Oleh Johansyah*
Sungguh luas ciptaan Tuhan yang membentang di alam raya ini dengan segala isinya, belum lagi planet-planet ruang angkasa yang sedemikian banyak. Semua itu merupakan objek bacaan maha luas bagi manusia untuk mengidentifitkasi kebesaran-Nya. Umur seseorang tidak akan pernah cukup menguak tabir dan rahasia yang masih tersimpan dalam berbagai ciptaan-Nya. Karena Tuhan sendiri mengatakan; sekiranya lautan dijadikan tinta, ranting-ranting pohon sebagai penanya, maka itu semua belumlah cukup untuk mencatat ilmu-ilmu Tuhan (QS. al-Kahfi: 109).
Namun jika manusia mau, objek bacaan senantiasa hadir dalam setiap ruang waktu dan setiap detik nafasnya; memberikan pengatahuan dan pemahaman tentang sesuatu yang terkadang dianggap tidak berharga. Belajar itu sendiri bukanlah sekedar dari buku, dari sekolah yang diajarkan guru, dari keluarga yang diajarkan orang tua, atau dari lingkungan yang mewariskan budaya, maupun dari agama yang memperkenalkan Tuhan dan konsep-konsep kebenaran, melainkan belajar dapat diperoleh dari berbagai peristiwa yang kita lihat, dengar,dirasakan, atau dialami sendiri.
Semua yang dilihat, didengar, dirasakan, maupun yang dialami manusia akan menjadi sumber informasi yang memenuhi ruang pikiran manusia. Bahkan itu semua akan menjadi unsur-unsur bangunan kemanusiaan seseorang, menjadi pengetahuan, sikap, sifat, dan karakter seseorang setelah mengikuti evaluasi yang dilakukan oleh hati (ruh) manusia itu sendiri, selanjutnya akan terwujud dalam percikan perkataan dan perbuatan. Kualitas evaluasi batin itu sendiri sangat ditentukan oleh relasi kita dengan Tuhan.
Hewan dan binatang yang beragam jenisnya, flora dan pauna di dasar lautan yang unit-bahkan mengerikan, merupakan objek bacaan yang maha penting untuk dijadikan pelajaran. Apa yang dapat kita jadikan pelajaran dari semut, laba-laba, lebah, monyet, anjing dan hewan-hewan lainnya?. Tentu saja itu semua tidak akan teridentifikasi selama kita tidak melibatkan akal pikiran untuk mencerna dan hati untuk mempertimbangkannya.
Bahkan dari orang jahat sekalipun kita dapat mengambil pelajaran. Belajar dari orang jahat tentu bukan meniru perbuatannya, melainkan menyadari bahwa perbuatannya salah, menyimpang dan di luar koridor hukum, lalu kita tidak mengikutinya. Makanya al-Qur’an banyak memuat kisah-kisat penjahat dan penentang Tuhan-sekaligus mengangkat dirinya Tuhan, seumpama kisah Fir’aun dan Namruj. al-Qur’an juga membentangkan kisah si Karun yang sombong, tidak mau mengakui bahwa harta yang diperolehnya berasal dari Tuhan Sang Pemberi rezeki.
Menariknya, setelah al-Qur’an menceritakan kejahatan, kekafiran orang-orang dahulu maka al-Qur’an juga tidak lupa menguak akibat dari perbuatan seseorang atau sebuah kaum. Bagaimana diceritakan kaum nabi Nuh As yang ditenggelamkan Tuhan karena tidak mau beriman, cerita kaum nabi Luth yang diturunkan penyakit oleh Tuhan karena melakukan homoseksual, Fir’aun yang ditenggelamkan di laut merah ketika mengejar nabi Musa As, pasukan Gajah tentara Abrahah diserang burung Ababil hingga luluh lantak, dan serangkaian cerita lainnya yang pada intinya menegaskan ‘siapa yang melawan hukum Tuhan, kafir, dan berbuat seenaknya maka suatu saat dia akan hancur’. Ini bukan ancaman tetapi bukti sangat nyata.
Kini, dalam keterbatasan pengembaraannya, seseorang bisa menjelajahi dunia dengan media teknologi yang canggih (saat ini) yaitu internet. Berbagai bentuk informasi dapat kita peroleh di sana. Maka semakin luaslah objek bacaan kita terhadap berbagai fenomena, peristiwa di berbagai belahan dunia. Sayangnya user (pengguna) internet di Indonesia, terutama para remaja dan mahasiswa masih cenderung menggunakannya untuk memainkan game, poker dan program-program aplikasi yang sifatnya nyantai.
Bacalah Dengan Nama Tuhanmu
Dalam al-Qur’an, setiap bacaan manusia harus disertai dengan nama Tuhan. Artinya setiap ilmu yang dicari dan diperoleh manusia pada dasarnya berasal dari Tuhan yang Maha Mengetahui. Selanjutnya pelibatan Tuhan dalam segala objek bacaan akan memungkinkan orang untuk membalut pengetahuannya dengan basis moral dan mempergunakannya untuk hal-hal yang positif dan bermanfaat bagi diri dan orang lain.
Membaca yang diekspektasikan al-Qur’an tentunya memiliki makna luas. Kata iqra’ dalam (QS. al-alaq: 1) meliputi multi makna; menela’ah, memperhatikan, mempertimbangkan, meneliti, menganalisa, sampai mengevaluasi. Artinya setiap yang dilihat, didengar, dan dialami manusia harus ditelaah sedemikian rupa, mendialogkannya dengan pikiran, dan mengevaluasinya dengan hati.
Ketika semuanya dihubungkan dengan nama Tuhan, akhirnya ada sebuah pengakuan sebagai kesimpulan ulul albab seperti yang digambarkan dalam al-Qur’an (QS. ali Imran: 190-191), bahwa semua ciptaan Tuhan rupanya tidak ada yang sia-sia. Tuhan tidak semata-mata memaksa manusia untuk mengakui kebesaran-Nya melalui berbagai temuan dan pengetahuan manusia. Namun lambat laun pengakuan itu akan terpancar dari diri seseorang ketika dia menemukan sesuatu yang tidak terduga sebelumnya atau dia tidak mampu menampilkan sesuatu yang bersifat transendental.
Dari itu, hemat penulis bahwa untuk mengenal dan mencintai Tuhan maka seseorang harus banyak belajar dan terus mencari, menguak rahasia-rahasia-Nya. Setiap pengetahuan yang diperoleh akan menjadi anak-anak tangga bagi seseorang untuk menitinya menuju pada Tuhan. Untuk itulah, dalam al-Qur’an ada formula zikir dan pikir yang teritegrasi dalam pribadi ulul albab. Yaitu mereka yang terus mengingat Tuhan dalam setiap detik nafasnya, ketika berdiri, duduk, dan tidur. Mereka yang selalu berpikir tentang ciptaan Tuhan, berdialog dengan buku, belajar dari alam sekitar, berdiskusi dengan batin, sehingga menyimpulkan semua itu adalah tanda-tanda kebesaran-Nya.
Dengan diperankannya manusia sebagai pengelola jagad raya ini (khalifah) maka Tuhanpun selalu menuntut manusia untuk belajar agar memiliki pengetahuan, agar manusia dapat memanfaatkan ciptaan Tuhan dan agar manusia mengetahui hakikat untuk apa manusia diciptakan. Pengabdian manusia akan mendekati kesempurnaan manakala dia terus belajar dan menghubungkan setiap pengetahuannya dengan kebesaran Tuhan.
Tuhan akan mengangkat status kemanusiaan seseorang hanya dengan dua hal pokok yaitu ilmu dan iman yang berbuah amal saleh. Nabi Saw juga mendorong umat ini untuk mencari dan mencintai ilmu. Ilmu dipergunakan untuk mengelola bumi ini, sementara iman digunakan untuk remot kontrol atas ilmu yang diperoleh manusia agar tidak disalahgunakan dan agar manusia mengenal dirinya dan Tuhan.
—-
*Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor PPs IAIN Banda Aceh.