Oleh: Muhammad Syukri *)
Hari ini, 25 Nopember 2011, bapak dan ibu guru begitu bahagia merayakan hari profesinya, hari guru. Hari bagi orang-orang yang dari tangannya lahir para teknokrat, birokrat, usahawan, politisi bahkan pemimpin bangsa. Merekalah bapak dan ibu guru yang oleh Sartono (pencipta hymne Guru) diibaratkan sebagai pelita dalam kegelapan. Mereka sering mendapat pujian, terkadang juga pernah mendapat cacian.
Siapakah yang dikategorikan sebagai guru? Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen menegaskan bahwa ”Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.”
Jelas sudah, profesi guru yang diharapkan bukan hanya bertugas mengajar supaya muridnya menjadi pintar. Guru juga ditugaskan untuk mendidik muridnya menjadi anak yang berakhlak mulia, membimbing muridnya agar mereka mengerti, mengarahkan muridnya agar mereka memahami, dan melatih muridnya agar mereka menguasai. Sebab, guru adalah salah satu profesi yang tugas utamanya mewujudkan tujuan negara: Mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam amanat mencerdaskan kehidupan bangsa, tersirat bahwa setiap anak usia sekolah di Republik Indonesia harus memperoleh pendidikan yang layak. Tidak ada alasan bagi seorang guru yang sudah digaji oleh negara menolak untuk mengajar anak-anak di sebuah sekolah. Namun, disinyalir masih banyak sekolah yang belum memiliki guru sesuai bidang studinya, baik karena keterbatasan guru maupun karena pemerataannya yang belum sesuai.
Ketua PGRI, Sulistiyo kepada Suara Karya Online, Rabu (23/11) mengatakan hingga kini masih banyak daerah yang kelebihan guru dan daerah yang kekurangan guru. Padahal, guru berperan penting dalam meningkatkan mutu pendidikan. Kekurangan guru akibat distribusi yang tidak merata tidak hanya dialami daerah-daerah terpencil di luar Pulau Jawa. Kondisi itu juga terjadi di Pulau Jawa, bahkan di kabupaten/kota yang jaraknya tidak jauh dari Jakarta. Di sekitar Jakarta seperti Bogor, Banten, masih banyak yang kekurangan guru.
Apa yang dikatakan oleh Ketua PGRI, Sulistiyo, sama sekali tidak meleset bahkan sangat tepat. Awalnya, saat mendaftarkan diri sebagai guru, telah menandatangani pernyataan bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Indonesia. Terus, begitu telah diangkat sebagai guru, dengan berbagai “cara” berusaha untuk pindah ke wilayah perkotaan. Akhirnya, daerah yang sangat butuh guru itu terpaksa melepaskan bapak ibu gurunya untuk pindah ke perkotaan. Para siswa hanya bisa menatap langit melepas kepergian pahlawan tanpa tanda jasa pindah ke perkotaan.
Problem ini seperti terjebak dalam sebuah labirin yang tidak pernah diketemukan ujung pangkalnya. Berbagai “tekanan” masuk dalam proses pindahnya seorang guru yang sulit untuk ditolak. Disisi lain, menyukseskan tujuan negara untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa,” harus tetap terselenggara. Seperti berada diantara dua bara, maka pilihannya hanya satu, melahirkan sebuah program yang bernama: Guru Lintas Sekolah (GLS).
Filosofi program Guru Lintas Sekolah sangat sederhana, yaitu menugaskan guru bidang studi tertentu untuk mengajar di sebuah sekolah yang belum memiliki guru bidang studi tersebut. Dengan penugasan guru bidang studi tertentu itu pasti dapat mengatasi kekurangan tenaga pengajar di sebuah sekolah, sehingga kekhawatiran terhadap rendahnya capaian kurikulum dapat diatasi.
Bagaimana dengan sekolah tempat asal guru itu bertugas? Guru yang masuk dalam program Guru Lintas Sekolah ini tetap menjadi tenaga pengajar disekolahnya, hanya jam mengajarnya yang diatur supaya dia bisa mengajar di sekolah yang kekurangan guru tadi. Untuk mengatur penugasan guru yang tugasnya utamanya di satuan pendidikan tertentu, sepenuhnya harus diambil alih oleh dinas pendidikan setempat selaku administrator pendidikan di wilayah tersebut.
Dinas pendidikan menerbitkan surat perintah tugas kepada guru yang masuk dalam program Guru Lintas Sekolah untuk bertugas ke sekolah yang kekurangan guru. Dengan terbitnya surat perintah tugas, tentu saja si guru berhak memperoleh uang jalan (lumpsum) dalam daerah yang besarnya sesuai dengan standar yang berlaku di daerah tersebut. Rasanya, jarang guru yang menolak mengajar di daerah terpencil sekalipun, kalaupun harus menginap, jika dibekali dengan uang jalan yang memadai ditambah honorarium mengajar di luar sekolahnya. Dalam posisi seperti ini, kekurangan guru atau ketidakmerataan guru di daerah-daerah seperti disinyalir Ketua PGRI, Sulistiyo, dapat diatasi dengan cepat.
Dengan demikian, tujuan negara mencerdaskan kehidupan bangsa tetap dapat terlaksana diantara ketidakmerataan tenaga guru. Pada akhirnya, guru tetap menjadi pelita dalam kegelapan. Begitu juga anak-anak usia sekolah di daerah-daerah terpencil dapat memperoleh pendidikan yang layak sebagaimana saudara-saudaranya di perkotaan. Selamat hari guru, anda bukan pahlawan tanpa tanda jasa, selengkapnya dapat dibaca di link:
http://edukasi.kompasiana.com/2011/10/25/guru-bukan-pahlawan-tanpa-tanda-jasa/
—-
*) Penulis alumni Institut Ilmu Pemerintahan Jakarta (1990) dan Program Pasca Sarjana IKIP Jakarta (1996) tinggal di Takengon