Oleh Sabela Gayo*
—-
Kasus pembantaian warga oleh pihak yang diduga oknum kepolisian merupakan satu bentuk kelalain negara dalam melindungi keselamatan dan keamanan warga negaranya. Negara yang seharusnya bertugas melindungi segenap tumpah-darah Indonesia melalui aparatur Negara yang dibentuk berdasarkan konstitusi, ternyata melakukan perbuatan yang bertentangan dengan semangat dan isi konstitusi itu sendiri. Kasus Mesuji merupakan bentuk nyata dari kurang harmonisnya jalinan antara masyarakat dan pelaku usaha. Pelaku usaha dalam hal ini belum memahami dengan sungguh-sungguh mengenai hak dan kewajibannya terkait dengan investasi yang ia lakukan. Ditambah lagi dengan adanya ketidak-jelasan mengenai sistem pengelolaan dan kepemilikan pertanahan di Indonesia. Sampai hari ini isu pertanahan di Indonesia masih diatur oleh Undang-Undang Pokok Agraria No 11 Tahun 1956 yang sudah “usang” dan tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Konflik pertanahan di Indonesia merupakan salah satu pemicu konflik yang paling sering menumpahkan darah. Isu pertanahan merupakan isu yang paling sensitif dimana masyarakat kadangkala menguasai areal lahan yang oleh pemerintah pusat sudah dikeluarkan ijin Hak Guna Usaha dan Hak-hak lainnya diatas tanah tersebut kepada pihak ketiga tanpa adanya konsultasi terlebih dahulu dengan masyarakat dan pemerintah lokal setempat. Adanya kekurang-koordinasian dan kurang komunikasi antara pejabat dilingkungan Agraria dengan masyarakat dan pemerintah setempat membuat para investor kesulitan dalam mengelola lahan yang sudah ada ijinnya.
Ijin pertanahan tersebut diurus dengan biaya yang sangat besar dan melalui proses birokrasi dan negosiasi yang panjang dan berliku sehingga kadangkala menghabiskan energi dan biaya yang sangat besar, ditambah lagi biasanya setiap investor yang berminat menanamkan modalnya di Indonesia akan diberikan jaminan keamanan penuh oleh pemerintah baik pusat maupun daerah. Sehingga hubungan antara investor (pelaku usaha) dengan aparat keamanan menjadi sangat erat. Hal tersebut disebabkan karena adanya “uang setoran” yang diberikan oleh pelaku usaha kepada aparat keamanan sebagai “uang kopi” atau “uang keamanan”. Kondisi tersebut membuat aparat keamanan “lupa diri” akan tugas dan tanggung-jawabnya sebagai aparatur negara yang diberikan mandat untuk melindungi segenap tumpah-darah Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke.
United Nations Human Rights Council (Dewan HAM PBB) sudah menetapkan John Ruggie’s Guiding Principle for Business and Human Rights menjadi United Nations Guiding Principles for Business and Human Rights pada Juli 2010 yang lalu. Penetapan tersebut merupakan babak baru adanya satu panduan dan pedoman internasional yang baku terkait dengan perlindungan hak asasi manusia khusus dalam kaitannya dengan praktik-praktik bisnis. Walaupun diluar aturan tersebut masih banyak lagi aturan-aturan maupun standar-standar bisnis dan HAM yang bersifat sukarela (voluntary) seperti ISO 26000 on Social Responsibility, Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) Guidelines for Multinational Enterprises, dan CAUX Rountable.
Selain itu ada juga aturan-aturan/standar HAM lainnya di tingkat Internasional yaitu Norma-Norma Tanggung Jawab Perusahaan Multinasional dan Bisnis Lainnya Terkait Hak Asasi Manusia (Norms on the Responsibilities of Transnational Corporations and Other Business Enterprises with Regard Human Rights) yang disahkan pada 23 Agustus 2003 oleh Sub-Komisi PBB Promosi dan Perlindungan Hak Asasi Manusia (United Nations Sub-Commission on the Promotion and Protection of Human Rights). Dan di tingkat Nasional ada beberapa peraturan perundang-undangan yang telah dilanggar yaitu; Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Covenant on Economic, Social and Cultural Right (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
Terkait dengan kasus sengketa lahan antara masyarakat dan beberapa pelaku usaha yang terjadi di Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung kembali memberikan pelajaran berharga kepada kita betapa bangsa ini kurang menghargai nyawa setiap warga negaranya dan menganggap bahwa kejadian tersebut merupakan hal yang “biasa-biasa saja”. Paradigma bangsa ini selalu berusaha menyelesaikan masalah dan mencari solusi ketika sudah terjadi satu aksi kekerasan atau satu kasus yang menimbulkan korban jiwa, tetapi kurang sigap dan cepat dalam mengantisipasi terjadi tindakan kekerasan semacam itu sejak dini. Kasus pembataian manusia atas nama pun tidak dapat diterima oleh akal sehat dan rasa kemanusiaan oleh karena itu pihak-pihak terkait diharapkan dapat menyelidiki kejadian tersebut secara adil, independen, objektif dan transparan agar masyarakat luas dapat mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya terjadi di daerah Mesuji tersebut.
Pihak-pihak yang terkait seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kementerian Pertanian dan Perkebunan (Kemenhutbun), Kementerian Kehutanan (Kemhut) dan Pemerintah Daerah baik provinsi dan kabupaten/kota sudah seharusnya menciptakan business and human rights early warning system (BHREWS) yang diharapkan mampu menjembatani kepentingan masyarakat lokal, pemerintah baik daerah maupun pusat dan para pelaku usaha. Kepentingan para stakeholders terkait harus benar-benar dijamin oleh pemerintah sembari pemerintah pusat membenahi sistem pengelolaan dan pengaturan pertanahan di Indonesia, dengan mengurangi tumpang-tindihnya hak kepemilikan lahan, mengembangkan sistem pendaftaran tanah digital yang cepat, sederhana dan berbiaya murah.
Tanpa dibarengi dengan reformasi di bidang agraria maka konflik-konflik pertanahan baik antara sesama warga masyarakat, warga masyarakat dengan pemerintah daerah, warga masyarakat dengan pemerintah pusat, warga masyarakat dengan para pelaku usaha, antar sesama pelaku usaha, warga masyarakat dengan institusi-institusi pemerintah lainnya, pemerintah daerah dengan institusi-institusi pemerintah pusat maupun sebaliknya.
*Mahasiswa PhD (Law), Universiti Utara Malaysia dan CSR Policy & Human Rights Researcher
—-