Oleh Johansyah*
ADA sebuah hadits; ‘Diriwayatkan oleh Wabishah bin Ma’bid ra, aku menemui Nabi Saw, kemudian beliau berkata kepadaku; Engkau datang ingin bertanya tentang kebaikan? Lalu aku menjawab, ya. Kemudian Beliau berkata lagi, tanyalah pada hatimu, kebaikan adalah sesuatu yang menimbulkan ketenangan diri dan ketentraman jiwa. Sedangkan kejelekan merupakan hal yang meresahkan diri dan menimbulkan keraguan dalam hati, meskipun kau menanyakan orang lain dan mereka menjawabnya’ (HR Ahmad).
Salah satu pesan esensial yang dapat di ambil dari hadits ini adalah tentang relasi kebaikan dan kebebasan batin. Ketika mengkaji masalah kondisi batin seseorang, kita akan melihat hubungan mesra antara kedua kosa kata ini, nyaris tidak ada celah untuk mengatakan bahwa keduanya adalah kata otonom yang memiliki makna berdiri sendiri.
Bila melihat kenyataan saat ini, betapa banyak orang yang tidak pernah menghargai kebebasan batinnya. Bahkan cenderung memasungnya dengan mengikuti hawa nafsu (ambisi) dan rayuan setan, sehingga nekat melakukan tindak penyimpangan. Dalam benaknya terpikir bahwa dia orang kaya dan punya banyak saudara pejabat, maka sekiranya ditindak karena perbuatannya, ia akan menyewa pengacara handal, menyuap hakim, atau menggunakan kekuatan kelompok untuk membebaskannya.
Barangkali koruptor yang berhasil lolos dari jerat hukum dan penjara karena kekayaan dan jabatan sehingga semua bisa diatur sesuai keinginan. Namun rekayasa yang dilakukannya untuk menutupi kesalahan akan menjadi virus-virus kegelisahan yang merusak surga kedamaian dalam hatinya, meskipun dia divonis bebas. Kebebasan semacam ini adalah kebabasan semu.
Contoh dekat adalah Nunun Nurbaeti, tersangka dugaan kasus suap cek perjalanan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004, ketika lari ke luar negeri dengan alasan berobat, berusaha terbebas dari jerat hukum agar dia tidak dipenjara?. Sesungguhnya dia tidak pernah bebas dari belenggu jiwa, akan terpenjara selamanya oleh kesalahan yang dia perbuat. Bukankan itu bertambah pedih ketika dia ditangkap, di bawa pulang ke Indonesia dan akhirnya diproses hukum juga.
Di mana pula letak kebabasan orang yang melakukan aksi pembunuhan, pencurian, pemerkosaan, dan orang yang suka menjelekkan orang lain?. Tidak akan ada kata kebebasan bagi dirinya selain terror yang terus menghantui dan kegelisan batin yang terus menyandera kehidupannya. Dia tidak akan pernah merasa nyaman berada di tengah keramaian dan selalu menatap orang lain penuh curiga, seakan ingin menangkapnya. Kebebasannya sudah terenggut.
Buya Hamka pernah mengatakan, ‘surga mana lagi yang kamu cari, bukankah kebaikan itu adalah surga bagimu, dan neraka mana lagi yang kamu cari, bukankah kejahatan itu neraka bagimu?’. Apa yang ingin ditegaskan oleh Buya Hamka di sini bahwa betapa kebaikan yang dilakukan seseorang akan melahirkan kepuasan batin dan kebahagiaan, itulah hakikat kebebasan dan surga. Sementara ketika seseorang melakukan kejahatan, maka dia tidak akan pernah merasa tenang, selalu dihantui dan seolah-olang ada yang mengejarnya, dan itu yang digambarkan oleh beliau sebagai neraka.
Coba lihat dan rasakan sendiri, ketika seseorang bersadakah, menolong orang lain ketika sulit, peduli terhadap sesama, melakukan tugas penuh amanah dan tanggung jawab, menghormati orang lain, setia kawan, serta bentuk kebaikan-kebaikan lainnya. Tentu batinnya akan puas dan berada pada level kebebasan yang tidak terhingga. Sebaliknya seseorang yang melakukan aksi kejahatan akan gelisah dan berusaha menutupinya karena dia tau bahwa itu salah dan dibenci orang lain. Ini sesuai dengan Sabda Nabi Saw; kebaikan adalah akhlak yang baik, sedangkan dosa adalah segala hal yang mengusik jiwamu dan engkau tidak suka jika orang lain melihatnya” (HR.Muslim).
Jika demikian, maka sesungguhnya manusia yang benar-benar bebas adalah mereka yang berbuat kebaikan, sekalipun berada di penjara karena memperjuangkan keadilan. Sebailknya, sesungguhnya banyak orang yang terpenjara walaupun dia berada di alam yang bebas, tinggal di rumah mewah, memiliki kekayaan yang berlimpah, istri yang cantik, dan anak-anak yang berpendidikan tinggi, namun tetap tersandera oleh batinnya karena akumulasi kesalahan yang diperbuatnya.
Muara dari setiap kebaikan adalah kebahagiaan jiwa, dan berbagi kebaikan juga berbagi kebahagiaan. Sebaliknya, muara dari setiap perbuatan yang buruk adalah kegelisahan batin. Ketika kita berbuat buruk maka berarti kita menularkan keburukan kepada orang lain dan yang tentunya mendatangkan mudarat dan kerugian bagi semua.
Kebaikan buah dari iman
Meskipun kebaikan itu ada dalam diri masing-masing manusia, namun tidak semua dapat mewujudkannya. Kebaikan dalam jiwa manusia hanya akan tumbuh subur seiring dengan penguatan dan pengukuhan iman dalam diri seseorang. Kebaikan merupakan bukti ketinggian keimanan seseorang. Semakin tinggi imannya maka akan semakin sempurna akhlaknya. Dalam hal ini, ada sebuah hadits; ‘Dari Abu Hurairah ra berkata bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, ′Sesempurna-sempurnanya keimanan seorang mu′min adalah yang terbaik akhlaknya’ (HR. Abu Daud).
Lalu bagaimana agar kebaikan itu tumbuh bersemi agar mengakar ke bumi dan berpucuk ke langit?. Banyak cara yang dapat kita tempuh; pertama, kita harus saling mendukung dalam kebaikan. Firman-Nya;, “… Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah kalian bertolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan …” (QS. Al-Maidah: 2). Kedua, memulai dari diri sendiri sebelum menyuruh orang lain berbuat baik, dalam firman-Nya ditegaskan; ‘Mengapa kalian memerintahkan orang lain untuk mengerjakan kebaikan, sedangkan kamu melupkan dirimu sendiri, padahal kalian membaca al-kitab (Taurat), maka tidakkah kamu berfikir?’ (QS Al-Baqarah: 44).
Ketiga, membiasakan diri dengan berbuat baik, kapan dan di manapun dan menutupi kesalahan dengan kebaikan, seperti hadits Nabi Saw; ‘Bertaqwalah kamu kepada Allah dimanapun kamu berada, iringilah kesalahan kamu dengan kebaikan niscaya ia dapat menghapuskan dan pergauilah semua manusia dengan budi pekerti yang baik’ (HR. Tirmidzi). Dan keempat, bertemanlah dengan orang baik. Jika kita berteman dengan tukang parfume maka akan kebagian wanginya, begitu juga berteman dengan orang baik, akan kebagian baiknya.
Ingatlah, bahwa berbuat baik berarti berusaha untuk bebas dan bahagia, dan berbuat jelek berarti berusaha memenjara dan membelenggu diri. Mana yang kita pilih?.
.
*Penulis adalah Dosen STAI Gajah Putih Takengon