Jakarta | Lintas Gayo – Masih adanya kesenjangan pendapatan, tunjangan, dan fasilitas yang diterima oleh guru tidak tetap (honorer), menunjukkan bahwa Pemerintah berlaku diskriminatif. Perlakuan diskriminatif itu muncul seiring adanya pengelompokkan status guru, demikian penilaian H raihan Iskandar, Lc,MM, anggota Komisi X FPKS DPR-RI dalam rilisnya yang diterima Lintas Gayo, Jum’at (25/11).
Dijelaskan Raihan, berdasarkan data yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Kemdiknas tahun 2010 (Sekarang Kemdikbud), Pemerintah menggolongkan guru menjadi beberapa kelompok, yaitu Guru PNS, PNS Depag, PNSDPK, Guru Bantu, Guru Honor Daerah, Guru Tetap Yayasan, dan Guru Tidak Tetap. Penggolongan inilah yang berakibat pada perbedaan pendapatan, tunjangan, dan fasilitas yang mereka terima.
Kesenjangan pendapatan itu misalnya, terlihat dari penghasilan yang diterima oleh guru PNS yang bisa mencapai Rp6 juta setiap bulan. Pendapatan ini terdiri dari gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, dan tunjangan fungsional, serta maslahat tambahan. Sementara fasilitas yang mereka terima antara lain, tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi guru, serta kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra dan putri guru, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain.
Di pihak lain, secara kontras, guru tidak tetap (honorer) hanya mendapatkan honor dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang besarnya bervariasi mulai dari Rp200 ribu/bulan sampai Rp500 ribu/bulan. Guru honorer pun sangat sulit memperoleh kesempatan untuk mengikuti program sertifikasi, apalagi mendapatkan maslahat tambahan, sebagaimana yang diperoleh guru tetap atau guru PNS.
Padahal, tugas yang dilakukan oleh para guru tidaklah berbeda. Para guru memiliki tugas yang sama yaitu mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai,dan mengevaluasi peserta didik sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Bahkan, di beberapa kasus ditemui, justru tugas yang seharusnya dikerjakan oleh guru tetap, justru dilakukan oleh guru honorer.
“Masih adanya perlakuan yang diskriminatif ini juga menunjukkan bahwa Pemerintah belum sepenuhnya menempatkan guru sebagai tenaga professional sebagaimana dinyatakan dalam pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen tersebut,” kata Raihan.
Seharusnya, menurut Raihan, Pemerintah memperlakukan semua guru secara adil. Pemerintah harus memberikan kesempatan yang sama bagi semua guru, baik guru tetap, maupun honor untuk mendapatkan haknya sebagai tenaga professional tersebut. Pasal 34 ayat (1) UU Guru dan Dosen tersebut menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
“Oleh karena itu, momentum hari guru tahun 2011 ini, jangan sekedar dijadikan ajang pidato seremonial belaka yang seolah-olah menunjukkan keberpihakan Pemerintah terhadap guru, termasuk juga guru honorer. Pemerintah harus secara nyata menghilangkan kebijakan-kebijakan yang diskriminatif di kalangan guru,” pungkas politisi PKS ini. (*)