Oleh Johansyah*
GANTI menteri maka berubahlah kebijakan. Inilah yang terjadi dalam dinamika perkembangan pendidikan Indonesia, terutama terkait dengan rencana pengembalian kendali pengelolaan dan pembinaan pendidikan yang desentralistik ke sistem sentralistik. Inilah wacana yang lagi hangat dibincangkan oleh berbagai media massa seiring dengan peringatan hari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) ke-66 bulan lalu.
Di antara wacana kembali ke sentralisasi adalah penarikan kewenangan pendistribusian guru dari daerah oleh pusat melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) lima menteri, karena daerah dianggap gagal mengemban tugas ini (serambi, 29/11). Selain itu, daerah kabupaten/kota juga tidak lagi diberi kewenangan dalam penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) mulai awal tahun 2012, urusan ini akan dilimpahkan ke pusat (provinsi), sebagaimana yang disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhammad Nuh ketika mengadakan pertemuan dengan jajaran pendidikan di Aula Dinas Pendidikan Aceh (Serambi, 30/11).
Mencabut kewenangan daerah jelas akan berbenturan dengan Otonomi daerah sebagaimana yang sudah tertata dalam Undang-undang (UU) Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, dan UU Nomor 25 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom.
Otonomi dan desentralisasi sendiri merupakan buah dari proses transisi pemerintahan orde baru ke era reformasi dengan spirit perubahan yang menggelora dari kelompok-kelompok yang menginginkan perubahan dan pembaruan. Otonomi juga merupakan bentuk kepercayaan kepada Pemerintah Daerah dan sebagai wujud demokrasi dengan memberikan kewenangan di seluruh bidang pemerintahan, kecuali beberapa hal sebagaimana disebutkan dalam UU Pemerintah Daerah, bab empat tentang kewenangan daerah, pasal 7 ayat (1).
Konsep otonomi dan desentralisasi pendidikan tentunya sangat bagus, sebagaimana digambarkan H.A.R. Tilaar (2002: 20) bahwa setidaknya ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan yaitu pembangunan masyarakat demokrasi, pengembangan sosial kapital dan peningkatan daya saing bangsa.
Sayang, ternyata dalam implementasinya banyak persoalan yang muncul di daerah, salah satunya adalah pendistribusian guru yang sedang menjadi sorotan saat ini. Masalah lain yang menonjol dari sistem desentralisasi adalah makin terbukanya ruang gerak bagi pelaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), dan melahirkan penguasa-penguasa kecil yang berkehendak sesuai keinginan mereka. Buktinya, berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu, bahwa 73 persen perkara yang ditangani adalah korupsi di daerah. Ini artinya tindak kejahatan korupsi di daerah sangat tinggi dan peluangnya sangat besar.
Namun demikian, kembali ke sentralisasi juga belum tentu menjadi solusi cerdas dalam menyelesaikan masalah pendistribusian guru atau masalah-masalah lain yang selama ini dipercayakan kepada daerah kabupaten/kota. Salah satu kendalanya kemudian adalah wilayah Indonesia yang sangat luas sehingga sulit dikendalikan. Lagi pula, tidak ada garansi bahwa pengelola tingkat pusat tidak akan melakukan hal sama yang dilakukan oleh daerah.
Harus Dikaji
Terhadap permasalah ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta kepada Mendikbud untuk mengkaji serius wacana pengelolaan dan pembinaan yang disentralisasi lagi, jangan diputuskan secara tergesa-gesa dan emosional. Hal ini beliau ungkapkan ketika menghadiri Hari Guru Nasional dan HUT PGRI ke-66 di Sentul International Convention Center, Bogor beberapa waktu lalu (Kompas, 01/12).
Menindaklanjuti himbauan presiden ini, penulis coba memberikan beberapa pandangan, terutama terkait dengan masalah pendistribusian guru dan penyaluran dana BOS. Pertama, bertahan dengan sistem desentralisasi, namun pemerintah pusat harus melakukan pengawasan dan evaluasi yang terencana dan rutin bagi setiap produk kebijakan daerah, sebab keberanian aparat di tingkat daerah untuk membuat aturan dan kebijakan semaunya, karena merasa sudah memiliki kewenangan penuh. Inilah yang perlu dievaluasi dan ditertibkan.
Kedua adalah pengelolaan pendistribusian guru kembali ke pusat (sentralisasi), sebagaimana SKB lima menteri, namun pemerintah harus sadar betul akan kelemahan sentralisasi beberapa tahun yang lalu, sebab wacana desentralisasi sendiri muncul karena adanya kelemahan dalam sistem sentralisasi. Maka sejauh persoalan ini dapat ditelisik dan ditutupi maka boleh jadi pendistribusian guru yang sentralistik akan lebih baik. Sebaliknya, jika tidak hati-hati, maka kebijakan ini boleh jadi akan menjadi persoalan baru dalam dunia pendidikan kita.
Ketiga, penggabungan sistem sentralisasi dan desentralisasi pendidikan, di mana dalam hal ini, baik pusat maupun daerah memiliki kewenangan masing-masing. Artinya Pemerintah Pusat mengambil alih kewenangan pendistribusian guru, namun daerah-daerah harus dilibatkan. Sistem ini tampaknya akan lebih efektif dalam memaksimalkan sistem pengelolaan distribusi guru, atau penyaluran dana BOS. Dengan adanya pembagian kewenangan yang jelas ini maka kemungkinan pengeloaan pendidikan akan lebih tertata dengan baik.
Terlepas dari sistem sentralisasi atau desentralisasi dalam sistem pengelolaan pendistribusiaan guru, hal pokok yang harus menjadi perhatian bersama adalah SDM yang menjadi pengelola bagian ini. Dengan sistem sebaik apapun, tanpa dukungan SDM yang berkualitas, jujur, berdedikasi tinggi, disiplin, dan syarat ideal lainnya, maka pengelolaan pendistribusian guru maupun penyaluran dana BOS akan tetap menjadi masalah dengan motif yang beragam. Untuk itu kebijakan pusat sejatinya bukan terfokus pada sistem sentralisasi atau desentralisasinya, melainkan pada perbaikan dan pembinaan tenaga pengelolanya.
*Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor PPs IAIN Ar-Raniry Banda Aceh