URANG Gayo merupakan salah satu suku bangsa yang mendiami dataran tinggi Gayo di Provinsi Aceh. Gayo mayoritas terdapat di kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Tenggara dan 3 kecamatan di Aceh Timur, Serbe Jadi,Peunaron dan Simpang Jernih.
Saat Lintas Gayo berkunjung ke kecamatan Peunaron dan Serbe Jadi yang jaraknya dari pusat kota Langsa kurang lebih 86 km, memakan waktu sampai 4 jam. Jalan penuh lubang dan berkubang, itulah gambaran akses jalan raya menuju ke kedua kecamatan tersebut yang statusnya merupakan lintas provinsi tersebut.
Ke Peunaron, dengan jarak 42 km dari jalan utama Aceh Timur, penduduknya berjumlah sekitar 9.166 jiwa yang 40 persennya adalah masyarakat Gayo, 40 persen Jawa dan Sunda, dan 20 persen lain nya terdiri dari berbagai suku seperti Aceh, Batak, Padang. Sementara jumlah penduduk Aceh Timur sendiri di tahun 2011 mencapai 395.927 jiwa.
Kecamatan Peunaron yang 30 persen wilayahnya adalah kebun rakyat terdiri dari beberapa kampung antara lain Arul Pinang, Bukit Tiga, Peunaron Baru, Peunaron Lama dan Srimulya.
Mereka Butuh Jalan dan Air Bersih
Urang Gayo di Peunaron yang biasa menghabiskan waktunya sebagai petani sawit, coklat dan karet ini ternyata menyimpan banyak cerita miris. Seperti diceritakan Aman Zuraini yang berbaik hati mempersilahkan kami menginap dirumah yang ditempatinya lebih dari 10 tahun di kampung Bukit Cinta Kecamatan Peunaron.
“Benar adanya di sini kami adalah penduduk mayoritas,” kata Aman Zuraini yang berkesempatan mengantar Lintas Gayo berjalan melihat-lihat suasana Peunaron.
Ada sedikit yang membuat kami merasa tidak terlalu diperhatikan, ujarnya dengan mencontohkan jika mereka belum miliki fasilitas air bersih. Selain itu desa mereka juga jadi langganan banjir setiap tahun.
“Masalahnya di mana kenapa tidak diperhatikan, kami kurang mengerti karena kami hanya masyarakat awam,” tutur Aman Zuraini membuka ceritanya, Jum’at (2/3/2012).
Lihat saja menasah kami untuk masuk saja bau lumpur masih ada, lain lagi jalan menuju desa kami yang tidak karuan kapan akan di perbaiki. Mudah-mudahan untuk kemudahan kami ke depan pemerintah Aceh Timur bisa merealisasikan pembangunan jalan ke desa kami agar kami mudah memasarkan hasil pertanian dan perkebunan dan bisa menyekolahkan anak-anak kami dengan layak, harapnya dengan mata berkaca-kaca.
Amatan Lintas Gayo yang melihat langsung menasah dan sumber air warga untuk mandi dan konsumsi air minum ternyata benar, kondisinya tidak layak untuk digunakan dikarenakan air berwarna coklat tua dan tidak mengalir serta MCK tidak memenuhi standar kesehatan, padahal masyarakat Bukit Cinta pada umumnya menggunakan air menasah untuk mandi, mencuci dan buang air.
Di tempat yang tidak jauh dari kediaman Aman Zuraini, Pajak (masyarakat setempat menyebutnya demikian) berdiri kantor camat Peunaron dan Lintas Gayo berhasil menemui sang Camat, Jaman, S.Pd. Dan terkait khusus sarana air bersih warga diakuinya sedang dalam proses pengusulan, namun dia tidak menyebutkan kapan akan direalisasikan.
Sementara untuk sarana pendidikan, Jaman S.Pd menjelaskan telah memiliki 1 TK, 8 SD, 1 SMP dan 1 SMU, dan untuk ke depannya pihak kecamatan akan mengirim beberapa siswa berprestasi untuk melanjutkan kuliah di luar daerah dan mengabdi untuk masyarakat Peunaron pada umumnya.
“Untuk saat ini saja kita mendatangkan pegawai dari luar yang jumlahnya 10 orang untuk bekerja di kantor kita, karena kita belum memiliki sumber daya manusia” paparnya.
Penduduk kecamatan Peunaron yang pada umumnya adalah warga transmigrasi umum (Jawa), lokal (Aceh dan Gayo), dan swakarsa yang merupakan pecahan dari transmigrasi (anak dan cucu). Tahun 1980 di dominasi transmigrasi umum dengan persentase 90 persen. Mekar pada 17 Juni 2008 tersebut pada awalanya adalah warga transmigrasi dan setelah Tahun 1986 resmi disahkan menjadi penduduk lokal.
Perhatian pemerintah Aceh Timur tentunya sangat dinantikan oleh warga perbatasan Aceh Timur dengan Kabupaten Gayo Lues tersebut, khususnya untuk prasarana jalan provinsi yang melewati desa mereka tersebut agar stabilitas dan perputaran perekonomian berjalan seperti daerah lainnya di Kabupaten Aceh Timur.
Gambaran kehidupan warga Peunaron yang seperti belum merdeka dalam hal sarana jalan tampak jelas dari sendal jepit yang dipakai Aman Zuraini yang len semelah (lain sebelah:Gayo-red).
Bisa dibayangkan jika berjalan kaki pakai sendal jepit dijalan tanah liat yang becek, pasti ibarat berjalan diatas lem. Sebentar saja, sendal dengan kualitas apapun akan segera putus dan minta ganti. Dan tentu ketimbang sebentar-sebentar beli sendal lebih baik pakai sendal len semelah karena tidak butuh style jika makan saja susah. (Konadi Adhani/Red.003)
.