Beberapa waktu yang lalu saya membaca sebuah catatan di facebook yang mengatakan bahwa peradaban Gayo itu primitif. Pernyataan ini disampaikan oleh si penulis artikel ini dengan merujuk sebuah tulisan di Kompasiana yang dipost oleh seseorang yang bernama Win Ruhdi Bathin.
Baca : http://www.facebook.com/note.php?note_id=182637265092423
Dalam artikel yang dipost di Kompasiana ini, Win Ruhdi Bathin yang mengutip sebuah pernyataan dari seorang Arkeolog bernama Drs. Ketut Wiradnyana, M.Sc, seorang Arkeolog asal Bali yang pernah memimpin sebuah Tim penggalian arkeologi (Eksavasi) di Ceruk Mendale dan Ujung Karang di Aceh Tengah.
Pernyataan dari Ketut yang menyimpulkan bahwa orang gayo itu adalah suku PRIMITIF adalah seperti di bawah ini :
“Contohnya, masyarakat gayo memiliki kerbau yang banyak. Tapi tidak bisa mengelolanya secara moderen. Pemilik kerbau yang memiliki asset jutaan hingga ratusan juta, kehidupannya sama dengan masyarakat biasa. SDA nya melimpah tapi tidak diolah. Berbeda dengan suku karo yang topografinya sama dengan Takengon, tapi lebih mampu memanfaatkan SDA”, kata Ketut.
Penulis artikel ini yang mungkin karena awam dan silau melihat kapasitas profesional dan gelar yang disandang Ketut, tampaknya langsung menelan bulat-bulat apa yang dikatakan Ketut tanpa sedikitpun mengkritisi metode Ketut dalam mengambil kesimpulan. Si penulis langsung mempercayai apa yang dikatakan Ketut sebagai kebenaran mutlak tanpa melihat banyaknya kejanggalan dalam ucapan Ketut. Padahal ucapan Ketut ini hanya dimuat di Kompasiana, yang siapapun boleh menuliskan apa saja tanpa melalui metode verifikasi dan falsifikasi oleh orang yang memiliki kapasitas profesional untuk menguji sebagaimana layaknya jurnal ilmiah yang dimuat dalam jurnal yang PEER REVIEWED.
Berbeda dengan penulis artikel ini, saya yang terlahir sebagai orang Gayo dan termasuk dalam kelompok suku Gayo yang secara turun-temurun memiliki mata pencaharian berternak Kerbau, merasakan ada banyak kejanggalan dalam pernyataan Ketut. Pernyataan ini saya rasakan sebagai kedangkalan pengetahuan yang dimiliki oleh Ketut terhadap tema yang sedang dia komentari.
Saya tidak tahu apakah Ketut mengetahui kalau berternak kerbau tidak identik dengan seluruh orang Gayo. Bahwa berternak Kerbau sebenarnya hanya identik dengan orang Gayo yang tinggal di wilayah Gayo yang berhawa panas (Gayo Deret dan Gayo Lues). Sementara orang Gayo Lut yang tinggal di wilayah Gayo yang berhawa dingin umumnya memiliki mata pencaharian sebagai petani. Jadi sangat tidak tepat sekali kalau memiliki Kerbau banyak diidentikkan dengan seluruh orang Gayo.
Saya bisa mengatakan itu karena saya sendiri bukan kebetulan berasal dari wilayah Gayo berhawa panas itu dan bukan kebetulan pula keluarga saya adalah salah satu keluarga yang memiliki banyak kerbau. Karena itulah saya merasa saya punya kapasitas yang lebih dari cukup untuk mempertanyakan kesimpulan Ketut.
Untuk maksud tersebut, di sini saya ingin menggali lebih dalam dan mengkritisi pernyataan Ketut yang ini . “Pemilik kerbau yang memiliki asset jutaan hingga ratusan juta, kehidupannya sama dengan masyarakat biasa.”, pernyataan yang menjadi dasar kesimpulan Ketut untuk menyatakan bahwa orang Gayo itu PRIMITIF.
Di sini saya akan menerima saja kesimpulan Ketut yang menyatakan “Pemilik kerbau yang memiliki asset jutaan hingga ratusan juta, kehidupannya sama dengan masyarakat biasa.” Tapi untuk itu tentu saja saya perlu untuk memaparkan seperti apa sebenarnya kehidupan masyarakat biasa yang dikatakan Ketut.
Dan untuk itu saya akan paparkan seperti apa kehidupan para pemilik kerbau yang banyak itu yang disebut Ketut sama saja dengan masyarakat biasa. Dengan menjadikan diri saya dan para tetangga saya sebagai contoh.
Saya berasal dari Isaq dan memiliki kandang kerbau di Lane (80 Km dari Takengen ke arah Belang Kejeren), pada waktu saya masih kecil kakek saya (sekarang sudah almarhum) memiliki lebih dari 200 ekor kerbau. Di sana kerbau itu hidup bebas di padang rumput dan pulang ke kandang pada sore hari. Karena jumlah kerbau yang kami milik cukup banyak, jadi kandangnya juga cukup besar, sekitar 4 hektar lebih dan 6 hektar lebih di tambah dengan rumah tempat kakek saya tinggal dan tempat kakek saya berkebun. Lokasi peternakan ini kami bangun di sebuah bukit yang terletak di tepi jalan Takengen-Belang Kejeren.
Tetangga terdekat kami adalah haji Tamat yang juga berasal dari Isaq yang memiliki jumlah kerbau yang kurang lebih sama yang mengandangkan kerbaunya di bukit sebelah yang jaraknya sekitar 3 kilometer dari tempat kami, sementara di bukit lain adalah kandang kerbau milik Haji Lahat. Saya mengenal dengan baik semua pemilik kerbau itu, tahu bagaimana kehidupan mereka dan kehidupan anak-anak mereka. Para pemilik kerbau yang banyak yang juga rata-rata berasal dari Isaq juga rata-rata saya kenal.
Apa yang saya tahu dari mereka adalah, kehidupan mereka rata-rata makmur, mereka adalah orang-orang tua yang intelek dan anak-anak mereka rata-rata berpendidikan tinggi. Buchari Isaq dan Mustafa M tamy, adalah anak dari haji-haji yang memiliki banyak kerbau dan keduanya adalah mantan Bupati Aceh Tengah.
Anak dari Haji Tamat tetangga kami saya ketahui punya mesin penggilingan padi di Pegasing, anak dari Haji Lahat adalah Camat Linge pada waktu saya masih kecil, cucunya sekelas dengan adik saya dan selalu mendapat juara pertama di kelasnya SD No. 1 Takengen, SD paling bergengsi di Takengen masa itu.
Sementara kakek saya sendiri (yang lahir sekitar tahun 1910-an), kalau orang kota yang berpendidikan menjumpainya di jalan sedang menggembalakan kerbau dengan pakaian kerjanya (kadang bersama saya) tentu saja akan memandang beliau dengan pandangan remeh. Tapi kalau si orang berpendidikan tersebut mau menyempatkan diri mampir ke rumahnya di kompleks perkandangan itu dan mengobrol dengannya mungkin akan malu sendiri, sebab kakek saya fasih bicara dalam 5 bahasa, beliau berlangganan 3 majalah (Panji Masyarakat, Tempo dan Al Muslimun) dan setiap pagi dan sore tidak pernah absen mendengarkan siaran BBC dari radio gelombang SW. Kakek saya yang bernama Haji Asaluddin atau di Isaq lebih dikenal dengan panggilan Tengku Asal ini yang sehari-hari adalah penggembala kerbau, fasih diajak bicara soal agama, politik dalam negeri Indonesia, Timur Tengah sampai kebijakan luar negeri Amerika.
Bahkan kalau dalam kaitan soal agama dan adat pandangan Kakek saya itu jauh lebih progresif dibanding para ulama zaman sekarang, beberapa pandangan dan pemikiran beliau dapat dibaca dalam dua buku karangan John Bowen, seorang profesor antropologi dari University of Washington di St. Louis di Amerika sana. Kedua buku tersebut berjudul Sumatran Politics and Poetics dan Muslims Through Discourse.
Beliau memiliki 8 orang anak yang 7 di antaranya adalah Sarjana, lulusan dari berbagai Universitas di Indonesia, mulai dari Banda Aceh, Medan, Bandung sampai Jogja. Dari 27 tujuh orang cucunya, 20 di antaranya mengecap pendidikan perguruan tinggi, salah seorang di antara yang 20 orang ini sekarang sedang menuntut ilmu di Jerman, 7 sisanya masih duduk di bangku SD, SMP atau belum lulus SMA.
Begitulah gambaran dari keluarga Gayo yang memiliki banyak kerbau yang saya kenal
Jadi kalau Ketut mengatakan “Pemilik kerbau yang memiliki asset jutaan hingga ratusan juta, kehidupannya sama dengan masyarakat biasa” kita terima sebagai FAKTA dan fakta itu kita jadikan sebagai argumen untuk menunjukkan KEPRIMITIFAN orang Gayo, saya jadi ingin bertanya pada Ketut.
Kalau “orang biasa” yang seperti ini disebut PRIMITIF, orang Bali, di negeri asal Ketut, yang jangankan yang tinggal Sidemen, Bebandem, Blimbing atau Kintamani yang memang pelosok, tapi bahkan yang tinggal di KUTA di tempat yang sudah begitu menginternasional saja pun masih banyak yang tidak bisa membedakan antara Jawa dan Sumatera…peradaban mereka itu layaknya disebut apa?
Sementara untuk penulis artikel yang mengutip pernyataan Ketut sebagai referensi, menurut saya tampaknya dia harus lebih kritis lagi untuk memahami masalah yang sedang dibahas, bukan asal kutip pendapat seseorang cuma berpatokan pada gelar dan status profesionalnya.
Sebab di sini saya lihat, meskipun Ketut adalah seorang Arkeolog, tapi dia sama sekali tidak tepat kalau disebut sebagai seorang antropolog.
Kedua ilmu ini memang memiliki kemiripan tapi secara esensi jelas berbeda. Ini seperti profesi dokter yang ada banyak spesialisasinya. Ada dokter spesialis jantung, ada spesialis bedah tulang. Orang yang patah tulang tentu tidak tepat meminta pendapat dari seorang dokter spesialis jantung.
Tapi inilah yang dilakukan penulis yang mengutip pendapat Ketut dalam tulisan yang di post di kompasiana ini, si penulis tampak seperti orang yang sedang membahas masalah jantung melalui kacamata seorang dokter spesialis bedah tulang.
Wassalam
Win Wan Nur
Orang Gayo dari keluarga pemilik Kerbau
ini gere kerna tersinggung atau bengis kin kesimpulenni ketut a…cumen ke masalah sahen si primitif, suku Bali pe perasanku sangat primitif…sebeb kerna primitifya le kati dele jema lueren geh kone…dan oya ipertehenne…ari cara bepakaian, tari-tarian, makanan, upacara….kerna keuniken dan kprimitipenya le kati geh jema kone.
I on ngkune bang leh, kati senang atewe, nanpe cara pandange terhadap kemakmuran berbeda urum urang gayo, i kiteho gere mutang temas murip, iwea nek mobil ngutang bangga.
oya baro betih e betul ke bang.. cube renye kena bang…