Menela’ah Mutu Pendidikan Kita

Oleh Johansyah*

Mutu Pendidikan Indonesia dinilai masih sangat rendah. Ini berdasarkan penilaian Human Develovment Index atau Indek Pengembangan Manusia  (IPM) 2011 bidang pendidikan, manusia Indonesia berada di urutan  ke-119 dari 187 negara. Di Asia Pasifik, Indonesia di urutan ke-12 dari 21 negara. Adapun IPM Indonesia 2011 sebesar 0.617 dan menempati peringkat ke-124 dari 189 negara, berada di bawah Singapura, Brunai, Malaysia, Thailand, serta Filipina (Kompas, 14/12/11).

Kondisi ini tentunya membuat kita miris. Betapa tidak, Undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Bab XIII, bagian keempat, tentang pengalokasian dana pendidikan, pasal 49, ayat (1), dengan jelas dinyatakan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan, dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Sebagaimana dirilis harian Kompas (14/11), bahwa dana pendidikan dalam APBN terus mengalami kenaikan. Jika tahun 2009 anggaran pendidikan Rp 208 triliun, tahun 2010 naik menjadi Rp 225.2 triliun, tahun 2011naik menjadi 248.9 triliun, dan tahun 2012 naik mejadi 281.4 triliun. 78 triliun dikelola oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (kemdikbud) dan 30 persen untuk dikelola oleh Kementerian Agama (kemenag).

Melihat kenyataan ini, kita akan teringat sebuah pepatah lama ‘arang habis besi binasa, yang tiup payah saja’. Dana yang begitu besar ternyata hanya menjelma menjadi arwah gentayangan, ada namun tidak pernah kelihatan dalam wujud nyata mutu pendidikan. Memang, tingginya anggaran pendidikan tidak menjamin sepenuhnya mutu pendidikan, masih banyak aspek lain yang memengaruhinya. Namun penulis yakin anggaran yang tinggi menjadi salah satu faktor utama dalam meningkatkan mutu pendidikan.

Penyebabnya tidak lain karena penyaluran dana pendidikan yang tidak banyak bermuara pada substansinya, yaitu pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM). Hal ini bukanlah karena ketidaktahuan atau rendahnya wawasan manajemen pengelola pendidikan kita, melainkan lebih kepada motivasi dan pola pikir ‘berapa untuk saya’ dari setiap dana yang digulirkan, dan itu gudangnya ada pada proyek-proyek pembangunan fisik pendidikan, bukan pembangunan SDM-nya.

Jika demikian, mutu pendidikan yang stagnan ini lebih disebabkan oleh dekadensi moral pengelola pendidikan di negeri ini. Hal ini terlihat dari individualisme, materialisme, dan hedonisme yang terus mengakar, menjalar dan membudaya dalam birokrasi kita. Tidak mengherankan kemudian, apabila saat ini orang-orang yang dianggap aneh itu adalah orang yang jujur, konsisten, dan tidak mau sunat-sunatan jatah orang lain. Katanya, bukan jamannya lagi seperti itu.

Dengan kondisi mental yang sangat parah tersebut, anggaran pembangunan di bidang SDM pendidikan sendiri, tampaknya lebih cenderung pada hal-hal administratif dan berbau formalitas semata. Contoh terkecil adalah sertifikasi guru. Dengan dana yang begitu besar untuk membayar guru yang sudah sertifikasi, kita belum melihat wujud nyata dari keprofesian mereka dalam menata pendidikan ke arah yang lebih baik. Hal ini belum lagi membongkar masalah-masalah lain dalam profesi keguruan, seperti rekrutment, dan penempataan guru.

Harus Dibenahi

Kini, kita telah memasuki gerbang tahun 2012 dan meninggalkan 2011. Sesuai dengan ekspektasi Nabi Muhammad SAW, hendaknya hari ini lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok lebih baik dari hari ini (Hadits). Sejatinya pendidikan kita juga demikian, lebih baik dari tahun lalu dan pada masa yang akan datang, bukan malah sebaliknya. Untuk itu, tugas kita bersamalah untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan dengan kapasitasnya masing-masing. Dulu, banyak yang berkoar bahwa rendahnya mutu pendidikan karena rendahnya dana pendidikan kita. Kini alasan apalagi yang kita karang?.

Terkait masalah ini, ada dua pokok persoalan yang harus dicermati dalam membenahi pendidikan, yakni moral dan manajemen (2M). Moral adalah  operating system bagi manusia yang harus bersih dari virus-virus merusak. Manakala dia dihinggapi banyak virus, maka sistem kerja manusia tidak akan berjalan dengan baik, bahkan sangat berpotensi merusak. Untuk itu, tidak ada cara lain kecuali scan  virus atau install ulang batin bagi orang yang terinveksi.

Proses instal ulang batin dalam membangun moral dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu membangun kesadaran moral dan penegakan hukum. Cara pertama barangkali sulit dan sedikit sekali yang mampu melakukannya. Dalam Islam, barangkali kata yang populer adalah tobat, yakni mengakui kesalahan dan dosa untuk kemudian berjanji tidak mengulanginya kembali. Cara yang kedua adalah penegakan hukum atas pelaku kejahatan. Aspek inilah yang tampaknya sangat lemah di Indonesia, para penjahat sering bermain mata dengan para penegak hukum, apalagi terkait kasus korupsi.

Kita berharap pernyataan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Baru (KPK) Abraham Samad, untuk menghukum gantung para koruptor (Serambi, 20/12), bukan gertak sambal belaka melainkan dapat dibuktikan agar penegakan hukum di negeri ini lebih baik. Demikian halnya kejaksaan dan kepolisian agar bahu membahu memberantas kejahatan dalam upaya menegakan hukum dan membangun moralitas bangsa.

Permasalah pokok kedua yang harus diperhatikan dalam membenahi pendidikan adalah manajemen. Untuk membangun pendidikan yang bermutu kita tidak cukup dengan hanya bermodalkan moral dan orang yang baik, melainkan harus ada manajemen. Sebagai contoh penataan manajemen, akhir tahun 2011 kemarin Kemendikbud menarik kewenangan daerah (kabupaten/kota) ke pusat terkait dengan pendistribusian guru, melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) lima menteri, dan terkait pengelolaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Akhirnya, perubahan apapun yang kita lakukan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, semuanya akan nihil tanpa dilandasi oleh kekuatan moral. Ketika Nabi Muhammad SAW diutus, misi utamanya adalah membangun akhlak (karakter), karena masyarakat Mekah kala itu krisis akhlak, bukan pengetahuan. Sekarang, kita juga demikian, orang cerdas yang berpendidikan tinggi semakin banyak, tapi orang yang bermoral sangat sedikit.

Inilah yang menjadi PR besar bersama. Melalui 2M (moral dan manajemen), kita berharap dana pendidikan yang melimpah ini benar-benar dimanfaatkan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Dana plus dan mutu juga plus. Semoga!

*Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor PPs IAIN Ar-Raniry Banda Aceh

.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.