Oleh Marah Halim*
Di tengah lemahnya budaya baca masyarakat kita, Aceh khususnya, maka fungsi pers sebagai agen informasi menjadi sangat penting. Pers menjadi “guru” bagi masyarakat lintas profesi dan lintas usia. Informasi pers ibarat makanan siap saji yang sedap disantap. Namun demikian, yang tidak boleh dilupakan adalah aspek gizi dalam berbagai menu informasi yang dihidangkan pers.
Beda pers dengan sumber-sumber informasi utama seperti buku dan terbitan-terbitan ilmiah lain seperti jurnal adalah pada tuntutan analisis dari pembacanya. Membaca buku, mengikuti seminar, menonton dialog ilmiah menuntut penggunaan logika yang berat. Membaca koran atau melihat berita adalah pilihan yang cepat, murah, dan mudah; cukup sambil sarapan pagi di warkop.
Semakin meluasnya jangkauan pers dengan dukungan perangkat teknologi informasi saat ini, maka sudah saatnya pers terus menegaskan komitmennya mendidik masyarakat ke hal-hal yang positif. Pers telah terbukti bisa membangun dan mengarahkan opini masyarakat ke arah yang diinginkannya.
Informasi jenis apapun tidak ada yang bebas nilai. Ibarat arus listrik, nilai selalu dalam bentuk tarik-manarik antara kutub positif dan negatif. Secara filsafat nilai ada tiga; logika, etika, estetika. Ukuran logika adalah benar-salah, ukuran etika adalah baik-buruk, dan ukuran estetika adalah bagus-jelek.
Pers dengan berita-berita yang dimuatnya sebetulnya terus melakukan transfer nilai kepada pembacanya; dan nilai-nilai yang ditransfer tetap bermain dalam dua kutub, positif atau negatif. Nilai informasi yang ideal adalah informasi yang benar, baik, dan bagus. Dalam kenyataan, ketiga nilai ideal ini bertarung keras dengan nilai-nilai kontradiktifnya; salah, buruk, dan jelek. Sayangnya, pers kadang-kadang juga berperan menyebabkan terjadinya pertarungan nilai itu.
Pertarungan nilai yang dilakukan pers terlihat dari tampilan berita yang bernuansa positif dan negatif secara bersamaan. Ketika sebuah penerbitan pers menerbitkan terbitan dengan segmen yang kontradiktif, yang mendukung nilai-nilai positif dan negatif sekaligus, maka i’tikad baik media bersangkutan sebagai agent of change pantas dipertanyakan. Misi media sebagai untuk melakukan kontrol sosial menjadi ambigu (mendua dan kabur), dikatakan positif tidak, negatif juga tidak.
Ambiguitas perubahan yang terjadi mencerminkan ambiguitas penerbitnya sendiri. Ketika penerbit yang sama mengeluarkan beberapa jenis terbitan, yang satu positif oriented dan yang lain sebaliknya, adalah cerminan sikap ambigu dan tidak konsisten. Nilai mana yang sesungguhnya didukung, nilai yang memberdayakan atau nilai yang memperdayakan masyarakat?
Contoh kentara ambigiutas media dapat dilihat dari tayangan-tayangan media elektronik selama bulan Ramadhan. Di satu sisi memang banyak tayangan yang edukatif-positif dan religius, namun di sisi lain juga menyuguhkan tayangan edukatif-negatif dan non-religius. Jam tayangan untuk kedua jenis segmen itu juga tidak tentu-tentu.
Di salah satu stasiun televisi nasional, menjelang berbuka atau menjelang sahur ditayangkan acara-acara yang edukatif-positif, anehnya di jam-jam shalat tarawih ditayangkan acara yang sebaliknya; diselingi oleh advertis-advertis yang lebih ke edukatif-negatif.
Media cetak lokal juga menunjukkan trend yang tak jauh berbeda. Ada tabloid yang di halaman depannya gencar memuat berita-berita yang mengkritisi pembangunan (fisik dan mental); namun di halaman-halaman selanjutnya menyelipkan berita-berita dengan nuansa sebaliknnya. Pemuatan berita-berita mesum misalnya dengan rincian kronologisnya meskipun mengandung nilai benar secara logika tapi dari segi etika tidak mendatangkan kebaikan. Buntutnya informasi yang masuk ke alam bawah sadar pembaca bercampur aduk menjadi satu. Sadar atau tidak pola pikir pembaca juga terbentuk dengan konsumsi informasi yang seperti itu. Jadi, jangan aneh jika kemudian muncul berita-berita pelecehan, perselingkuhan, pemerkosaan, dan sebagainya yang kemungkinan besar ekses dari berita-berita mesum yang dimuat sebelumnya.
Di era panca roba seperti saat ini, sebagai pengamat kita hanya bisa memberikan saran agar pers lebih banyak memainkan nilai-nilai estetisnya; yaitu nilai bagus-jelek. Kecenderungan melanggar etika dan memperkosa logika sendiri salah satunya disebabkan oleh rendahnya perwujudan nilai-nilai estetis penerbitan pers.
Wujud estetika tampak dari daya kreativitas, daya inovasi, daya invensi, daya kompetisi, dari sebuah penerbitan pers. Dengan dukungan teknologi informasi saat ini, sesungguhnya sangat banyak kreativitas dan inovasi yang bisa dimainkan oleh sebuah penerbitan. Persaingan yang ketat justru dapat menjadi stimulus untuk berkreasi dan berinovasi dalam hal-hal yang positif.
Sebagai masyarakat, kita berharap dunia pers kembali ke khittahnya sebagai salah satu pilar demokrasi dengan misi melakukan kontrol sosial. Dengan informasi-informasi yang dikemasnya, pers harus memfungsikan diri sebagai pendidik yang membangun pola pikir positif masyarakat .
——
*Widyaiswara BKPP Aceh