Oleh: Ria Ristiana Dewi
.
PADA lapangan tengah kota terdapat taman dengan sejuta warna angin. Terbangunlah gedung-gedung menua dengan stasiun kereta api berikut pula kantor pos bekas masa kolonial Belanda yang mengelilinginya. Dia duduk di pendopo taman itu, mencoba sekadar kenal dengan wajah keriput dari tubuh tembok bangunan yang kokoh, bangunan yang begitu ringkih dengan sambungan jam berdetak di dahinya. Menghitung setiap langkah untuk setidaknya, mengenang yang sudah-sudah. Kesudahan masa kaki-kaki kuda menghentak lalu penunggang menggeluarkan bunyi pentungan kayu, daun-daun bersemi dan angin berhembus menerpa wajah-wajah penghuni kota. Anak-anak menghinggapi becekan dan menangkap kecebong. Hingga bunyi kelintingan sepeda tua bekas kota yang menua.
Kini semuanya menjelma gedung pencakar langit, saluran gas tertanam, air bersih sulit terjangkau, hingga udara menjadi racun, suara klekson mobil bersaing menyongsong derita langit yang erat dengan cahaya menungkik ke seluruh penjuru kota. Kotaku, kotamu. Lalu hujan kini tinggal derita.
Suatu waktu, hujan menggerimis seperti rambutmu yang terberai indah membentuk hujan yang membasah, berlinang pada pori-pori mahkota di kepalamu, lusuh pun kuyup. Hingga ia bergitu lembab menemani lekuk dahi, pipi, dagu, hidung, dan matamu. Maka aku memanggilmu, ”Hujan….”
Hujan yang dicintainya.
”Berapa lama kau bermain hujan?”
”Selama hujan pernah mendekapku untuk mengenang itu.”
”Ah… lama-lama, Kau sudah seperti penyair saja.”
Dia tak luput memandangmu. Hujan mengguyur kalian hingga suatu kesempatan, kalian meneduhkan tubuh dalam pendopo lapangan. Dan kalian saling menebar senyum ke hadapan hujan. Tiba-tiba saja kilat berkeredap hingga membuat kau mengalihkan pandang, detik kemudian guntur menggelegar hingga membenturmu mendekap dia begitu erat. Hujan cemburu dan menampar-nampar lantai pendopo, membuat kalian harus begitu merapat dengan lebih rapat. Hingga malam larut, kalian pulang dengan bersimbah hujan dan mencumbu benih-benih awan hitam.
“Simpan hujan hari ini dalam hatimu!” Katamu kepadanya dengan senyum yang membuncah dunia laki-laki. Kau tak sadar telah diemban hujan hingga kesadaranmu benar-benar hujan.
“Kau terlalu memuja.”
”Ah… kau yang terlalu.”
Tapi dia tak mengerti, semakin tak mengerti terhadapmu. Seakan-akan otakmu dipenuhi hujan, mengembangbiakkan hujan, membuat sesunggihan hujan, ataupun menuliskan hujan dalam imaji yang kau terka-terka. Dia kalut menatap punggungmu saat kau berjalan dengan berbalik pandang, kau membentangkan tangan seakan menyambut ritual atas hujan.
Namun, suara malam kali ini tak bersabat untukmu. Kewanitaanmu mendapat sambutan yang berjalan ditempat. Orang tuamu marah dan kau diusir dengan alasan yang tak bersebab. Sesungguhnya! Bila kau dapat menjelaskan perihal riwayat hujan hari ini, mungkin ini hanya tinggal sepah ketakutan. Kau kucurkan air mata dan berbaur pada tubuh hujan, mengendap-endap di antara dagu dan dadamu, mengalir perlahan ke seluruh bagianmu. Kau gigil ia dengan menerkam cakrawala malam.
”Hujan… ini hujan rumahku!”
Betapa senang kau menjerit-jerit dengan dirimu sendiri. Kau buat tanganmu semakin membentang. Hingga dia melihatmu bermandi hujan, melepas dusta. Dilarikannya diri menuju kau.
”Awas hujan…”
”Aku suka hujan.”
”Jangan gila! Nanti sakit.”
”Biar saja! Sebab hujan itu adalah kau, hujan adalah aku, hujan adalah kita,” katamu dengan menderu-deru menjelaskan seakan kau periwayat hujan yang tangguh.
”Beginilah hujan,” Katamu menatap matanya begitu pasti dengan bulu mata masih membasah dari pandangan. Seketika hujan bergaris-garis di hadapanmu. Lalu kau melanjutkan, ”Aku sudah pernah mengenal sang periwayat hujan, jadi kau salah bila menganggapku periwayatnya. Ia adalah penyair yang begitu kukagumi.”
Sekilas ia tak mampu menerkanerka apa yang kau layangkan itu. Seakan kau ingin membuktikan keahlianmu ini. Kaulah periwayat hujan itu? Ia tak mampu lagi mendugaduga kalau sudah begini. Bahkan kau begitu erat dengan hujan.
”Baiklah… sekarang aku ingin waras. Mungkin tadi aku yang sedang tak waras.” Dia masih terus membenam kecurigaan-kecurigaan. Dia tak ingin kau terjatuh pada ketidakwarasan.
”Aku tahu bahwa hujan adalah kekasihmu, iya kan?” Katanya menyeimbangkanmu. Sejenak justru menggelisahkan.
Suara guntur lebih menggelegar dan langit sungguh memerah, pucat di hadapanmu dan dia. Kalian berlari dengan saling berpegang tangan. Dia mendekap erat telapak tangan kananmu menggunakan tangan kirinya. Kau dibawanya berlari menempuh derai-derai hujan yang lembut meniraikan tubuhnya di tubuhmu. Kalian berlari dan sampai tak tahu kalau kota akan hancur seketika. Hujan akan membadai di kotamu, kotanya. Perlahan namun pasti, stasiun yang kalian lewati menerbangkan seng-seng tua yang enggan terganti dan kantor pos yang baru saja kalian sambangi rubuh dengan bentuknya seperti jas tua yang koyak berwarna coklat. Gedung baru dekat kantor pos itu sekejap gelap, lampu-lampu yang biasanya mewarnai langit malam kini padam. Sungai menggeli-geli kaki kalian, ia mengamuk dan menyeret dalam daratan kota. Kantor walikota bahkan sudah tak terlihat. Entah karena hujan, entah karena air, entah karena petir yang menyambar. Suara klekson mobil tenggelam akibat riuh ombak air yang terbuat bergulung-gulung. Lalu kalian tak lagi sadar telah berada di lautan. Mungkinkah namanya lautan Medan? Kalian hanya berdua. Tiada satupun siapa-siapa dan memang kota tengah kosong saat kalian akan meminta pertolongan. Lalu kalian berdoa hingga bumi berputar. Malam sungguh pekat! Hujan merintik.
***
”Hujan…”
”Aku menunggumu bangun,” katanya saat kau membuka mata setelah mengatup seraya tertidur di sampingnya tadi malam. Lantas dia memipih, menerka kegalauan di wajahmu.
”Tadi malam…”
”Tadi malam hujan begitu deras hingga kita tak bisa pulang,” katanya meredam kalutmu.
”Lalu…”
”Lalu aku menelpon ibumu dan ia paham. Entah keberanianku dari mana,” katanya sambil terus menatapmu, memasuki lorong yang jauh dalam korneamu. Kau menyibakkan jaket coklatnya dan tersenyum walaupun kau tahu hidupmu sedang galau dan kau ingin terus bermandi hujan dalam mimpi-mimpi yang bergasing di tidurmu. Selanjutnya pada senyummu, kau begitu senang atas ritual hujan yang kau riwayatkan tadi malam. Lagi-lagi walaupun kau tahu saat ia menyuruhmu lekas ke dalam pendopo untuk berteduh, kau tetap nakal dengan imajimu dan kau bentangkan tanganmu begitu terbentang. Lalu kau dekapkan tubuhmu pada tubuh hujan. Hingga kau terjatuh dan ia membawamu dengan kalutnya, menidurkanmu seraya memegang keningmu. Mengungkap tanya: Akankah kau kembali.
***
Kau menimpai pikiranmu dengan menjelajahi riwayat hujan, setiap malam, selalu mengingat hujan. Padahal kau tahu betul ia telah lama menenggelamkan harapanmu terhadapnya. Kemudian setelah itu, kau dan dia berpisah di pendopo. Hingga walaupun kau berulang meneteskan air mata, ia tak hendak berbalik. Mungkin matahari mulai menggelisahkan pikirannya. Walaupun kau tahu, pastilah ia ingat tentang riwayat hujan dan siapa sang periwayat hujan yang sesungguhnya.
Hujan yang dicintainya.
Semenjak tubuh-tubuh cerita masa lalu merasuki keputusan hidupmu. Kau biarkan ia sepertimu membentangkan tangan dan berjalan ke arah hujan, lalu pergi selamanya mencari hujan.
Kau tahu ia adalah hujanmu, namun kau lebih tahu kalau ia sedang mencari hujannya. Akankah kau tak tahu? Ia telah menjadi periwayat hujan.
Aku, aku memerintahkanmu sebagai periwayat hujan yang sebenarnya. Kau akan tahu bahwa kau lahir dari tubuh-tubuh pena penyair terkenal. Kini kaulah yang kutelurkan di atas kertas, yang lahir atas kerelaan para penyair meriwayatkan hujan.
Pula kau harus tahu namamu lahir atas serpihan tinta emas ribuan penyair. Dan kini kaulah yang kuanggap paling tangguh. Maka jangan pernah menatap hujan terlalu lama. Aku menyuruhmu bangkit dan berjalan segera ke arah bait-bait kehidupanmu.
Kehidupanmu hendaknya dijalani sebagai upaya menekan ruang-ruang sendu, menciptakan wajah-wajah bercahaya. Dan aku jadi ingat saat kau mengatakan hal yang sama padanya tentang hal ini. Lalu dia untuk sekian kali menyakinimu bahwa kau adalah periwayat hujan yang sesungguhnya. Mengapa justru sekarang kau menjadi penuh peluh air hujan. Maka kau, dengarlah aku:
Bukankah hujan selalu menghampiri bila panas menenggelamkan bumi dan bila sudah saatnya hujan turun, ribuan periwayat hujan membuat ritual hujan. Suatu waktu saat kau menemukan hujan, berjalanlah tanpa membentangkan tanganmu, tanpa kau harus mendekapnya dan tanpa kau harus membasahi rambutmu yang terberai lalu tersimbah pada lekuk hidung, dagu, pipi, kening, dan matamu. Maka teruslah kau lalui tanpa menoleh ke manapun. Sebab hujan adalah atas keputusan Tuhan maka aku ingin kau menyerahkan hujan hanya kepada Tuhan.
Walaupun begitu kau masih ingat tentang hujan yang sempat kita perbincangkan dipojokan tulisan yang aku buat antara kau dan dia:
Laki-laki itu berjalan sangat cepat. Ia hampir menghilangkan jejaknya sendiri terhadap wanita yang sejak tadi mengejar-ngejarnya.
”Coba pejamkan matamu!”
Dan wanita itu menurut.
”Apa yang kau mau?”
”Aku tak tahu!”
Lalu laki-laki itu menciptakan awan hitam dalam sekejap. Wanita yang masih memejamkan matanya tiba-tiba saja mendengar bunyi petir. Bunyinya berawal dari sebelah kiri lalu berjalan ke sebelah kanan. Begitu seterusnya. Hingga laki-laki itu menyuruhnya membuka mata. Awan menjadi benar-benar hitam. Wanita itu terpatung dengan begitu mendungnya. Hujan kini turun perlahan gerimis, sebentar lagi sangat deras. Laki-laki itu telah jauh dan melambaikan tangannya sambil tersenyum dari kejauhan.
”Sudah lama aku tak merasakan ini,” katamu padanya saat berada di pendopo itu bahkan persis seperti yang kau ceritakan padaku saat ini. Apa mungkin terus begini? Kau menjadi pemuja hujan. Sementara ia telah berkelana sangat jauh melewati banyak musim, menerjang banyak salju, menggoreskan banyak sejarah musim semi, hingga mengatasi terik matahari. Kau tetap saja pada cerita hujanmu.
Di pendopo tempat kau bercerita, lagi-lagi kau siarkan bahwa hujan akan turun dan memang seperti itu. Hujan perlahan gerimis sebentar lagi deras lalu gerimis lagi dan sebentar lagi deras lagi.
”Aku heran, mengapa setiap aku bertemu kau, hujan selalu turun.”
Kau diam saja justru menyahut kata-kataku dengan senyuman yang berlimpah. Terkadang begitu, aku bercerita padamu betapa indahnya musim salju di puncak Gunung Fuji, namun tetap kau begitu dengan lakumu memuja hujan. Aku menceritakan padamu tentang musim semi di Swiss, begitu memukau menjadikan hujan hanya sebuah renungan lama, tentang musim panas di Afrika yang menawan bersama rusa, zebra, gajah, dan singa-singa lapar memenuhi hari-hariku, atau mungkin tentang keindahan gurun pasir di timur tengah saat aku menantang anginnya bersama seekor unta. Ah… entahlah!
Mungkinkah kau hanya memberikan sesimpul senyum saat aku menceritakannya padahal aku berharap akan ada tunas-tunas bunga yang tumbuh di siung pipi dan dagumu.
Dan, Mungkinkah kau ditakdirkan sebagai wanita hujan. Akankah keputusan Tuhan?
.
Serambi KOMPAK, Agustus 2011- Februari 2012
Penulis bernama asli Ria Ristiana Dewi. lahir di Aceh tanggal 7 Maret 1989. Saat ini beralamat di Jalan Garu II Gg. Melati, No. 85 A, Medan. Lulusan jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Medan. Anggota Komunitas Penulis Anak Kampus dan Laboratorium Sastra Medan. Karya penulis pernah keluar di media massa lokal dan nasional. Mengikuti Temu Sastrawan Indonesia-4 di Ternate dan Jakarta International Literary Festival-2. Buku puisi pertamanya berjudul “Angin Kerinduan” terbit tahun 2011.