Oleh : Safutra Rantona
Kita masih ingat dengan sosok yang dijuluki Da’i Seribu Umat, yang menghembuskan nafasnya tepatnya 5 juli 2011 lalu. Beliau terkenal dengan ceramahnya yang begitu tajam mengkritik siapa pun itu dan berani mengunkapkan kebenaran. Dan kebenaran ini juga pernah dikatakan oleh Mahfud MD Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yaitu jangan pernah sekali-kali melawan arus kebenaran itu.
Dari pernyataan alm KH. Zainuddin bahwa melakukan pekerjaan itu harus sesuai dengan ahlinya. Dicontohkan ada 3 orang Insinyur dan 3 orang Ulama. Ketika permasalahan tentang wajib membaca do’a Kunut atau tidaknya hanya Ulama yang bisa menjawabnya karena itu sudah ahlinya dan pekerjaannya. Dan ketika pengerjaan jalan itu yang hanya bisa menjawab adalah para 3 insinyur itu karena itu sudah ahlinya dan pekerjaannya juga. Maka inilah yang dikatakan semangat profesionalisme.
Kita melihat di Kabupaten Aceh Tengah saat ini apakah sudah diterapkan Semangat Profesionalisme atau belum .?
Profesionalime secara bahasa : mutu, kualitas, dan tindak tanduk yg merupakan ciri suatu profesi atau orang yg professional, perusahaan kecil perlu ditingkatkan dl waktu belakangan ini (http://kamusbahasaindonesia.org)
Kurangnya Semangat Profesionalisme ini bisa-bisa merugikan masyarakat banyak, seperti rusak sarana dan prasarana, menurunnya angka pendidikan, perekonomian semakin merosot,dan masih banyak yang lain-lain juga. Contoh kecilnya seperti pembangunan jalan, pekerjaan ini langsung dilakukan oleh Dinas PU Pemkab Aceh Tengah. Tetapi masih banyak jalan-jalan yang alokasi dananya besar tetapi hasilnya kurang baik, seperti jalan Takengon-Bireuen.
Kejadian contoh kecil tersebut menjadikan semangat profesioanlisme yang melukai masyarakat banyak. Masyarakat yang seharusnya mendapatkan sarana dan prasarana yang bagus tetapi melainkan memuaskan sepihak belaka.
Berawal dari pemimpin yang kurang tegas dan lemah dalam mengambil kebijakan. Yang semua tergantung pada politik pemimpinnyal. Ini seharusnya merupakan tugas amanah masyarakat untuk memimpin daerah. Jika itu masih belum bisa mengamanahkan aspirasi masyarakat yang seharusnya jangan mencoba. Karena pemimpin Kabupaten itu bukan sebuah pembelajaran.
Kemudian Etos kerja yang katanya menjadi ciri masyarakat Indonesia, ternyata tidak sesuai dengan realitas yang ada. Namun, hal ini tidak boleh dipahami dengan sempit bahwa orang-orang di luar politikus harus menjadi apati dengan masalah politik karena akan tetap dibutuhkan orang-orang yang ahli di tiap bidang dalam menggagas kebijakan seputar bidangnya tersebut. Kupikir, sekaranglah waktunya kita hapus air mata ibu pertiwi yang sebentar lagi kering karena telah lama menangis.
Mengharapkan pemimpin yang bener bijaksana dalam mengambil kebijakan dan bertindak cepat ketika ditengah-tengah masyrakat terjadi permasalah. Mari kita tingkatkan semangat professional sebagai wadah kemajuan bersama.
——
*Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Fisip Universitas Syiah Kuala Banda Aceh