleh pihak pemerintah yang terkait. “Kalaupun tidak pernah memberi penyuluhan tata cara bertani yang baik kepada kami, ya awasi saja bibit yang dijual dipasaran jangan sampai merugikan kami masyarakat yang bergantung hidup dari pertanian ini,” pungkas Adi bernada agak geram. (Windjanur)