Mungkin tidak banyak yang mengetahui, salah seorang dari 18 mahasiswa Aceh yang meraih gelar cum laude di luar negeri pada tahun 2010 lalu adalah Ima Dwitawati, gadis asal Belangkejeren dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 4.00.
Ima, begitu ia biasa dipanggil memperoleh gelar masternya di National United University, Miaoli City, Republic of China (Taiwan) jurusan Information and Society (Masyarakat Informasi). Ia merupakan alumni Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) jurusan Matematika bidang komputasi, Unsyiah angkatan 2001.
Sejak masih kuliah strata satu ia telah aktif di organisasi yang berbasis pendidikan dan teknologi seperti Forum Unsyiah Darussalam (Fudar), Himpunan Pelajar dan Mahasiswa Gayo Lues (HIPEMAGAS) yang kegiatannya memberikan matrikulasi persiapan Ujian Masuk Universitas dan sharing informasi tentang dunia perkuliahan di beberapa SMA di Gayo Lues. Tamat kuliah ia bergabung dengan Aceh Learning Centre (ALC); Aceh e-Learning Centre (AeLC); Bamboo Community University Associations (BCUA) Taiwan; dan E-Mate Project (Communiy IT Volunteer From Indonesia and Taiwan).
Ia juga pernah bekerja di Sentra teknologi Elektro (SENTRO) Banda Aceh; Pusat Studi Hukum Adat Laut dan Kebijakan Perikanan Unsyiah; Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informasi, dan Telematika Aceh; pernah menjadi dosen di jurusan Teknik Elektro Unsyiah dan Manajemen Dakwah IAIN Ar-Raniry.
Tahun 2008 saat ia bergabung dengan BCUA untuk sharing dengan mahasiswa Taiwan tentang Aceh, merupakan awal dari tercetusnya kerjasama Unsyiah dengan Taiwan. “Promotornya saat itu saya dan teman bernama Risma Rita dengan cara kampanye tentang Unsyiah di beberapa universitas di Taiwan.
Sekarang kita (Unsyiah/Pemerintah Aceh) sudah bekerjasama dengan hampir 20 universitas terkemuka di Taiwan. Untuk daerah Sabang dan Takengon masih dalam rangka promosi cultures product Aceh dan pelatihan IT untuk kedua penduduk lokal.
Dan tahun ini, saya mencoba negosiasi dengan Pemerintah Gayo Lues, untuk mencari kemungkinan kerjasama dengan Taiwan dengan langkah awal, sosialisasi pemakaian e-learning di sekolah sekaligus memperkenalkan open dan free software untuk sekolah”, tuturnya.
Fasilitas National United University (Taiwan) yang memadai seperti lengkapnya perpustakaan dan terhubungnya kampus dengan seluruh penyedia jurnal internasional, sangat memudahkan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik, ditambah lagi setiap dosen menganut sistem “threat your teacher as your friend“, artinya dosen ramah dan selalu memantau progress mahasiswanya karena ketua jurusan akan menegur dosen yang tidak perduli dengan mahasiswanya.
“Tidak harus membaca Al-Ikhlas dulu jika ingin bertemu” seloroh Ima, “dan tidak ada dosen project, yaitu dosen yang lebih mementingkan project daripada kuliah dan bimbingan mahasiswanya”.
Keinginan Ima sederhana, “ingin bergegas menambah kapasitas diri secara moril seperti kecerdasan, kedewasaan, kesederhanaan dan secara materil, karena dengan memiliki lebih tentu bisa memberi lebih banyak.” Dalam waktu dekat Ima ingin melanjutkan sekolah ke jenjang S3.
Pembangunan Pendidikan Di Gayo Lues Setengah-setengah
Menurut Ima, arah kebijakan Pemerintahan Gayo Lues masih setengah-setengah dalam pembangunan pendidikan “misalnya e-learning untuk sekolah menengah, mereka punya program one laptop per class tapi gurunya tidak dilatih untuk menggunakannya, pengadaan internet untuk sekolah unggul pun tidak diupayakan, lalu untuk apa e-learning?” ujarnya dengan nada tanya.
“Tetapi dengan pengadaan e-learning tidak lantas siswa kita langsung setara kemampuannya dengan siswa di pulau Jawa, tetap harus dibarengi dengan kualitas guru dan perbaikan lingkungan belajar siswanya yaitu dengan menumbuhkan minat baca dan belajar sedari dini, seperti di TK sediakan buku-buku yang menarik.
Di tingkat selanjutnya tantang siswa untuk menguraikan kembali apa yang sudah dibacanya, akan lebih baik jika dibuat sebuah komunitas baca yang sifatnya wajib seperti pramuka. Dan tentu saja, gurunya jg harus guru yang rajin membaca“ terang perempuan kelahiran Belangkejeren 13 oktober 1982 ini.
“Pendidikan adalah investasi yang tidak pernah merugikan, salah satu parameter suatu daerah dikatakan maju dilihat dari jumlah S1, S2, dan S3nya. Apapun kebijakan yang ingin dibuat, jika SDM tidak diperhatikan terkesan percuma, para putra daerah hanya mampu menjadi penonton nantinya,” imbuhnya.
Gayo, Jangan Lagi Besebuku
Pesannya kepada pembaca Lintas Gayo “yang harus selalu kita tanamkan dalam diri kita bahwa, kepintaran saja tidak cukup, akan tetapi keberanian untuk menyatu dengan lingkungan seperti apapun, kerja keras, dan fokus kepada tujuan hidup akan membuat kita lebih dekat dengan apa yang menjadi impian kita. Masyarakat Gayo sudah tak zamannya lagi melanjutkan sebuku tentang ketertinggalan dan keterisoliran, bukan lagi saatnya mengeluh tentang kebodohan dan kemiskinan, tetapi mari bersama-sama kita emban kondisi ini dengan memperbaiki sesuai kapasitas diri atau berbuat sesuai bidangnya”.
“Bagi pemimpin jika ingin memajukan daerah, rangkullah orang-orang yang pintar dan memiliki kapasitas, bukan karena ia anak keponakan tetapi mendapatkan ijazah dari universitas antah berantah. Kalaulah masih demikian cara pandang para pengambil kebijakan, 10 tahun kedepan kita harus siap-siap mendengar urai sebuku yang lebih pilu dari yang pernah kita dengar saat ini.”
(Ria Devitariska/03)
.