Sensasi Secangkir Kopi

Catatan: Ria Devitariska

MEMBACA buku ā€œChicken Soup for The Coffee Loverā€™s Soulā€ mengingatkan saya pada jalinan persahabatan saya dan teman yang bermula dari warung kopi. Buku ini merupakan kumpulan kisah nyata seseorang yang berhubungan dengan kopi. Ada yang bercerita tentang cangkir kopi yang biasa dari dirinya, keluarganya atau temannya atau tentang menu kopi andalan yang akan ia pesan saat berkunjung ke sebuah cafe kopi. Beberapa orang bercerita alasan mengapa mereka menyukai kopi dan beberapa kisah unik lainnya. Buku ini ingin menunjukkan bahwa kehidupan itu tidak selalu sepahit rasa kopi.

Warna sampul buku terjemahan ini mengingatkan saya pada betapa lembutnya secangkir latte itu. Latte merupakan campuran kopi plus susu dengan takaran kopi hanya Ā¼ nya saja dari keseluruhan gelas, jika komposisinya pas maka akan terasa lembut sekali di lidah seseorang, bahkan bagi yang bukan peminum kopi sekalipun. Kendati sampul buku ini hanya menampilkan gambar kopi hitam biasa.

Kumpulan kisah dalam buku ini secara keseluruhan berada di luar negeri, kecuali saat membahas kopi luwak, Indonesia merupakan salah satu negara yang memproduksi jenis kopi tersebut. Sebelumnya saya punya keinginan untuk mengirimkan email kepada tim penulisnya bahwa di kota tempat saya tinggal, tanaman kopi itu seperti sebuah pohon kehidupan bagi para petani. Tetapi mengapa tidak ada secuil pun kisah kami yang tertuang dalam buku ini?

Jawaban dari pertanyaan tersebut saya temukan setelah selesai membaca secara keseluruhan. Tim penulis mendapatkan kisah-kisah tersebut dari terbitan sebelumnya, seperti buku, majalah dan koran. Kesalahan utama kita dan tidak menampikkan bahwa saya juga melakukan kesalahan yang sama, pada umumnya kita hanya menulis seputar hal-hal yang istimewa saja, jarang sekali ada yang bercerita hal remeh-temeh seperti bagaimana kehidupan para pecandu kopi ketika ia tidak bisa menemukan kopinya di pagi hari. Seperti kata Fran Drescher ā€œBegitu kau terjaga dan mencium aroma kopi, sulit rasanya untuk tidur lagiā€.

Saya mengenal aroma kopi sejak sebelum sekolah, ibu saya suka menyangrai kopi sendiri dan menumbuknya di pasar. Saya sering mencicipi rasa kopi di cangkir milik ibu/bapak, saat itu saya berpikir kopi itu milik orang dewasa. Saat pindah SMA ke Takengon, setiap pagi saya menghirup wangi bunga kopi, karena sekolah saya berada di antara kebun milik warga. Namun baru setamat kuliah lah saya memesan kopi sebagai menu pilihan saat duduk di cafe atau warung kopi, sekitar 2 tahun yang lalu, itupun harus dicampur dengan susu karena tubuh saya tidak terlalu familiar dengan cafein.

Saat kuliah, saya dan teman-teman lebih memilih berburu kuliner, mencoba makanan dan minuman khas setiap cafe yang ada di Kota Kembang. Baru ketika kembali dari perantauan saya mulai mencoba minum kopi. Adalah Ayu si pecandu kopi, Rahma yang dulunya peminum kopi tapi kini tubuhnya mulai tidak bersahabat dengan kafein dan saya yang baru memulai minum kopi, tiga sahabat yang memilih bertukar cerita di warung kopi. Ayu teman semasa SMP dan juga rekan saat masih kerja di salah satu konsultan di Kota Takengon, sedangkan Rahma rekan di Lintas Gayo. Kami memiliki latar pendidikan yang berbeda, Ayu dengan dunia gambar-menggambarnya, Rahma dengan dunia pendidikannya, dan saya yang terbiasa dengan dunia laporan, analisa dan terjun lapangan langsung. Keduanya langsung akrab saat saya pertemukan di sebuah kantin yang kemudian menjadi tempat favorit kami bertiga, Kantin Batas Kota.

Sang barista, Win Ruhdi Bathin, yang juga senior saya di Lintas Gayo, mulai terbiasa dengan kehadiran kami bertiga yang sengaja datang untuk menikmati kopi buatannya. Jarang sekali perempuan seperti kami memilih warung kopi untuk tempat melepaskan penat, kebanyakan dari mereka lebih suka cafe atau tempat yang menyediakan bakso, mie dan sejenisnya. Tapi bagi kami bertiga, warung kopi khususnya Kantin Batas Kota memiliki magnet tersendiri. Entah itu citarasa kopinya, suasananya, atau orang-orang yang berada di dalamnya.

Kami juga punya kisah unik seperti ketika memesan menu ice cream coffee, saat itu di luar sedang dingin dan es krim yang tersisa hanya untuk 2 porsi, tapi masing-masing kami tidak ada yang ingin mengganti menu, akhirnya Win menyiasati es krim tersebut dengan membaginya sama rata. Atau ketika Ayu menjadi perempuan pertama yang memesan kopi expresso di Kantin Batas Kota. Atau ketika foto saya dan Rahma dimuat di salah satu surat kabar dan sempat menghebohkan keluarga dan tetangga. Sesekali jika tidak sibuk, Win tidak sungkan berbagi cerita dengan kami tentang apa saja, baik itu tentang kopi, tentang menulis, tentang kehidupan atau tentang pengalamannya. Obrolannya sederhana, tapi penuh makna.

Sekali dua kali minum cappuchino masih berat bagi saya, jantung berdetak lebih cepat, dan kepala serasa berputar. Tapi kini mulai terbiasa, ditambah lagi saat saya bekerja di Banda Aceh, seorang teman mengenalkan saya pada sanger, sanger merupakan racikan kopi plus susu kental. Saat itu, tiada hari yang saya lewati tanpa meminum secangkir sanger. Namun demikian saya bukanlah seorang pecandu kopi. Sebelum minum biasanya saya menghirup aroma yang ditawarkannya. Seperti kata Henry Ward Beecher ā€œtak ada kopi yang terasa enak di mulut bila sebelumnya tidak mengirimkan aroma manis menggoda ke hidungā€.

Suatu hari saat saya dan Ayu berada di Banda Aceh, kami berniat mendatangi sebuah cafe yang katanya menyuguhkan menu Kopi Gayo. Saat itu sedang hujan, tapi kami tetap melaju ke cafe tersebut dan rela berbasah-bahasan selama kurang lebih setengah jam perjalanan. Namun kenyataan tidak seindah iklannya. Kopi yang kami minum rasanya jauh sekali dari Kopi Gayo asli. Belum lagi harga yang dibandrol amatlah mahal bagi kantong kami. Saya tetap acungkan jempol untuk periklanannya, secara marketing pemilik cafe telah menang.

Saya yakin masing-masing dari kita memiliki kisah unik tersendiri yang berhubungan dengan kopi, hanya saja tidak terpublis. Semoga ketika buku ā€œChicken Soup for The Coffee Loverā€™s Soulā€ mencetak edisi selanjutnya salah satu cerita kita bisa ikut terbit. Buku ini banyak memberikan pengetahuan tentang kopi, misalnya tentang suhu air. Suhu air untuk kopi adalah 96 derajat celcius, air yang lebih dingin tidak melepaskan cukup banyak minyak dari biji kopi dan air yang lebih panas membuat kopi makin asam. Jadi, mari kita rangkai kisah kita dari secangkir kopi pilihan kita.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.