Oleh Sabirin*
Dalam mencari penghidupan, orang-orang Cina lebih memilih untuk berdagang, berbeda dengan bangsa pribumi yang lebih senang dengan menjadi pegawai, terutama menjadi PNS (Pegawai Negri Sipil) dan itu bukan hanya kita lihat di kota besar saja namun merambah ke propinsi, kabupaten khususnya tempat saya sendiri, kabupaten yang kecil yang berada di tengah propinsi Aceh dimana perkiraan saya 60% kaum mudanya menempuh pendidikan keluar daerah, namun setelah menyelesaikan studinya mereka berlomba-lomba dan bersaing untuk merebut “KURSI EMAS” alias PNS. Dalam dunia kampus telah diberikan soft skill kepada mahasiswa agar mampur berinovasi, kreatif dan mampu menciptakan peluang hidup mandiri dengan berwirausaha ( penciptaan lapangan kerja), kita seharusnya malu terhadap orang-orang Cina dimana kepiawaian mereka dalam berdagang sudah menjadi rahasia umum. Orang-orang Cina tidak suka mendapat gaji dan menjadi pekerja.
Mereka menanamkan prinsip bahwa orang yang digaji tidak akan memiliki kedudukan sosial yang lebih tinggi di masyarakat. Orang Cina lebih memilih membuka usaha sendiri, meski dengan skala yang sangat kecil. Bagi mereka, menjadi bos kecil lebih bermartabat ketimbang bekerja sebagai karyawan. Orang Cina beranggapan, sampai kapanpun dan sebesar apa pun gaji pegawai, tetap saja dia buruh. Orang Gayo justru sebaliknya jika seorang anak yang sudah mendapatkan gelar SARJANA mereka diultimatum oleh orang tuanya agar menjadi PNS, karena PNS menurut mereka adalah kesuksesan luar biasa, ditambah lagi memakai seragam coklat yang membuat orang tua dan keluarga menjadi bangga.
Namun lain halnya dengan kaum muda gayo, yang mulai meniti karir menjadi pengusaha dalam berniaga selalu dianggap remeh oleh masyarakat kita pada umumnya, dan terlontar ucapan “ sana gune e gep-gep sekulah ku jewe, sumatra ike ulak mekat wa” ungkapan ini yang selalu penulis jumpai tak kala saya pulang kampung. Kita tidak bisa menampik realita yang ada, hal ini disebabkan mayoritas masyarakat kita adalah petani dan pegawai. Pegawai masuk urutan no 1 dalam tingkat derajat kesuksesan.
Ada pribahasa Cina yang mengatakan bahwa “Lebih baik menjadi kepala ular kecil daripada menjadi ekor naga“. Dampaknya pun positif, yakni mereka terpacu untuk berdagang atau berwirausaha. Para pedagang Cina itu agresif dalam berbisnis karena mereka tak mau kompromi, terutama menyangkut kualitas barang, untung, dan rugi tak heran jika orang lebih menyukai produk atau pelayanan dari orang-orang Cina. Prinsip “Lebih baik mengambil untung sedikit, yang penting kualitas dan pelayanan yang baik“.
Orang Cina dapat membedakan dengan tegas antara urusan bisnis dan urusan pribadi. Begitu pula dalam mengelola keuntungan yang didapatkan. Mereka sangat tegas dalam mengurus keuntungannya. “Hasil keuntungan harus digunakan untuk menghasilkan lebih banyak keuntungan lagi“. Uang harus menjadi uang, bukan untuk berfoya-foya. Umumnya orang Cina jeli dan sigap menangkap peluang bisnis. Mereka pun sangat menghargai waktu. “Sebuah peluang belum tentu datang dua kali sehingga kalau ada pintu yang terbuka, maka itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya“.
Mereka juga terbiasa bekerja dengan cepat dan mencurahkan seluruh pikiran dan energinya untuk kegiatan bisnis. Alhasil, tidak jarang urusan keluarga malah terbengkali. Tapi, itu bukan masalah dan mereka tidak merasa terbebani.
Selain itu orang Cina berani mengambil risiko karena mereka percaya bahwa berdagang itu penuh risiko. Mereka sadar, dalam berdagang pasti ada untung ruginya. Tapi, mereka berusaha mengurangi risiko seminimal mungkin. Pedagang harus mengelola usahanya secara sungguh-sungguh dan tidak melakukannya setengah hati. Jadi, harus ada totalitas dalam berdagang. Sifat bisnis pedagang Cina yang lain adalah tahan banting. Mereka harus kuat, termasuk sanggup mengorbankan diri dalam beberapa hal, seperti waktu, tenaga, dan uang demi mencapai tujuan menjadi orang kaya. Bagi mereka, menjadi orang kaya itu harus tahan menghadapi kesulitan dan penderitaan. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.
Mereka juga percaya pada takdir, tapi tidak mau menyerah pada nasib. Artinya, nasib harus diperjuangkan, dilawan dengan bekerja keras. Mereka percaya bahwa nasib manusia itu ibarat roda, sesekali di atas dan sesekali di bawah. Jadi tidak mungkin manusia selamanya berada di bawah. Dalam arti yang luas, manusia bisa mengatasi kemiskinan asalkan dia mau berusaha. Makin keras dan kuat usahanya, makin besar pula kemungkinan untuk melepaskan diri dari kemiskinan. Itulah beberapa prinsip berdagangala Cina. Pemaparan di atas terkesan mudah. Tapi, itu tidak mudah dipraktikan dilapangan. Semoga pedagang pribumi jadi pengusaha sukses, jangan takut gagal. Seperti pepatah Cina, “Tanpa mengalami kerugian, keuntungan tidak mungkin datang.
* Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik Konsentrasi Politik Lokal & Otonomi Daerah, UGM