Perempuan : Konsekwensi Dari Sebuah Pemahaman

Oleh. Drs. Jamhuri, MA[*]

Ilustrasi (foto : Kha A Zaghlul)

Firman Allah “ Arrijalu Qawwamuna ‘alan nisa’” (artinya : kaum laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan)

Dengan tidak perlu merenung semua rang bisa memahami siapa laki-laki, dalam bahasa isyarat bagi mereka yang tidak berbicara biasa laki-laki di isyaratkan dengan orang yang memiliki kumis, mempunyai perawakan yang gagah dan kuat. Demikian juga dengan perempuan, dengan tidak perlu merenung kita semua bisa mengerti bila yang dikatakan perempuan adalah orang yang lemah lembut, keibuan serta penurut. Dan masih pada bahasa isyarat yang digunakan, bahwa perempuan di isyaratkan dengan sanggul.

Terlepas dari pemahaman tersebut di atas, banyak para ilmuan yang memberi pemahaman terhadap kata “ar-rijal” dalam ayat tersebut bahwa laki-laki adalah orang yang mempunyai kedudukan kelas satu dan perempuan pada kelas dua, ulama fiqh (ahli hukum Islam) juga membuat penafsiran atau pemahaman terhadap kata laki-laki dengan orang yang mempunyai hak dan kewajiban yang penuh, sedang perempuan adalah orang yang memiliki kewajiban dan hak setengah dibanding kaum laki-laki. Mereka selalu membuat dalih bahwa perempuan adalah orang yang lemah dan perlu dilindungi dalam segala kegiatan dan aktivitasnya.

Hukum Indonesia menyebut laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan tidak menyebut perempuan sebagai wakil,  tetapi perempuan sebagai ibu rumah tangga. Dalam tradisi masyarakat  masih menganut pemahaman ketika mereka mempunyai anak, kalau perempuan ia akan disekolahkan kepada sekolah yang lebih singkat dan sekolah yang cepat dapat pekerjaan, sehingga kita lihat pada fakultas kependidikan, juga pada sekolah kesehatan (keperawatan dan kabidanan) lebih banyak jumlah mahasiswi daripada mahasiswa. Saya mengajar di Akademi Gizi, sudah dua tahun berturut-turut, jumlah mahasiswa satu tahunnya berjumlah lebih kurang seratus orang, namun jumlah persentase mahasiswa tidak sampai sepuluh persen. Saya yakin ini bukanlah karena banyaknya jumlah kaum perempuan dibanding kaum laki-laki, tetapi lebih disebabkan oleh karena adanya pemahaman seperti telah disebutkan.

Ayat di atas juga dipahami bahwa arti laki-laki sebagai laki-laki dalam makna individu, bukan laki-laki sebagai fungsi atau posisi. Sehingga ulama memahami makna laki-laki sebagai pemimpin bagi perempuan yang tidak pernah dapat digantikan oleh perempun dalam fungsi dan posisi apapun. Ketika seorang suami sebagai laki-laki meninggal dunia, maka posisi dan tugas suami yang telah meninggal tidak pernah  mendapat pengakuan dari siapapun bila isteri menggantikan atau melakukannya.

Pemeliharaan anak dan penjagaan terhadap harta, yang selama ini dilakukan secara bersama, ketika suami meninggal harus dialihkan kepada wali sebagai seorang laki-laki. Alasan yang digunakan selalu kepada dengan anggapan bahwa perempun (isteri) yang ditinggalkan adalah “perempuan” yang lemah, yang tidak sanggup mendidik anak dan menjaga harta yang ditinggalkan suaminya. Alasan berpindahnya kepada wali juga dengan alasan kedekatan anak yang ditinggalkan dengan  keluarga suami. Namun kita terkadang kita lupa mempertanyakan bahwa antara perempuan (isteri) yang ditinggalkan suami  dengan wali anaknya adalah non muhrim. Serta harta yag ditinggalkan suami juga tidak ada hubungannya dengan wali (laki-laki keluarga suami).

Dalam ayat lain Allah berfirman “ Hunna libasul lakum wa antum libasul lahunna” (artinya : Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka)

Dalam ayat ini kita pahami bahwa posisi laki-laki dan perempuan adalah sama, keduanya  bagaikan badan dan pakaian dengan tidak menetapkan satunya sebagai badan dan yang lain adalah pakaian. Tetapi keduanya mempunyai posisi sama secara bergantian dan di ayat lain diseutkan bahwa laki-laki dan perempuan itu adalah pasangan.

Sudah seharusnya, bila keduanya mempunyai posisi yang sama dan keduanya adalah sebagai pasangan, maka kalau salah satunya sudah tidak ada maka yang lain akan menduduki posisi pengganti. Seperti seorang isteri yang ditinggalkan suaminya, secara otomatis posisi suami sebagai pemimpin dalam keluarga berpindah kepada isteri bukan kepada orang lain (wali), yang selama ini mungkin saja tidak mempunyai kepedulian terhadap keluarga yang berada di bawah perwaliannya. Dan juga bila dilihat dari kedekatannya dengan anak dari almarhum juga tidak dekat, apalagi dengan harta dan isteri yang ditinggalkan.

Posisi pemilihan makna ar-rijal sebagai laki-laki secara individu kepada makna ar-rijal dalam makna posisi dan fungsi, memiliki konsekwensi yang sangat luas bagi kemandirian perempuan dalam meningkatkan kemandirian serta mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin pengganti dalam rumah tangga ketika suami tidak ada.

Karena perempuan mempunyai kesetaraan dengan laki-laki, maka perempuan harus berusaha mempersiapkan diri. Mereka harus berpendidikan sama tinggi dengan kaum laki-laki, mereka harus mampu mencari nafkah ketika suaminya masih hidup, karena ketika suaminya tidak ada merekalah yang mempunyai peran sebagai pemimpin dan bertanggung jawab terhadap pendidikan dan nafkan anak-anak mereka.

Semua itu tidak mungkin dapat dilakukan apabila pemahaman kita masih pada pemahaman, bahwa laki-laki adalah pemimpin yang tidak dapat digantikan oleh perempuan. Dan kalaupun ada usaha untuk itu semua dianggap salah dan kalaupun tidak dianggap sebagai kesalahan tetapi tidak pernah diberi kesempatan kepada perempuan untuk mengembangkan diri sebagaimana halnya laki-laki.

Berapa banyak perempuan yang tidak mendapat kesempatan untuk memperoleh  pendidikan karena selalu dibedakan dengan laki-laki, sehingga laki-laki selalu menjadi orang nomor satu karena mempunyai kesempatan. Banyak sekali ibu rumah tangga yang harus memulai hidup dari nol ketika suaminya meniggal, mereka harus belajar mencari nafkah untuk diri dan anak-anaknya, anak-anak tidak mendapatkan kehidupan layak sebagaimana ketika bapaknya masih hidup.

Pada akhirnya banyak sekali anggota masyarakat mengeluh seolah-olah Tuhan menghukum mereka, dimana ketika suami mereka meninggal dan tidak mempunyai anak laki-laki. Dan kalaupun ada anak perempuan dalam pikirannya selalu terbayang bahwa satu saat akan dibawa dan akan berada di bawah kekuasaan suaminya.



[*] Dosen pada Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.