Pesantren Hidayatullah
Perjalanan rombongan pimpinan agama-agama se Indonesia itu akhirnya berlanjut ke Kalimantan Timur. Dari Pontianak dengan pesawat terbang menuju Samarinda. Baru dari sana dengan bus menuju kota Balikpapan. Konon inilah kota termahal di Indonesia. Kota yang dijuluki kota dollar ini tempat bermukimnya sejumlah orang asing yang bekerja di dunia perminyakan Indonesia. Karena itu pula, standar hidup di Balikpapan jauh lebih tinggi dibanding kota lain di Indonesia.
Dalam perjalanan Samarinda – Balikpapan, kami sempat melewati Bukit Soeharto yang sedang dikebuli asap pembakaran. Mungkin sejumlah masyarakat akan membuka lahan pertanian di areal tersebut. Jalanan bagus, meski berada di tengah hutan. Kemudian, rombongan Jakarta ini dipaksa berhenti oleh seorang pastoor berikut anak buahnya. Kami diminta turun dan digiring ke sebuah gereja di tengah pedalaman itu.
Gereja itu bernama gereja ’Utuslah Rohmu, Ya Tuhan’. Sebuah bangunan bersegi empat dengan pintu masing-masing di keempat sisinya. Kata sang Pastoor, sengaja dibuat seperti ini menyerupai kemahnya Abraham di Kanaan. Ia langsung memimpin acara, para umatnya berbaris meski hanya beberapa orang.
Pastoor yang lama di Laos ini, kemudian diusir dan pindah ke Indonesia, merasa mendapat kehormatan yang luar biasa. Ia berhasil memaksa petinggi agama di Indonesia melihat kiprah gerejanya itu. Ia bersalaman dan setengah menyembah kepada Ketua MUI Hasan Basri, Kardinal Darmaatmadja, serta sejumlah petinggi ormas-ormas keagamaan lainnya.
Setibanya di Balikpapan, anggota rombongan keagamaan ini langsung diistirahatkan di Hotel Benakutai. Hotel termegah di kota minyak tersebut. Para tamu hotel, hampir semuanya orang-orang bule. Besok paginya saya mencoba berjalan kaki di sekitar hotel. Saya terkejut ketika usai makan bubur ayam, harganya Rp10.000,-Sementara di Jakarta masih sekitar Rp1.000 atau Rp2.000,-
Satu diantara objek kunjungan yang menarik adalah ke Pesantren Hidayatullah di Gunung Tembak. Berdiri diatas tanah 100 Ha lebih. Bukan hanya masjid dan sekolah, tetapi lengkap dengan desa transmigrasi, kolam ikan, komplek perbengkelan, perumahan para guru, lahan pertanian dan lainnya. Lengkap menjadi sebuah daerah otonomi.
Ketika berdiri ditahun 1976 oleh Ustadz Abdullah Said, pesantren ini tidak memungut bayaran. Bahkan lebih dari 50 guru dan keluarganya, diberi rumah. Begitu juga dengan sejumlah keluarga dhuafa, semua gratis. Sulit diterima akal sehat. Bagaimana mungkin sekian ratus jiwa mampu diberi makan tiga kali sehari oleh pesantren itu? Tapi inilah kenyataan.
Semua santri dididik dengan ilmu kejuruan. Mereka membuka praktek dalam perkampungan Hidayatullah itu. Semua hasil praktek dimasukkan ke kas Hidayatullah, untuk menghidupi seluruh penduduk perkampungan pesantren itu. Tak seorangpun yang berniat memperkaya diri sendiri dari ilmu yang diperolehnya di pesantren ini. Semua bekerja sama untuk kehidupan bersama. Syaratnya hanya satu, shalat berjama’ah di masjid Hidayatullah.
Semua anggota rombongan terkagum-kagum melihat perkampungan pesantren Hidayatullah. Mereka terkesan dengan model pembinaan umat seperti ini. Banyak para petinggi agama itu memperkenalkan Hidayatullah ke agama masing-masing, agar meniru Hidayatullah di Kalimantan itu.
Dari Balikpapan, rombongan terbang ke Banjarmasin di Kalimantan Selatan, yang juga kota terbesar di Borneo itu. Malam perpisahan, pastoor dan sejumlah pendeta, bahkan H Abdullah Said dari Pesantren Hidayatullah menyempatkan diri hadir ke Banjarmasin. Menyampaikan kata-kata kesan, makan malam dan bergembira bersama-sama. Seakan, bukan rombongan keagamaan yang sedang berkeliling ini.
Yang lucu, ketika pertemuan dengan masyarakat Banjarmasin, berikut dengan Gubernur dan jajarannya. Semua petinggi agama mengenakan pakaian kebesaran. Para pendeta, kardinal, ulama dengan pakaian resmi. Kecuali pimpinan agama Budha, Romo Bikhu. Ia tetap dengan jubah warna kuning tua. Semua anggota rombongan tersenyum dan mengacungkan jempol.
Banyak objek bersejarah yang menjadi agenda kunjungan para petinggi agama itu di sekitar Banjarmasin. Baik rumah-rumah ibadah, bahkan juga museum dan sekolah tinggi keagamaan yang ada di Kalimantan Selatan. Hari-hari terakhir, semua petinggi agama itu digiring ke Martapura. Mereka menyerupai wisatawan yang berkantong tebal, sedang membelanjakan uangnya di kota intan tersebut.
Berakhir di Palangkaraya
Beberapa malam di Banjarmasin, akhirnya terbang ke Palangkaraya, ibukota Kalimantan Tengah. Disinilah akhir kunjungan selama sembilan hari di Kalimantan. Palangkaraya tidak sebesar kota lainnya yang kami kunjungi. Masih dalam pembangunan. Hanya satu hotel yang memadai, yaitu Dangdang Tingang, tempat bermalam sejumlah tamu penting dari Jakarta.
Berbeda dengan daerah lain, di Kalimantan Tengah kami dibawa melihat-lihat rumah ibadah agama Kaharingan. Inilah agama yang dianut oleh penduduk asli Pulau Kalimantan. Selain rumah ibadah juga diperlihatkan acara ritual mereka sekilas. Dari sana rombongan digiring lagi ke gereja Evangelis dan Sekolah Tinggi Teologi yang ada disini.
Satu hal yang menarik di Palangkaraya, ada juga sebuah tugu yang ditanda tangani oleh Soekarno, Presiden Pertama Indonesia. Menurut warga sekitar, Soekarno bercita-cita menjadikan Palangkaraya sebagai ibukota Negara ini. Sebab, posisinya persis ditengah-tengah Indonesia. Sayangnya, di seputar kota masih diselimuti gambut. Kehidupan diatas air masih dominan dibanding di darat. Bus dan taksi air, pasar dan pom bensin banyak diatas sungai.
Ada-ada saja gurauan para petinggi agama itu, untuk saling mengakrabkan diri. Dalam perjalanan kami, suatu ketika Ketua MUI KH Hasan Basri bertanya kepada Bikhu Mahatera, petinggi agama Hindu Bali. ”Tidak punya uang, bahasa Jepangnya apa?”, katanya. Lama sang Bikhu berpikir-pikir. Kemudian sambil senyum ia menyerah. ”Saya tidak tahu, pak Kiyai”.
”Bahasa Jepangnya, sakurata”, kata Ketua MUI itu sambil tertawa. Sang Bikhu mengangguk-anggukan kepala juga terbahak-bahak.
”Kalau anak bayi, bahasa Jepangnya?”, tanya Kiyai Hasan Basri lagi, yang didengar oleh petinggi agama lainnya sambil senyam-senyum. Lama nggak ada jawaban. Lalu pak Kiyai menjawab sendiri. ”Masinete”, katanya. Disambut gerr bahkan tertawa terpingkal-pingkal dari para ulama dan sejumlah Dirjen dalam perjalanan itu. Demikianlah bentuk keakraban sesama pimpinan agama tersebut selama beberapa hari di Kalimantan.
Malam perpisahan ditutup oleh Menteri Agama H Munawier Syadzali di Ibukota Kalimantan Tengah, Palangkaraya. Semua pimpinan dan petinggi agama memberikan kata-kata kesan. Bikhu Mahatera mengatakan, ”saya ibarat semut ditengah-tengah kumpulan gajah”, karena merasa dirinya kecil dan dari agama kelompok terkecil di Indonesia. ”Nggak apa-apa, saya ikut digajahkan”, kata Kardinal Darmaatmadja, disambut tepuk tangan meriah. Suasana sangat cair dan akrab, diantara petinggi ormas keagamaan itu. Kesan itu membekas sampai esoknya pulang ke Jakarta setelah sembilan hari berkeliling.
Kunjungan itu saya tulis dalam sebuah laporan panjang. Dimuat secara bersambung beberapa hari, dengan judul Mengikuti Wisata Kerukunan Umat. Akhirnya, berkat laporan itu, pada malam resepsi Hari Pers Nasional di Hotel Indonesia 1987, saya berhasil menerima Piala Adinegoro di bidang P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Penghargaan tertinggi dalam dunia jurnalistik Indonesia. Saya bangga, karena tidak semua wartawan berhasil meraihnya. Asyik juga mendapat piala dari Menteri Penerangan Harmoko….
*Wartawan asal Gayo, tinggal di Jakarta
——-