Yusra Habib Abdul Gani*
TEPAT pada 27 Desember 2011, 375 tahun sudah Iskandar Muda meninggalkan kita. Figur politisi Aceh yang ulung di abad ke-16 ini, tetap bersemi dalam sanubari orang Aceh. Walaupun pakar sejarah Aceh tidak lengkap mengisahkan riwayat hidup beliau, tetapi beruntung “La Grand Encyclopedie. An authoritative 17th century French map”, berhasil menunjukkan peta wilayah kedaulatan Royame D’Achem (Kingdom of Acheh) semasa Iskandar Muda berkuasa, meliputi: Sumatera, Tanah Semenanjung Malaya, hingga ke Kalimantan (Borneo) Barat dan Jawa Barat; yang diterbitkan oleh pemerintah Perancis.
Itu sebabnya, orang tidak akan melupakan engkau, Sultan! Dengan begitu, generasi Aceh sekarang tidak kehilangan jejak sejarah dan tidak sesat meneruskan perjalanan masa depannya.
Walaupun demikian, geliat politik dunia selalu berubah, akibat daripada perang melawan kolonial yang berkepanjangan dan seiring dengannya, tapal batas wilayah kedaulatan Aceh menyempit; sebagaimana digambarkan dalam A contemporary English map, 1883. Published as Suplement to The Graphic, London, September 22, 1883. Another contemporary English map, Published by Fullerton & Co, London, Dublin & Edinburg, 1890.” Kedua peta ini memperlihatkan bahwa: batas wilayah kedaulatan Aceh mencakup sebagian Sumatera: ke sebelah Barat sampai Padang Pariaman, Sumatera Barat. Ke sebelah Timur, hingga Sungai Kampar, Riau. Ini berarti, kembali semula kepada batas wilayah kedaulatan Aceh sewaktu Ali Mughayat Syah berkuasa tahun 1500-an. Untuk dimaklumi bahwa: batas wilayah kedaulatan Aceh inilah yang dituntut supaya diserahkan kepada Belanda, yang dalam “Ultimatum” penguasa militer Belanda pada 26 Maret 1873, antara lain menyebut: “Aceh mesti serahkan wilayah kedaulatannya atas sebagian Sumatera.” Ratusan tahun kemudian, batas wilayah Aceh menyusut berdasarkan UU. No.24/1956, UU. No. 18/2001 dan UU no.11/2006, seperti yang wujud dan kita kenal sekarang.
Bertuah, Davis-saksi mata- yang pernah berkunjung ke Aceh memberi kesaksian bahwa: “They have divers termes of payment, as cashes, mas, cowpan, pardaw, tayell.” (baca: Denys Lombard. Kerajaan Aceh. Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636).Balai Pustaka, Jakarta 1986. Mata uang Kerajaan Aceh ini beredar pula di beberapa negara-negara tetangga, sebagaimana diakui dan digambarkan secara detail oleh J.B. Tavernier,tahun 1679. (Baca:Les six voyages, jilid II, halaman. 601-602). Ini pula alasannya, orang tetap mengenang engkau, Sultan! Beberapa ragam mata uang Aceh dipakai sebagai alat pembayar dan transaksi sampai tahun 1874. Kini, mata uang tersebut disimpan dalam museum di negeri Belanda, Perancis dan di tangan kolektor-kolektor partikuler barang-barang antik.
Berbahagia, ada surat Iskandar Muda kepada pemerintah Perancis bertinta emas di atas kertas yang sangat halus; tulisannya dikelilingi oleh beberapa hiasan emas dan gambar, yang membuktikan bahwa Aceh punya peradaban tinggi. Naskah aslinya disimpan di Museum Paris, Perancis. Itu sebabnya, orang selalu mengingat engkau, Sultan!
Terpesona, karena Aceh pernah menjadi pusat peradaban Islam, budaya Melayu dan perdagangan, di mana saudagar-saudagar asing datang membeli lada hitam, kapur Barus, buah Pinang dan barang ekspor lainnya, termasuk membayar bea-cukai kepada semua kapal asing yang melintasi Selat Melaka. Beban bea-cukai ini merupakan implementasi dari MoU antara Aceh-Inggris yang disepakati pada tahun 1603. Para pedagang asing, seperti diakui Davis; kerap mengaku mengeluh atas patokan harga, tetapi Iskandar Muda tegas berkata: “Barang-barang yang kami ekspor berkualitas tinggi, jika saudara mau beli dengan harga yang ditetapkan, bayar! jika tidak: pulang ke negeri tuan.” Para pedagang asing terpaksa membeli walaupun harganya mahal, sebab mereka memerlukannya. Ini merupakan kisah menarik yang telah mengharumkan lembaran sejarah Aceh. Karena itu, orang selalu mengagumi engkau, Sultan!
Bangga, oleh sebab Iskandar Muda berhasil menjalin persahabatan, hubungan diplomatik dan perdagangan dengan negara-negara terkemuka di dunia, seperti: Portugis, Sepanyol, Inggris, Perancis, negara-negara Arab, India dan Cina. Lebih daripada itu, di saat Barat masih meraba-raba dengan konsep nasionalisme dan bernegara, Iskandar Muda sudah lebih awal meletakkan dasar dan melaksanakan prinsip ,separation and distribution of power”, dalam: “Adat bak po-teumeuruhôm, hukum bak Syiah Kuala, qanun bak Putroë Phang, reusam bak Bintara”. Artinya: Aceh lebih unggul dan mengawali teori “contract social” atau “Trias Politika” (Theory of separation of powers) Montesquieu (1689-1755) yang telanjur dibangga-banggakan itu. Itu sebab itu, orang tak akan dapat menafikan ide engkau, Sultan!
Dalam konteks ini, Barat baru sadar dan belajar mendirikan suatu pemerintahan yang berwibawa; sesudah Tariq Ibn Ziyad mengalahkan pasukan Visigoth hingga berjaya menguasai Andalusia, Cordova, dan Toledo di Spanyol. Sejak itulah Bani Umayyah memperkenalkan model kepemimpinan Islam, sistem kekhalifahan. Seterusnya, dilanjutkan oleh kekhalifahan Usmaniyah Turki, di mana Aceh -satu-satunya negeri dari kawasan Dunia Melayu- yang ikut bergabung di dalamnya. Dalam kaitan ini dikatakan: “Pada abad ke-16, Dunia Islam sudah menjadi berkuasa kembali kaya raya, mewah dan penuh kebesaran. Orang-orang Islam masa itu-di Maroko, Istambul, Isfahan, Agra, Aceh-adalah pembina-pembina sejarah yang berhasil.” (Prof. Wilfred Cantwell Smith, “Islam in Modern History”, 1975, p.38). Oleh karena itu, hati orang Aceh selalu bergetar bila menyebut nama engkau, Sultan!
Iskandar Muda, satu-satunya figur politisi masyhur di Asia Tenggara yang berjaya meletakkan nilai-nilai islami yang bersumber dari Alquran dan Hadits sebagai konstitusi negara yang dituangkan dalam Qanun Al-Asyi dan menghormati eksistensi Mahkamah Qadhi Malikul ‘adil. Demikian pula paham nasionalisme yang berteraskan kepercayaan dan agama. Hal ini nampak dari konsep “Ummatan Wahidah”, yang dipakai untuk menyatukan administrasi dan mempersatukan kekuatan dunia Melayu untuk melawan kolonialisme.
Pada permulaan abad ke-19, pemikir politik Eropa baru sadar bahwa keyakinan dan agama ternyata boleh melahirkan nasionalisme, seperti diakui oleh Prof. Sebastian de Grazia: “Dasar persamaan dan kesatuan yang terpokok sekali dari sekian warga negara ialah keyakinan dan agama mereka yang memperlihatkan dan menyatukan cita-cita mereka mengenai hubungan antara satu dengan lainnya dan antara mereka dengan pemeritahnya. Dengan tiada keyakinan dan agama itu, dengan tiada persamaan ini, maka boleh dikatakan bahawa masyarakat itu tidak ada.” (Prof. Sebastian de Grazia. The Political Community.)
Dalam rangka haul Iskandar Muda, riwayat di atas dapat dijadikan barometer dan studi pembanding untuk mengukur siapa kita di depan cermin sejarah Aceh. Yang pasti, Iskandar Muda berjaya membangun tradisi berpikir ilmiah, melahirkan sederetan ulama terkemuka, membina peradaban dan martabat Aceh yang tegar, disegani, diteladani, dan bermarwah. Dalam radius “marwah” inilah Iskandar Muda mengukir prestasi. Jadi, marwah Aceh sebenarnya: kedaulatan atas tanah, ekonomi, hukum, agama, ilmu pengetahuan, moral, etika, tradisi, resam, kebudayaan dan politik/kekuasaan. Semoga kita damai dalam dua dunia yang berbeda, Sultan!
* Penulis adalah Director Institute for Ethnics Civilization Research, Denmark
(Sudah pernah dimuat di harian Serambi Indonesia, oleh penulisnya diizinkan untuk dimuat kembali di situs Lintas Gayo)
.