Seminar Nasional Learning Management Center BEM FT UGP “Perlu Pengkajian Istilah”

Yusradi Usman al-Gayoni | Foto : istJakarta | Lintas Gayo – Dalam waktu dekat—18 Desember 2011 di Gedung Olah Seni (GOS) Takengon—Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Teknik (FT) Universitas Gajah Putih (UGP) akan menyelenggarakan Seminar Nasional Learning Management Center. Dalam seminar itu, akan dipresentasikan pang uten, yaitu perangkat pendeteksi dan penebangan hutan.

Selain itu, ada lelongohen, perangkat untuk menentukan titik tanam kopi optimal. Terakhir, presentasi awal pembuatan distro atau operating system Deep-IX (baca: Depik) untuk mendokumentasikan pelbagai hal terkait Gayo.

Usai membaca dan mempelajari term of reference yang dikirimkan panitia, Yusradi Usman al-Gayoni, pemerhati bahasa, sejarah, dan  budaya Gayo di Jakarta, Kamis (15/12/2011), menyebutkan, cukup mengapresiasi langkah BEM FT UGP.

“Ini langkah maju dalam menyelamatkan, mempertahankan, dan melestarikan budaya Gayo. Dengan menyertakan IT, upaya penyelamatan budaya Gayo akan lebih mudah, cepat, dan praktis. Namun, perlu kerja sama semua pihak untuk memaksimalkan upaya tersebut,” katanya lagi.

Lebih dari itu, pemerhati budaya Gayo itu, mengingatkan soal penggunaan ketiga istilah tersebut. Sebaiknya,  sarannya, penulisannya mengacu pada penulisan bahasa Gayo yang baik dan benar serta sesuai konteksnya. Pengkaji Ekolinguistik (Ekologi Bahasa) itu lebih lanjut, mengusulkan, Pang Uten sebaiknya diganti menjadi Pengulu Uten. Sebab, terdapat perbedaan makna dan pelaku dari kedua kata tersebut. Pang merujuk pada Pang atau Panglime (Panglima = bahasa Indonesia), sementara Pengulu adalah jabatan dalam Kerajaan Linge yang tugasnya menjaga dan melestarikan hutan seperti yang hendak diseminarkan BEM FT UGP.

Selanjutnya, jelas Aman Muhammad Faiz Akbar al-Gayoni ini, sesuai dengan konteks berkebun kopi di Gayo, kata lelongohen lebih baik diganti jadi pelongohen. Kedua istilah tersebut—pengulu uten dan pelongohen—merupakan kearifan ekologi yang dimiliki masyarakat Gayo.

Sayangnya, saat ini, pengulu uten kurang dikenal akibat “terputusnya” transmisi budaya dari orang tua ke generasi muda. “Pastinya, bukan hanya makna fisik atau ragawi pengulu uten dan pelongohen saja di situ, melainkan ada pelbagai konsep, nilai, norma, kebisaan, dan budaya yang dikandunginya.  Juga, berhubungan dengan pelbagai disiplin ilmu yang lain, seperti pertanian, ekologi, ekolinguistik (ekologi bahasa), etnobotani, dan lain-lain. Yang non fisik (intangible) itulah yang tidak ada lagi sekarang. Dan, kita perlu menggali, mengkali, menyelamatkan, dan mendokumentasikannya kembali,” ujar Yusradi.

“Sarak”

Disamping itu, seperti halnya penulisan graffiti Gayo High Land, yang dianggapnya mereduksi makna tanah (yang cukup luas) dalam bahasa Gayo dan (ikut mereduksi) identitas orang Gayo itu sendiri, kata Deep-IX (baca: Depik) sebaiknya diganti dengan istilah Gayo. Penggunaan istilah lokal tersebut, jelasnya, sesuai dengan tujuan panitia untuk mendokumentasikan Gayo. Apalagi, istilah yang dipakai merupakan identitas dan menggambarkan jiwa serta ruh masyarakat Gayo sendiri.

Soal usulan alternatif istilah, seperti istilah-istilah sebelumnya yang merujuk pada nomina—Pang dan Pengolohen—Ketua Research Center for Gayo ini, mengusulkan, diganti dengan kata sarak. Dalam Kerajaan Linge (sistem pemerintahan lokal di Gayo), terdapat istilah Sarak, yang merujuk pada Sarak Opat beserta unsur pemerintahan di bawahnya, termasuk pengulu uten di dalamnya.  Sarak dapat diartikan unsur atau lembaga.  Dengan demikian, dalam konteks pembuatan program oleh mahasiswa FT UGP, simpulnya, distro atau operating system inilah yang nantinya menyelamatkan pendokumentasian Gayo (Sastra/03)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.