Bukan Hari Emak Tapi Hari Kebangkitan Perempuan

Catatan: Muhammad Syukri *)

Foto : doc Humas Pemkab AT

Upacara memperingati Hari Ibu di Takengon, berlangsung cukup meriah. Acara ini berlangsung di lapangan kantor Bupati Aceh Tengah dengan peserta dan personil upacaranya adalah para perempuan. Komandan upacara dan penggerek bendera yang berasal dari personil Polwan, pembawa acara, pembaca Pembukaan UUD 1945 sampai kepada yang memimpin pembacaan doa pun adalah perempuan.

Hari ini, penampilan para perempuan itu benar-benar lebih hebat dan lebih berani dari laki-laki. Sebab, tidak semua laki-laki mampu menjadi komandan upacara atau pembawa acara seperti yang sudah mereka lakukan. Melihat penampilan mereka tadi pagi, perlu ditegaskan: siapa bilang perempuan belum setara dengan laki-laki?

Pada saat seorang perempuan tampil kedepan microphone untuk membacakan sejarah hari ibu, tercatat beberapa hal penting dan berusaha memahami kata per kata yang disampaikannya. Tadi pagi baru dipahami bahwa penetapan tanggal 22 Desember sebagai hari ibu didasarkan kepada pertemuan para perempuan pejuang pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Gedung Dalem, Jayadipuran Yogyakarta.

Pertemuan para perempuan pejuang itu diilhami oleh semangat perjuangan kaumnya di abad ke-19, seperti Cut Nyak Dhien, Cut Meuthia, Laksamana Malahayati, Maria Christina Tiahahu, R.A Kartini, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan, dan lain-lain. Semangat mereka dianggap sebagai titik tolak dan tonggak kebangkitan semangat perjuangan kaum perempuan Indonesia.

Penetapan tanggal 22 Desember sebagai hari ibu ditetapkan dalan Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938. Kemudian Bung Karno melalui Dekrit Presiden Nomor 316 Tahun 1959 mengukuhkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu yang dirayakan secara nasional sampai tadi pagi. Pada awalnya, misi diperingatinya Hari Ibu adalah untuk mengenang semangat dan perjuangan kaum perempuan dalam rangka upaya perbaikan kualitas bangsa. Ini misi yang cukup mulia.

Sekarang, merayakan Hari Ibu konotasinya lebih kepada upaya mengungkapkan rasa sayang dan cinta kepada ibu, serta membebaskan mereka dari pekerjaan rumah tangga satu hari ini. Hari Ibu dalam konteks kekinian yang banyak dilakoni dan diyakini orang sampai tadi pagi sebenarnya adalah memperingati “Hari Emak.” Boleh jadi, pergeseran makna ini karena faktor ketidaktahuan kita terhadap sejarah lahirnya Hari Ibu atau terpengaruh kepada peringatan Mother’s Day di Eropa.

Logikanya, kalau harus memperingati “Hari Emak” kenapa mesti hari ini saja? Emak dalam menjaga dan membesarkan kita bukan sehari, tetapi setiap hari sepanjang tahun. Apabila hanya hari ini diperingati, berarti tidak menghargai jasa emak. Seolah-olah selama ini kita telah melupakan jasa seorang emak, baru teringat emak begitu tiba tanggal 22 Desember.

Bila ingin memperingati hari emak yang “surga” di bawah telapak kakinya, tentu harus setiap hari. Sejak mata kita bisa melihat emak, sampai mata ini tertutup untuk selamanya. Kecuali bagi mereka yang emaknya telah terlanjur ditempatkan di panti lansia, maka pada hari ini kesempatan mereka menjenguk emaknya sambil merayakan Hari Ibu bersama-sama.

Nah, mencermati sejarah lahirnya Hari Ibu dan logika hari emak, terbuktilah bahwa tanggal 22 Desember itu sesungguhnya adalah peringatan atas kebangkitan perempuan dan peringatan atas keberanian pejuang perempuan menghadapi kaum penjajah. Jadi, istilah “Hari Ibu” itu sebenarnya lebih tepat disebut sebagai “Hari Kebangkitan Perempuan.”

Dengan demikian, peringatan Hari Ibu di Indonesia berbeda dengan peringatan Mother’s Day di Eropa. Orang Eropa berangkat dari kebiasaan memuja Dewi Rhea, isteri Dewa Kronos yang merupakan ibu para dewa dalam sejarah Yunani Kuno. Oleh karena itu, di negara-negara tersebut peringatan hari ibu atau Mother’s Day jatuh pada bulan Maret.

*) Penulis tetap pada situs berita online Lintas Gayo

.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.